44. Menginjak Dunia Baru
Beberapa minggu dan beberapa hari sebelum kami berangkat, banyak sekali hal-hal yang harus kami selesaikan. Barang-barang yang begitu banyak – mau diapakan dan mau dikemanakan. Buku-buku – perpustakaan, kami tinggal dan serahkan kepada pihak Radio dan juga ke beberapa teman. Ada juga barang-barang yang kami serahkan dan berikan kepada beberapa teman. Yang kami jual hanya dua barang – yang siapa tahu akan dapat menjadikan uang buat menambah persiapan belanja nantinya. Dua barang itu yalah sebuah piano dan sebuah televisi – dengan harapan akan menambah persiapan uang dalam perjalanan atau kehidupan di Paris nantinya.
Belum lagi kami harus memenuhi undangan makan-siang dan makan-malam begitu banyak dari para tetangga kami dan yang segedung dengan kami. Tampaknya hanya menghadiri makan – tetapi waktu yang disediakan buat itu – cukup makan-waktu dan cukup melelahkan. Dan kami harus selalu “pasang senyum – ramah-tamah” kepada semua tetangga yang baik itu. Semua ini menandakan bahwa mereka semua menunjukkan keakraban persahabatan dengan kami. Karena begitu banyak persoalan – perkara yang harus kami selesaikan – maka rasanya tak sempat buat banyak berpikir yang sifatnya bersedih – berkangenan dan bahkan rasa takut dan kecemasan-pun tak nyangkut kepada kami. Yang ada yalah – jalani sajalah apa yang akan terjadi. Tentu saja semua itu atas dasar penyerahan – pasrah diri kepada Tuhan – dan semoga Tuhan melindungi kami. Ini adalah menuju negara dan negeri yang kami samasekali tidak tahu. Samasekali gelap – samasekali tak tahu bahasa sana – kecuali satu dua kata saja.
Demikianlah – kami berangkat malam dari gedung apartemen kami. Dengan bis besar – sebab banyak yang megantarkan kami. Adakah tangisan sedih? Sepertinya suasana ketika itu semua menunjukkan kegembiran – sudah tentu termasuk kami dalam menghadapi begitu banyak teman-teman yang mengantarkan kami. Kami berangkat pada jam 21.00 buat take-off pada jam tengah malam di Beijing.
Kami tak sempat lagi berpikir bagaimana nanti pabila sudah sampai di Paris. Pokoknya jalani sajalah. Ada soal besar – kami tidak punya visa! Kami tanpa visa. Bukankah kami dalam rangka melarikan diri dan masuk negeri orang secara tidak resmi? Nah – inilah yang saya harus hadapi – tetapi dalam batin saya – sudah jalani saja apa yang akan terjadi. Tuhan beserta kami – Tuhan akan melindungi kami – dan kami serahkan semua perkara tentang kami kepada Tuhan.
Rupanya pagi hari kami tiba di lapangan-udara – bandara Roissy Charles de Gaulle. Banyak orang – penuh sesak – sebuah bandara internasional. Mata saya dan pikiran saya hanya berjaga dan berkonsentrasi kepada persoalan bagaimana kami menghadapi masuk-negeri orang secara tidak sah begini. Karena sudah tahu bahwa kedatangan kami ini tidak sah – maka saya berpendapat lebih baik kami masuk terakhir saja dari antrinya. Kami menunggu semua penumpang lain sudah pada keluar dulu. Sudah sepi barulah saya melalui pintu penjagaan imigrasi. Dan tentu saja semua surat-surat diperiksa. Dan sudah tentulah pihak doane dan imigrasi menahan kami. Celaka ini! Mereka tidak ada yang bisa bahasa Inggris dan saya tidak dapat menjelaskannya dalam bahasa Perancis. Dari beberapa pertanyaan, saya dapat mengerti tetapi tidak dapat menjawabnya dalam bahasa Perancis. Dan begitu saya jawab dalam bahasa Inggris – mereka yang tidak mengerti.
Lalu saya dan dengan dua anak saya diajak masuk ruangan kantor imigrasi dan doane. Rupanya mereka mencari penterjemah bahasa Inggris. Dan saya menunggu. Cukup lama juga – kira-kira satu jam barulah penterjemah datang. Sulit sekali orang Perancis ini buat berbahasa Inggris – masaksih petugas yang bekerja di bandara internasional tidak ngerti bahasa Inggris?! Dan barulah semua komunikasi berjalan lancar. Sudah tentu yang mula-mula ditanyakan mana visa buat masuk Perancis? Saya jawab kami dalam rangka melarikan diri dan minta perlindungan politik. Tahukah monsieur bahwa monsieur melanggar peraturan pemerintah Perancis – masuk Perancis tanpa visa? Tahukah Anda bahwa itu melanggar hukum – melanggar peraturan? Saya jawab – tidak mungkin kami akan minta visa karena kami dalam rangka melarikan diri dan mau menyerahkan diri kepada pemerintah Perancis buat minta perlindungan politik. Semua pertanyaan saya jawab apa adanya dan kepada kami sudah dipesan bahwa sekali-kali jangan berbohong – jawablah apa adanya – dengan jujur.
Saya katakan juga bahwa kami sudah menulis surat kepada Presiden Anda – Yang Mulia Presiden Miterrand buat minta perlindungan politik. Mendengar jawaban saya – mereka terheran-heran. Apa betul begitu? Tanya seorang pejabat imigrasi. Kemana surat itu sudah dikirimkan? Saya jawab lagi – sudah kami kirimkan ke kabinet Presidan satu dua minggu yang lalu. Okey – kami periksa sekarang – demikian katanya. Dan kami menunggu jawaban di mesin fax dan juga tilpun. Dalam batin saya – semoga surat itu sudah sampai. Dan tak berapa lama – pejabat imigrasi itu membenarkan memang ada surat kami yang kami kirimkan dari Beijing beberapa hari yang lalu.
Siasat begini memang sengaja – jangan sampai dapat balasan – tetapi di – faitacompli dengan datang sendiri – begitu datang baru persoalannya dibuka lagi. Lalu ditanyakan mengapa kami melarikan diri dan minta perlindungan politik datang ke dan di Perancis? Semua tanya-jawab direkam dan direkam-ulang agar semua bersih suaranya,-