09 Sehari-hari di Perkampungan Kami
Tata-letak perumahan – pergedungan di perkampungan kami, ada beberapa gugusan atau bubungan perumahan. Perumahan buat teman-teman bujangan – maksudnya tidak ada keluarganya – karena keluarganya di Indonesia – jadi bukan menurut usianya. Dan gugusan perumahan buat yang berkeluarga dengan anak-istrinya. Kami namakan blok A dan blok B. Dua gugusan perumhan ini terletak di tanah ketinggian – bagaikan bukit kecil. Lalu antara dua blok perumahan ini, agak di bawahnya, ada kantin kami. Ada perumahan buat orang-orang Tiongkok yang mengurusi kami – lalu ada lapangan basket – lapangan volley – lapangan badminton dan puskemas – klinik kecil. Dan ada dapur-air-panas yang pabila tanda sudah mendidih – peluitnya lalu berbunyi
tuiiit…. Dan kami ramai-ramai antri menadahkan termos buat air-panas. Seorang terkadang bisa bawa dua atau tiga termos – terkadang cukup satu saja. Yang berkeluarga, ada yang membawa empat termos – semua tergantung pada kebutuhan masing-masing. Seseorang yang kebetulan tak mendengar tanda peluit air-panas, akan bertanya kepada seseorang yang diketemuinya……..”mbak, apa tadi sudah ada bunyi tuiiit…”?
Tuiiit itu tanda air-panas kami sudah boleh diambil. Ini akan ada tanda bunyi tuiit itu tiga kali dalam sehari. Ketika pagi mulai jam 06.00 dan siang mulai jam 12.00 lalu periode malamnya mulai jam 18.00. Bunyi tuiit itu akan terdengar ke blok A dan blok B, dan lebih akan terdengar di perumahan orang Tiongkok, sebab letaknya berdekatan. Pabila sore hari – selepas kerja dari ladang dan perkebunan – dekat kantin, yang ada lapangan olahraganya – akan ramai teman-teman main volley – basket dan terkadang badminton. Lapangan sepakbolanya, terpisah agak ketinggian – beberapa puluh meter antara blok A dan blok B.
Blok A dan blok B, ada jalan tikus – kecil – terkadang ketika hujan lebat, tergenang air – tetapi hanya beberapa jam saja – sudah itu surut dan normal kembali. Seseorang yang dari blok A atau blok B mau berkunjung ke blok lainnya, selalu akan melewati dekat puskemas – klinik kecil. Dan berhadapan dengan puskemas, agak di atasnya – ada toko-koperasi. Dijual segala keperluan yang kira-kira sesuai dengan kebutuhan kami – orang-orang Indonesia dan orang-orang Tiongkok. Terkadang ada barang atau makanan atau buah-buahan yang dari luarnegeri. Misalnya ada pisang yang bagus-bagus dan besar-besar dari Afrika – Mali – Somalia dan lain-lainnya. Biasanya pabila ada barang – benda – makanan yang kami tertarik – kami akan antri membelinya. Dan terkadang toko yang tidak besar ini menjadi titik-pertemuan kami – sambil lihat-lihat barang. Rasanya toko-koperasi itu sudah menjadi sebagian hiburan kami – tempat rekreasi. Bertemu sesama teman lalu ngobrol – dan siapa tahu sedikit gosip. Ternyata gosip itu bisa menjadi tambahan kesenangan yang walaupun tidak baik.
Di dekat perumahan teman Tiongkok, ada beberapa pohon besar – tinggi – dan buahnya banyak. Pohon itu adalah pohon kesemak – buah kaki namanya. Buahnya besar dan kuning dan sangat menarik. Tetapi biasanya tidak bisa begitu jatuh lalu begitu dimakan – sebab masih keras dan bergetah banyak. Diendapkan atau diperam dulu. Akan lebih baik kalau diperam atau diendapkan dalam air dicampuri kapur. Paling cepat keesokan harinya bisa dimakan. Dan betapa enaknya – manis lezat dan renyah rasanya. Kami berdua Mawi – yang penyair yang selalu di milis ini – sangat suka akan buah itu.
Seorang Tiongkok – guru kami dalam bertani – berladang – adalah orang yang sangat sabar – baik dan menyenangkan. Namanya Lie disebut Lao Lie. Pabila dia mengawasi dan mengajar kami cara membuat jalur – galangan – bagaimana besar dan panjangnya dan tebalnya tanah – dan kegemburannya – lalu sambil menyangkul, kami tanya “tsemmeyang Lao Lie – geyi ma, ce yang de?” ( bagaimana Lao Lie – boleh nggak seperti ini…dan Lao Lie akan dan selalu menjawab….ge yi – geyi…….hen hao….( ya boleh – boleh…bagus sekali…) Mungkin Lao Lei segan kepada kami – yang “tamu-tamu asing” ini, lalu mengatakan boleh – boleh – sudah bagus kok….padahal tak lama sesudah itu, ketika kami sudah pulang,- kami lihat Lao Lie memperbaiki pekerjaan kami. Karena kurang panjang jalur dan lajur yang kami cangkul – kurang besar galangannya, dan kurang tebal tanahnya yang akan ditanami. Banyak kurangnya walaupun Lao Lie bilang hen hao – hen hao – ge yi – ge yi. Lao Lie adalah petani yang memang tani betul-betul tani asli – penduduk asli Jiangxi dan kami tahu, dia sangat menghormati dan menghargai kami. Kami sering beromong-omong dengannya dan banyak tanya ini itu dalam masalah tanah – air dan pupuk. Lama-lama antara kami menjadi tambah dekat. Dan Lao Lie sudah tidak begitu segan lagi menunjukkan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ajarannya. Lalu tidak lagi dia selalu mengatakan..ge yi …ge yi…hen hao – hen hao….. Tetapi dengan cangkulnya dia lalu menunjukkan bagaimana mengatur tanah – mengatur galangan dan mengatur lajur dan jalur dan ketebalan tanah buat ditanami. Sekarang antara kami dan Lao Lie guru pertanian-perladangan kami – sudah ada ikatan persahabatan antara guru dan murid. Ternyata rupanya – pabila kita berusaha buat membukakan hati kita
kepada orang yang kita hadapi – diapun lambat-laut akan terbuka juga kepada kita. Ternyata buat membukakan hati – selalu dengan keikhlasan – kejujuran dan kesungguh-sungguhan – dalam segala bidang kerja,-