06. Nyaris
Sekeliling perkampungan kami ada beberapa gugusan perbukitan. Dan di antara perbukitan itu memang Gunung Kepala Ayam yang paling tinggi dan paling menonjol. Seperti ujung atau kepalanya itu bagaikan hidung yang panjang. Dalam tulisan yang lalu saya gambarkan seperti ayam yang berleher panjang lalu mau mengamati sesuatu yang agaknya jauh. Bukit-bukit lainnya kebanyakan padang rumput – semak-semak dan ada juga bukit yang terdiri dari banyak batu-bebatuan dan yang besar-besar. Di sekitar perbukitan batu itulah teman-teman kami menga-ngon kawanan kambing. Lalu mengitari perbukitan padang rumput, di mana banyak rerumputan yang tebal yang sangat baik buat makanan kambing. Di sela-sela dan sekitar pegunungan atau perbukitan itu, diam-diam banyak serigalanya. Pernah juga kawanan kambing kami diserangnya dan mati. Dan ini terjadi beberapa kali. Karena perkara begitu – Markas Besar barisan kami pernah mempersenjatai teman kami yang menggembalakannya dengan senapang cess, senapang api berpeluru tajam.
Anehnya sejak teman pengangon punya senjata api – malah sangat jarang kawanan serigala itu menyerang kawanan kambing kami. Rupanyan pabila kita siap-siap, musuh sangat jarang datang atau samasekali tidak datang – hal begini terjadi juga pada masyarakat manusia. Blok Barat dan Blok Timur sama-sama siap – siap Perang Dunia ke-3,- tapi karena sama-sama siap, lalu perang yang sangat ditakuti itu tidak jadi – untunglah!
Sejak kecil, kehidupan kami sekeluarga selalu dekat hutan. Ini disebabkan ayah saya menjadi mantri-kehutanan – boschwezen selama puluhan tahun. Jadi karena tugasnya memang mengamati kehutanan – para pembuat arang di kampung kami – dan orang-orang yang mau berhuma – maka hidup kami tak pernah jauh dari hutan. Dan selalu dipinggir hutan tinggalnya. Hal ini membawa kebiasaan pada saya, suka dan senang akan hutan dan pepohonan. Saya sering juga keluar masuk hutan sendirian,- ketika tidak bertugas menembak – tembur bersama-sama teman lain, Rasanya betapa senang dan aman serta damainya hati ini ketika sendirian di tengah hutan – padang rumput yang luas dan gunung batu yang bentuknya sangat bermacam-macam. Ada yang seperti orang mengisap pipa – cangklong. Ada yang seperti perahu sedang berlayar dan bahkan ada seperti sepasang muda-mudi sedang berciuman. Bermacam-macam. Dan saya menikmati ketika sedang mengamatinya. Pabila saya di atas pegunungan itu – tampak perkampungan kami kecil sekali – seperti mainan anak-anak yang sedang dipasang teratur. Memutih dan kecoklatan. Jauh di bawah sana – jaraknya barangkali ada dua sampai tiga kilometer dari di mana saya berdiri mengamatinya dari jauh. Indah sekali dan saya sangat senang duduk lama di atas batu yang tinggi, sambil sedikit ngelamun atau berkhayal. Dan selalu tentang tanahair – kampung halaman – juga tentu saja terkadang dengan wanita cantik seperti teman-teman saya ketika di SMA – Taman Madya dulu. Di manalah gerangannya si Asta Kurniani dulu,- dan Hindun – aduh mak, Hindun, betapa dia cantiknya ketika kami masih sama-sama di SD di Tanjungpandan pada tahun 1947 – lamanya mak!
Ketika saya pindah ke sebuah bukit yang agak tebal semak-semaknya, sambil sedikit berjalan cepat – karena saya melihat beberapa beranjangan terbang rendah, tahu-tahu saja sebelah kaki saya terperosok ke dalam sebuah lobang. Dan saya hampir melubcur ke bawah – ke sebuah sumur mati. Dengan secepat kilat saya menyambar dan memeluk sebatang pohon yang tidak begitu besar – pas dua tangan saya berpegangan erat. Masih sempat saya melemparkan senapang dan ransel saya agak jauh dari saya. Dengan sekuat tenaga – tenaga yang mati-matian saya kumpulkan, saya menaikkan badan ke atas dan tetap berpegangan pada pohon yang tak jauh dari bibir sumur-tua yang mati itu. Dan setelah saya agak tenang dengan debaran jantung yang barangkali 200 detakan satu menitnya – lalu lama-lama agak normal. Saya perhatikan sekitar dan saya jenguk ke dalam sumur-tua yang sudah mati itu. Minta ampun – dalamnya sekira 10 meter. Dan ada airya membayang. Lalu timbullah keheranan saya – mengapa orang dulu itu membuat sumur tetapi tidak lantas ditimbun atau diberi tanda, bahwa di situ ada sumur – hati-hati!
Ketika sudah agak tenang itulah saya sempat berpikir – seandainya saya tercebur habis ke dalam dan nyemplung – maka benar-benar habis ceritanya. Sebab sekitar situ hanyalah hutan – perbukitan – dan tak ada orang-orang lewat. Dan takkan mungkin sebuah teriakan sekeras apapun akan terdengar, sebab letak sumur-tua dan mati itu sangat terpencil dan orang-orang takkan ada yang lewat ke sana. Membayangkan semua ini, lutut saya jadi gemetar – barangkali wajah saya lalu pucat. Betapa menyedihkannya – si sobron mati dalam sumur meninggalkan dua putri dan seorang istri, karena hanya mau nembak burung. Lalu saya bertekad tidak akan menceritakan kejadian ini kepada anak-istri saya dan juga kepada teman-teman saya grup tembur. Malu rasanya dan pabila diceritakanpun, saya hanya akan mereka ejek dan olok-olokkan.
Lalu saya jalan mau menuju pulang. Minta ampun lagi. Dihadapan saya ada tiga ekor serigala. Tidak besar memang – tetapi agaknya cukup agresif, sebab bunyi mulutnya mengaum seperti sangat marah dan mau menyerang saya. Saya tembak yang satu, dan kena, tapi manapula bisa mati! Hanya dengan mimis 4 setengah! Dia mengaing kesakitan, tetapi tetap tidak mau lari. Saya tidak akan sanggup berkelahi dengan tiga ekor serigala. Bagaimana akal? Saya terdiam – tiga ekor serigala itupun juga diam bertahan menunggu saya. Barangkali mereka menunggu saya berani apa tidak lewat di dekatnya. Sialan! Apa akal? Dengan kayu panjang lalu mementung dan memukul mereka – lalu barulah lewat menembus blokade mereka? Tidak mungkin. Ya Tuhan, ternyata di dekat mereka itu ada beberapa bekas kaleng – entah bekas kaleng apa saya tidak tahu. Lalu laras senapang saya arahkan ke kaleng itu. Dan saya tembak. Bunyi gema tembakannya sangat ribut dan tiga ekor serigala itu terkejut dan lalu lari. Bunyi suara kaleng tembakan sangat ribut dan menggema, sebab kami ada di lembah – di bawah pegunungan – sehingga suara apapun sangat ribut dan ada echo-nya – ada gaung dan gemanya. Segera secepat mereka lari – sayapun lari menembus blokade tiga ekor serigala itu. Lari ketakutan dan lari dalam keadaan biasa – akan lain. Lari ketakutan – tenaga keluar secepat dan sekuat rasa takutnya. Sudah jauh dan sekira tak mungkin lagi tiga ekor serigala itu menguntit saya, menarik nafas panjanglah saya!
Lagi-lagi saya berpikir – hari itu kenapa begitu nyaris. Tetapi bahaya nyaris yang pertama itu – benar-benar akan saya simpan dalam hati. Tidak akan saya ceritakan kepada siapapun – kecuali dalam tulisan cerita ini. Saya tahu bahwa saya hanya akan jadi bahan ejekan keluarga saya dan teman-teman saya. Tetapi nyaris yang kedua ini – saya mau ceritakan kepada keluarga – anak-anak saya dan teman-teman saya. Kenapa? Barangkali karena ada sedikit unsur buat berlagak – bisa sok sedikitlah! Barangkali ada sok berani dan sok pahlawannyalah, walaupun setelah kejadian itu, saya menjadi sangat jarang bepergian secara sendirian yang risikonya bisa hilang secara konyol! Semua ini gara-gara hobby nembak – tembur – di pedesaan kami yang sangat luas dan indah alam rayanya,-