33. Puisi Duka
Wati masuk rumahsakit Persahabatan pada tanggal 23 Mei 1980. Dan meninggal pada tanggal 31 Agustus 1980. Selama tiga bulan lebih itu tak pernah satu haripun saya absen buat menyeguknya. Dapatlah saya rasakan – selama itu saya sangat kurang tidur – gelisah dan merasa sendirian. Sangat merasa berat – dan lelah – capek sekali. Tetapi yang terasa capek-lelah itu bukannya badan – bukannya fisik – tetapi kejiwaan. Capek psychis. Mungkin karena merasa terlalu berat beban perasaan – kurang tidur dan sebagainya,- saya merasa sangat heran dan agak kaget juga – pada hari meinggalnya Wati – hari Minggu itu – sesudah kami menerima tamu-tamu dan sahabat – teman dan kenalan, bersalaman menerima ucapan dukacita kepada kami – malam itu saya tidur
sangat nyenyak. Luarbiasa nyenyaknya – lelap sampai pagi – sampai mentari sudah mengintip di sela-sela jendela – tidur tanpa mimpi dan tanpa terbangun di tengah malam seperti biasanya. Ketika itu saya ada perasaan malu pada diri sendiri! Kenapa tidur saya ketika hari pertama Wati meninggal begitu lelap – nyenyak? Saya kira karena saya sudah melepaskan beban berat selama lebih tiga bulan ini. Saya merasa lega karena saya tidak lagi melihat Wati begitu tersiksa dengan penyakitnya – memuncratkan darah segar dari mulutnya dan batuk-baru keras tak berkeputusan. Saya sangat bersukur kepada Tuhan, bahwa Tuhan sudah memanggilnya pulang ke rumahNYA. Dan Wati terbebas dari semua siksaan yang selama ini dirasakannya.
Setiap musimpanas kami para akhli yang bekerja di Tiongkok mendapatkan hak libur selama satu bulan. Pihak kantor Radio sudah menawari kami mau ke mana – ke daerah mana. Kami bertiga menyatakan kami mau ke Selatan – ke Guangdong – Kanton. Biasanya kebanyakan orang Indonesia yang berkunjung ke Tiongkok, selalu melalui Kanton. Dan katanya daerah Kanton banyak persamaannya dengan Glodok – Kota. Sedangkan daerah Glodok – Kota, adalah tempat saya bekerja sebagai guru SMA di THHK – Tjung Hua Hui Koan – atau disebut juga Pa-Hwa. Bertahun-tahun saya setiap pagi mesti melalui daerah Glodok – Kota. Dan sangat menarik- pagi-pagi sudah penuh kesibukan orang-orang pergi kerja – pergi belanja. Jadi saya membayangkan kira-kira begitulah Kanton atau Guangdong itu. Orang-orang – teman kami selalu bercerita tentang Kanton. Tetapi saya tidak bisa masuk – karena memang tidak tahu – tidak pernah ke Kanton. Sayangnya – dalam batin saya – sekali kepergian ini rasanya samasekali bukannya dengan rasa penuh kegembiraan – tetapi masih dalam keadaan berduka. Ada terasa seakan-akan melarikan diri dari duka nestapa.
Kami datang ke Tiongkok lewat Kunming provinsi Yunnan. Sangat jarang orang-orang Indonesia datang ke Tiongkok lewat daerah ini. Kami memasuki Birma dengan kota Ranggoon-nya, lalu masuk Tiongkok lewat Sechuan dengan ibukotanya Chengdu. Baiasanya line yang normalnya lewat Kamboja – Pnom Penh lalu ke Kanton – Guangdong. Kami langsung dari Kamboja lalu masuk Birma lalu Yunnan – provinsi Tiongkok Selatan dan ke Beijing.
Kami merencanakan ke Kanton pada tanggal 11 September – sedangkan pemakaman Wati berlangsung pada tanggal 5 September. Jadi tanah pekuburannya katakanlah masih merah dan masih basah. Lalu apakah kepergian kami ini dapat dikatakan lepas-bebas dari rasa yang sedang kami kandung? Maka lahirlah puisi saya seperti terbaca
PERJALANAN DUKA
Kereta melancar senja
ke Selatan, ke Selatan
membawa duka nestapa.
Kelap-kelip lampu berlarian
duka tiba pada puncaknya
duka tiba pada puncaknya
seminggu kini tambah terasa.
Matamu yang sayu
lama tak beranjak menatapku
tak sepatah kata terucap
aku tahu, mama
dengan matamu kau pamitan
lalu jantung itu berhenti
dua putri kami kehilangan ibunya
aku ayahnya kehilangan istri.
Sudah itu kami melarikan diri
ke Selatan , ke Selastan
membawa duka nestapa.
Aku tahu, mama
kaupun takkan rela
seandainya aku masih juga
mendekat-dekat ke lautan itu
berenang-renang dalam lautan duka.
Aku sungguh hapal dirimu
berunrunglah anakku mempunyai kau sebagai ibunya
yang berlapang dada – luhur – jernih selembut sutra
tapi malanglah kami bertiga
hanya kenang membenam duka.
Kereta melancar senja
ke Selatan – ke Selatan
melarikan diri
membawa duka nestapa,-
Beijing,- September 1980.-
Betapapun saya merasa kepergian kami buat menggunakan hak liburan setiap musim panas ini, akan sangat berguna. Karena perlu bagi anak-anak kami buat melepaskan kelelahannya dari segala keteriktan. Juga agar mereka meluaskan pandangan – tidak hanya di rumah – di sekolah dan dalam perjalanan pergi-pulang antara rumah dan sekolahnya saja. Dan lagi tampak mereka gembira dengan liburan musimpanasnya ini – walaupun sebenarnya agak terlambat. Saya merasa mereka-pun perlu ada kesantaian sesudah tegang dengan urusan penyakit mamanya dan urusan sekolah – pelajarannya,-