04. Grup Saya
Ada beberapa grup yang saya masuki. Saya masuk di grup tusukjarum. Kebetulan saya guru tusuk jarumnya. Pengikutnya ada 17 orang. Lalu masuk grup vokal – koor. Lalu grup taiciquan – silat taici, kebetulan saya juga gurunya, pengikutnya ada 11 orang. Saya juga ada di grup panem- bromo – koor nyanyian Jawa, yang saya tak tahu apa arti yang saya nyanyikan itu. Lalu saya ada di grup cerita lisan – buku klasik Tiongkok, dan grup potong dan masak kambing. Dan ada grup tembur – tembak burung. Dan ada lagi di beberapa grup. Satu grup biasanya sesuai dengan penggemarnya. Tapi rata-rata antara belasan orang paling banyak, dan di bawah sepuluh paling sedikit. Lalu di grup tembur ini yang mau saya ceritakan pengalaman saya.
Kami di grup tembur terbagi atas tiga bagian kelompok-kerja. Kelompok temburnya – pemburunya, ada sekira sepuluh orang. Lalu kelompok menyiangi bulu burungnya – membenahi sampai siap-masak – siap-goreng. Lalu kelompok masaknya – digoreng atau dikukus. Semua gabungan kelompok grup tembur, ada sekira 30 orang dengan klub-makan burungnya. Tidak mudah kerja yang kami kerjakan ini. Kelompok pemburunya – sejak jam 08.00 sudah berangkat buat memburu, menembak burungnya. Masing- masing akan berpisah setelah melewati
sebatang sungai. Lalu masuk hutan. Dan merambah pegunungan – lembah dan hutan lebat. Yang kami tembak yalah burung-burung yang makan sereal – padi-padian. Lalu burung apa saja yang menurut kami enak dimakan. Semua burung yang enak dimakan adalah yang makanannya terdiri dari sereal – padi-padian – jewawut – jelai – biji jagung – kacang-kacangan dan biji-bijian yang sama dengan kita makan. Semua burung yang makan ulat-ulat – cacing – ikan- binatang air – laut – tidak enak dimakan. Kami tidak mau menembaknya. Karena dagingya amis – anyir dan dagingnya sangat bau – tidak enak. Bisa diusahakan agar jangan begitu bau. Dicuci dengan cuka dan direndam dengan air-garam. Tetapi kami tetap menolak buat menembaknya.
Burung apakah yang paling enak? Menurut pengalaman kami, yang malah sangat enak adalah daging burung gereja! Lalu jenis burung merpati – balam – perkutut – beranjangan dan kepodang – dan burung punai. Pada umumnya semua burung ini adalah pemakan sereal – biji-bijian atau buah-buahan hutan. Dan tidak makan jenis ulat dan jenis binatang air. Kami sering tukar menukar hasil tembakan. Misalnya saya mau menukar seekor balam dengan tiga atau empat ekor burung gereja yang kecil itu. Meskipun sebenarnya, nantinya tokh sama-sama makan masakan teman-teman yang sudah lama menunggu di perumahan kompleks kami.
Menjelang senja – jam 17 atau jam 18, kami sudah siap-siap pulang dari hutan – dari pegunungan. Daerah-tembak atau daerah perburuan kami, rata-rata 10 km dari kediaman kami. Sesampainya di daerah banyak burungnya, kami rata-rata membagi diri menjadi tiga orang – tiga orang. Rata-rata hasil tembakan kami
antara 50 sampai 70 ekor seorang. Ada teman yang sangat trampil, bisa berhasil menembak burung sampai 80 ekor. Saya berhasil menembak rata-rata 60 ekor sekali jalan dengan lama antara 8 sampai 10 jam itu. Nah bayangkan – sekiranya tidak ada grup atau tim khusus menyiangi bulunya – menyiapkan tungkunya – minyaknya – berapa lama kita akan sampai batas makan burungnyan itu! Kami satu grup biasanya menembak burung sampai 500 sampai 700 burung! Perlu kuali yang sangat besar buat menggorengnya! Dan setelah grup menyiangi burung dan membumbuinya – maka siap grup masak-masaknya. Enak tidaknya masakannya, terletak pada grup masak ini!
Biasanya pada jam 21.00 atau 22.00 barulah kami mulai makan-malam dengan goreng burung itu. Yang ikut makan pada umumnya siapa saja yang mau. Bebas aktive-lah. Dan itupun terkadang tetap ada sisanya buat besok siangnya! Padahal yang makannya terkadang hampir 40 atau 50 orang! Kami pesta makan burung. Dan kalau sudah begini – mana kami ingat akan nasi! Digado begitu saja. Dan rasanya makan burung hasil tembakan sendiri – dan masakan teman sendiri – betapa nikmat lezatnya. Hilang rasa capeknya. Padahal siangnya tadi. betapa panasnya. Daerah kami Jiangxi, suhu udaranya pabila musimpanas sampai 42 dC! Sering sekali kami istirahat di tengah hutan yang terlindung pohon-pohon yang sangat rimbun, lalu tertidur karena lelah – capek dan ngantuk serta sangat segar di bawah pohon yang ditiup angin dekat sungai.
Pernah terjadi pada diri saya dan juga teman-teman lainnya. Seekor ular merambat di atas badan kita ketika kita sedang berbaring di bawah pohon rindang. Dan kami diajarkan, ketika waktu krisis begitu rupa, harus tenang.
Jangan mengejutkan ular yang sedang lewat di atas badan atau kaki kita. Kalau kita secara tiba-tiba mengejutkannya – dia akan memagut dan mencotok kita. Dan semua pesan itu kami praktekkan. Kami biarkan dia lewat dan berlalu di kaki atau di badan kami. Padahal kami minta ampun hampir mati ketakutan dan gerinya!
Tetapi setelah pihak tuanrumah kami berceramah tentang bisa atau racun ular, kami malah tidak berani lagi sembarangan merebahkan diri lalu tidur seperti dulu lagi. Waktu itu pihak puskemas – klinik kecil kami yang ada di kompleks kami mengadakan ceramah tentang ular dan ular berbisa. Ada yang namanya ular welang-weling – ada yang namanya “ular lima langkah” – apa itu? Begitu dipagut dan dicotoknya – hanya lima langkah – lalu korban gigitan itu rebah – jatuh dan mati! Orangnya jadi biru seluruh badannya – dan gemetar menggigil sebelum dia mati. Betapa mengerikannya. Dan semua ini ada foto dan filemnya – dari dokomentasi pihak klinik dan puskemas kami. Sejak itulah kami tidak berani lagi sembarangan tiduran di bawah pohon ketika kelelahan dan panas – ngantuk. Betul-betul kami kena pengaruh ceramah tentang ular itu banyak mengubah kebiasaan kami. Dulu ada beberapa teman yang menangkap ular dengan memegang ekornya, lalu disentak sekeras-keranya – sehingga
tulang-tulang belakangnya pada putus – dan ular itu kontan mati! Padahal ular yang disentaknya itu adalah ular yang sangat berbisa. Tetapi teman kami si pemberani itu tadi – sejak ceramah ular berbisa, jadi berubah – tidak
seberani dulu lagi.
Saya memilih di grup tembak – sebagai pemburu. Sebab saya jauh lebih suka memburu daripada memancing. Saya lebih suka yang sifatnya bergerak – jalan – mengejar, daripada diam. Nah, sifat dan sikap ini jadi terbawa pada saya pada bidang lainnya. Karena itu, karena sifatnya banyak diam di tempat – maka saya tidak suka memancing – tidak suka nonton bioskop – tidak suka cukur rambut, karena semua ini menghendaki diri kita diam – tak bergerak. Kalau saya lalu nonton atau cukur rambut – semua itu bukan karena saya suka – tetapi karena keterpaksaan atau ikut-ikutan dengan teman-teman beramai-ramai. Itulah maka saya jauh memilih tembak-burung di medannya – di hutannya dan di gunungnya – di alam raya yang luas,-