34. Puisi Sepi
Saya biarkan diri saya dirundung sepi dan kesendirian. Saya merasa yakin – hal begini tidak akan lama. Dia akan berubah – menjadi lebih baik – lebih menyadari bahwa hal ini bukanlah buat diperturutkan. Saya masih punya
tanggungan dua anak. Mereka harus mendapat perhatian sebaik-baiknya. Kini lebih-lebih harus mendapatkan porsi lebih dalam nengasuh mereka. Mereka tidak hanya kehilangan mamanya – tetapi masa dekat ini mereka akan menghadapi ujian penghabisan SMA-nya. Saya seharusnya berusaha agar mereka bisa mengebawahkan perasaan kehilangannya. Buat semua itu benar-benar tidak gampang. Sebab saya sendiri terlebih dulu harus menahan diri – menguasai diri.
Rasa kesepian dan bersendiri – hanya saya rasakan dan ungkapkan ke dalam puisi. Biarlah pelarian saya sementara belum sepenuhnya bisa saya semen – saya beri tanggul pembatas. Beberapa puisi yang masih penuh rasa sepi – sementara ini biarlah saya rajut-renda di kehidupan saya. Bulan November hawa udara di Beijing sangat berpancaroba. Sering berubah secara tiba-tiba. Angin sangat kuat dan hujan tahu-tahu saja menderu. Awan gelap dan cuaca dingin sudah mulai merasuki badan.
Saya pendam perasaan saya dalam puisi November.
NOVEMBER
Senja memeluk erat bulan November
mendesing angin utara berputar-putar
dedaunan melayang terbang jatuh gugur
musimdingin segera datang
yang menyiksa setiap tahun.
Tersirap ingatan ke kampunghalaman
hati yang rindu selalu saja terdengar
hempasan ombak berdebur
dasar anak khatulistiwa
yang selalu bermandikan caya mentari
di atapi awan putih langit biru
di alasi laut menghampar mendekap rindu
O. kampunghalaman
tahun depan genap duapuluh tahun
terdampar-dalam dendam lirih
tertindih pegunungan
gelisah
orangtua dua-dua sudah lama tiada
kakak, abang, ipar sudah pada bernisan
istri lah tiga bulan ditangisi
satu-satu berguguran
bagaikan melayangnya dedaunan
di senja November ini.
Beijing,- November 1980,
Di rumah, saya membiasakan agar kami bertiga selalu bisa berkumpul ketika makan-malam. Dan setiap pagi – kami atur bergilir piket dapur. Memiketi dapur kami sendiri. Setiap orang bergilir menyiapkan makan-pagi. Saya
bertugas selalu menyiapkan makan-malam. Tetapi saya juga terkena piket makan-pagi. Ada kebiasaan Wita yang takut – tidak tenang – pabila menyalakan kompor gaz – karena ada letikan apinya. Tetapi semua itu karena dia dihantui ketakutan saja. Nah, jadi kami berdua Nita pabila giliran Wita piket makan-pagi – alamat pagi itu kami bertiga hanya makan roti – atau roti kering. Tetapi pabila kami berdua Nita yang piket makan-pagi, akan selalu
mendapatkan makanan hangat. Misalnya hidangan nasi-goreng – apel goreng – roti-goreng. Sama sebagaimana ketika mamanya masih hidup dan kami ketika masih lengkap berempat.
Urusan seterika – menjemur pakaian – bagian saya. Membersihkan rumah dan membenahi alat-alat dapur – cuci mencuci juga bagian saya. Anak-anak bertugas kebersihan rumah – menyapu – mengepel dan terkadang menyiram bunga-bunga yang dalam pot yang banyaknya belasan sampai puluhan. Pekerjaan rumah yang kecil-kecil begini ada terasakan – bisa juga melupakan kesedihan dan kekangenan akan kampunghalaman,-