08. Hari Potong Kambing
Pabila ternak kambing kami sudah melebihi seratus ekor – biasanya Markas Barisan bersama semua teman yang menjadi pimpinan barisan dari dua pihak – pihak tuan rumah dan pihak kami – para melayu ini, ditambah teman-teman para penggembalanya – pengangon, akan memutuskan potong kambing pada hari tertentu. Dan ditetapkan jumlahnya berapa ekor. Dan pelaksanaan pemotongan kambingnya diserahkan kepada saya. Dan saya bersama beberapa teman-teman yang bertenaga masih okey – lalu mengadakan persiapan secukupnya. Saya sendiri mulai mengasah pisau buat keperluan semua itu. Ada pisau buat potong kambingnya – ada pisau buat menyayat dan memotong dagingnya serta beberapa alat lain – seperti kapak kecil yang tajam dan beberapa parang atau golok buat memotong bagian-bagian tertentunya.
Dan beberapa teman menyiapkan gantungan buat menyangkutkan kambingnya buat dikuliti. Biasanya dekat situ harus ada buat sangkutan tali – dan harus beberapa gantungan dan tali-temalinya. Sebab biasanya kami akan selalu memotong antara empat sampai enam kambing sekali potong. Di rumah, saya mengasah beberapa jenis pisau yang berlainan penggunaannya. Barisan wanita buat memasaknya sudah siap. Para wanita di tempat kami – pada umumnya pandai masak dan masakannya enak. Biasanya mereka memiliki berbagai bumbu yang mereka simpan. Dan banyak pengajuan pendapat dari teman-teman kami, agar bikin gulai kambing cara Arab – ada yang mengusulkan agar bikin gulai-kambing-cara Aceh – cara India dan ada beberapa lagi. Ada yang mengusulkan agar bikin nasi-beriani-kambing. Sudah tentu dengan persateannya. Buat semua ini belasan wanita sampai puluhan, turut bekerja menusuki sate. Bayangkan seekor kambing bisa dijadikan sate sampai ratusan tusuk. Lalu bagian-bagian lainnya banyak bisa dibikin berbagai macam masakan dan cara.
Potong kambing ini boleh dikatakan monopoli pekerjaan saya. Kenapa begitu? Pada awal mula kami memotong kambing – tidak seorangpun yang bersedia secara sukarela – karena bermacam sebab. Bisa karena ngeri – takut – bisa karena belum pernah – belum terbiasa – bisa karena pertimbangan yang sulit diraba. Ketika saya dengan sukarela mengajukan diri,- dan ternyata banyak teman lain lalu setuju dan mendukung “pengangkatan” saya sebagai kepala jagalnya.
Sebenarnya ada rahasia yang tidak mau saya buka – di kampung kami di Belitung, kambingpun tak ada! Kalau mau potong kambing dan mau makan kambing – menunggu dulu perahu yang datang dari Pulau Bawean atau Pulau Jawa, apakah ada membawa kambing buat dijual di Tanjungpandan Belitung. Jangan heran buat para pembaca cerita ini : di kampung kami tidak ada sapi – tidak ada kuda – dan tidak ada kerbau, termasuk tidak ada kambing,- ini dulu sampai tahun 1950. Semua yang saya sebutkan didatangkan dari Pulau Jawa atau Butun – Makassar dan pulau lainnya. Jadi sebenarnya saya berlagak sudah biasa! Padahal sama begoknya dengan teman lain. Saya pikir – daripada kita atau kami tidak makan daging kambing yang sangat enak itu – mendingan sayalah yang jadi pemotongnya – jagalnya. Sedikit ilustrasi – selama 7 tahun – dari 1971 sampai 1978, saya sudah memotong kambing sebanyak 126 ekor kambing.
Beberapa teman saya – termasuk teman wanita – ketika hari pemotongan kambing itu – sangat berbaik-baik kepada saya. Mendekati saya dan suka senyum-senyum yang biasanya jarang senyum begitu manis dan ramah. Tentu sayapun tahumaksudnya. Dengan kerdipan mata, di antara mereka ada yang bilang ” Mas, tolong nanti ya – seperti biasa deh…kebijaksanaan..saya tunggu di dapur nanti ya…”. Ada juga yang pesan torpedonya – pelurunya – kemaluan kambing itu…dan ada yang pesan buahdada kambing…dan banyak lagi. Yang wanti-wanti pesan torpedo itu justru….teman saya wanita yang satu grup belajar dengan saya….buat suaminya…… Barangkali suaminya agak malu datang kepada saya buat “hanya” keperluan gituan! Dan istrinya yang lebih dekat saya karena satu grup belajar – dengan tidak malu-malu tidak segan-segan minta agar saya asingkan sepasang torpedo kambing buat mereka masak tersendiri di rumahnya. Dan saya tentu saja secara diam-diam akan memenuhi harapan itu. Dan tidak ada peraturan bahwa daging kambing itu harus secara utuh semuanya masuk dapur. Apalagi semua ini adalah ternak hak-milik kami semua – jadi setiap orang merasakan memiliki bersama. Dan lagi samasekali tak ada hubungan relasi secara demikian adalah korupsi. Semua dilakukan secara sukarela dan senang hati.
Terkadang saya sendiri diundang ke rumah teman-teman yang minta “kebijaksanaan” tadi buat makan bersama. Di kantin beberapa teman wanita dan teman-teman Tiongkok yang memang bekerja di dapur, bersama masak-masak daging kambing dengan berbagai jenis masakan. Yang namanya persatean – kami buat pemanggangnya sendiri di luar dapur. Sebab asapnya bisa ke mana-mana masuk ruangan kantin kami. Pokoknya hari itu – Hari Pesta Perkambingan. Dari masakan persatean sampai pergulaian – dan diumasak campur nasi beriani model Arab – model India- Pakistan dan benda-benda serta barang-barang aneh lainnya – seperti torpeda – peluru dan kemaluan serta buah dada kambing. Ada juga yang dimasak secara tersendiri dan dihidangkan di meja umum. Sudah tentu agak rebutanlah. Para wanita kami, benar-benar sangat pandai membuat suasana makan yang enak – lezat serta selingan-selingan dan bervariasi. Misalnya mereka membuat acar segar – dengan rasa asam-manis dan pedas buat mengimbangi gemuk – fat – kambing itu. Dengan adanya masakan pengimbang ini – banyak teman sangat menyukai cara ini.
Kami juga memberikan makanan masakan jadi maupun daging yang masih segarnya kepada teman-teman Tiongkok – tuanrumah kami. Daging kambing segar itu kami berikan kepada mereka dengan maksud agar mereka sendirilah yang memasaknya menurut kesukaan dan cara mereka. Tetapi masakan kamipun kami berikan juga buat merasainya. Karena tuanrumah kami yang bekerja buat kami itu banyak kaum hoakiau-nya, yang memang berasal dari Indonesia – mengenal jenis masakan Indonesia, sudah tentu dengan senang hati menerima pemberian kami. Bahkan di antara teman-teman tuanrumah kami itu, kami ajak makan bersama di rumah teman-teman tertentu.
Pada Hari Pemotongan Kambing – rasanya seperti kondangan – ramai sekali dan gembira sekali – sebab semua makanan dan masakan berasal dari tangan kami sendiri. Tuanrumah kami melihat dan menyaksikan bagaimana kami masak memasak dan mengolah kambing dari sejak pemotongannya sampai jadi sate dan gulai serta nasi-berianinya di setiap meja di kantin. Kantin ketika itu ramai dan gembira. Buat kambing sebanyak itu- kami makani dua tiga hari. Dengan pikiran mungkin setelah ini empat-lima bulan lagi barulah makan kambing secara begini lagi. Kami pada hari itu bekerja buat masakan kambing – sibuk makan kambing dan ada yang hanya menggadonya saja – tanpa makan nasi. Saya tidak begitu openi dan tidak banyak cerewet terhadap teman-teman saya yang minta :”kebijaksanaan” dengan peluru – torpedo dan “dua buah gunung” yang ada di badan kambing betina itu. Karena saya samasekali tidak percaya bahwa dengan makan benda-benda aneh itu, akan mendatangkan “keperkasaan”pada abdulmalik kecil kita! Mungkin mereka hanya kena pengaruh sugestif saja. Bukan itu kalau mau “perang-tahan-lama”, malah dengan semua itu mungkin
hanya bisa “perang-cepat-selesai”,- itupun belum tentu. Yang pokok pabila saya turut makannya – hanya saya rasakan enak dan lezatnya saja – bukan karena ada pengaruh lainnya. Ya kisah kehidupan kami dengan Hari Potong Kambing itu – cukup menggembirakan menyenangkan hati semua kami diperkampungan Desa Gunung Kepala Ayam, jauh tersuruk di pedalaman Jiangxi,-