42. Mulai Pamitan
Beberapa minggu lagi kami akan berangkat – kami mulai pamitan kepada banyak teman dan kenalan. Termasuk pamitan – minta diri kepada mamanya anak-anak – istri saya almarhum. Di sini – di Tiongkok, tidak bisa pabila kita mau ziarah – nyekar, lalu pergi sendiri menuju pemakaman. Sebab pemakaman di
sini sifatnya tertutup. Jadi kami harus mengajukan kepada instansi yang berkaitan – dalam hal ini Radio Beijing. Dan Radio Beijing yang menguruskan izinnya – buat masuk ke dalam kompleks pemakaman. Seandainya boleh nyelonong sendirian, sudah lama saya ingin ke sana sendirian – mau menumpahkan perasaan kesedihan dan kepiluan saya kepada istri almarhum. Sangat banyak yang ingin saya ungkapkan kepada Wati – dengan harapan agar dia tahu semua apa yang saya rasakan dan tanggung.
Pernah saya coba ketika senja – bersepeda ke sana. Begitu jauh dari rumah – belasan km – sampai di pintu pemakaman dan ketika saya mengetok dan menggedor pintu depan kompleks pemakaman – petugas pemakaman menanyakan banyak perkara – siapa saya – siapa yang mau ditilik dan dari instansi mana saya. Pada akhirnya gagal buat ziarah sendirian dan mau banyak ngomong dengan Wati yang dalam tanah. Ketika itu pearasaan saya sangat sedih. Dan kini saya mengajukan permintaan kepada jawatan Radio agar kami bertiga bisa ke pemakaman buat sekedar pamitan kepada mamanya anak-anak dan istri saya almarhum. Sudah tentu pihak Radio dengan senanghati memperhatikan kemauan dan niat kami.
Kami membawa berbagai bunga – airputih – dan anak-anak berbekal mainan dan benda-benda kecil yang dulu selalu sangat disayangi mamanya. Saya katakan kepada anak-anak, sesudah ini entah kapan lagi kita akan berkesempatan
mengunjungi pekuburan mamanya dan bisa berkunjung ke Beijing. Sesampainya di pekuburan – anak-anak saya membersihkan rerumputan di atas pekuburan mamanya, dan menyebarkan bunga-bunga serta airputih. Sudah setahun lebih baru lagi kami mengunjungi pekuburan Wati. Saya lihat anak-anak mengalirkan airmata dan ada saya dengar suara mereka yang berkata…”mama, kami akan berangkat ke Paris..kami juga berharap dan mendoakan agar mama selalu dalam perhatian Tuhan…dan kami juga mengharapkan agar mama juga mendoakan kami agar kami semua selamat dan bisa hidup di Paris…”. Sambil mengucapkan kata-kata yang sangat pelan ini – anak-anak saya sambil meremas tanah pekuburan itu. Saya sendiri juga berdoa dan berkata-kata sebagaimana tak banyak berbeda dengan anak-anak kami. ” Ma, kami akan ke Perancis – yang kami tadinya tak pernah menduga seperti kau juga tahu rencana kita keseluruhannya tak sedikitpun ada termasuk negara Perancis dalam perencanaan kita. Tetapi kami sangat memanjatkan doa kami kepada Tuhan, agar Tuhan melindungi kami sekeluarga. Dan sesudah hari ini, kami tidak tahu kapan lagi kami bisa ziarah dan nyekar kepadamu. Semoga pada suatu waktu masih ada kesempatan buat mengunjungi mama….”. Dan banyak lagi saya berharap dan mengungkapkan apa-apa yang ingin saya katakan.
Bagi kami – sudah tentu bagi saya – Wati seakan masih hidup dan bisa mendengarkan kami bercakap-cakap kepadanya. Saya sangat ingat dulu tahun 1963 ketika kami diantarkan banyak teman-teman di Kemayoran – termasuk Bung Nyoto – Wati menangis dengan rasa yang sangat sedih – tampaknya bukan tangisan biasa seperti orang-orang yang mau berpisah sementara. Tetapi ada saya rasakan – bahwa tangisan Wati – sepertinya tangisan yang terakhir – yang takkan berjumpa lagi dengan tanahair. Dia saya rasakan ketika itu menangis buat berpisah selamanya – takkan bisa pulang dan berkubur di tanahair. Rasanya perasaan saya itu saya ingat benar dan sungguh percaya apa yang saya rasakan. Dan ternyata benarlah apa yang dulu saya rasakan – ada rasa keanehan pada tangisnya – bukan tangisan biasa.
Ketika ziarah – nyekar dan pamitan ini – kami sungguh membiarkan diri kami agak lama berdiaman di sekitar tanah pekuburan Wati. Sangat singkat usianya – belum lagi berusia 40 tahun – sudah meninggalkan kami – dua anaknya dan suaminya. Kini tinggal kami bertiga. Dan beberapa hari lagi – kami akan menuju Paris – tanah dan negara yang kami samasekali tidak tahu – tidak mengenalnya. Tetapi kami merasa Tuhan akan selalu melindungi kami – dan karenanya kami berserah kepadaNYA dan karenanya pula – tak ada rasa ketakutan dan kecemasan. Yang ada yalah betapa akan berapa lama lagi sebelum kami dapat pulang ke kampunghalaman. Tetapi itupun – kepulangan kami itupun seandainya terkabul – sudah tentu sudah berkurang satu orang – Wati – mamanya anak-anak,-