Budaya-Tionghoa.Net| Stereotip secara sederhana pandangan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya, yang merupakan bagian psikologi sosial. Apa yang dinamakan stereotip itu bisa saja salah karena, ketinggalan jaman dan bersifat generalisasi. Contoh stereotip yang ketinggalan zaman adalah orang Indian tinggal di kemah-kemah. Mungkin di zaman sekarang masih ada orang Indian yang tinggal di kemah-kemah, tetapi pada kenyataannya sekarang sudah banyak orang Indian yang berdiam di rumah-rumah sebagaimana biasanya.
|
Bersifat generalisasi, dialami penulis saya berbincang-bincang dengan seorang teman yang kebetulan berasal dari etnis lain. Teman itu bertanya, “Etnis Tionghua kok hobinya sejarah? Seharusnya khan hobinya baca buku-buku bisnis.” Di sini ada stereotip bahwa etnis Tionghua hanya melulu pada bidang bisnis. Padahal penulis sama sekali tidak mengetahui dunia bisnis dan sama sekali tidak bisa berdagang. Sebenarnya stereotip ini dipatahkan oleh adanya seorang tokoh Tionghua pakar sejarah bernama Ong Hok Ham. Ternyata memang ada etnis Tionghua Indonesia yang sejarawan. Adalagi stereotip bahwa orang Tionghua Indonesia pasti kaya. Hal inipun terpatahkan dengan adanya orang-orang Tionghua Indonesia yang miskin.
Kini kita akan membahas mengenai Peranakan dan Totok. Sebenarnya masalah ini sudah dibahas beberapa waktu yang lalu. Hanya saja baru-baru ini disinggung kembali. Kategori totok dan peranakan ini sebenarnya adalah sesuatu yang semu dan bagaikan “hantu.” Maksudnya tidak ada tetapi ada dan ada tetapi tidak ada. Uniknya keluarga penulis dapat dikategorikan baik sebagai “peranakan” dan juga “totok.” Begini ceritanya. Di kalangan keluarga dan lingkungan penulis ada pandangan bahwa orang Tionghua yang dirumahnya bicara bahasa-bahasa rumpun Tionghua, entah itu Hokkian, Khe (Hakka), Tiociu, dll, digolongkan sebagai “totok.” Kebetulan di lingkungan tempat tinggal penulis ada orang dari luar pulau, yang bicara bahasa Tiociu, maka oleh keluarga penulis, mereka disebut “totok.”
Tetapi anehnya, keluarga penulis yang masih menjalankan tradisi Tionghua, semisal sembahyang Tahun Baru Imlek, disebut oleh kawan yang juga beretnis Tionghua, namun sudah tidak menjalankan tradisi, sebagai “totok.” Jadi keluarga penulis ini “peranakan” juga, “totok” juga. Lalu istilahnya apa? “Peratok” atau “Tokpra”? Alias Peranakan tapi totok atau totok tapi peranakan?
Karena itu totok dan peranakan tidak punya kategori yang jelas, sehingga disebut kategori semu. Uniknya ada juga orang-orang “totok” yang kurang bisa berbahasa Indonesia, tetapi tidak lagi menjalankan tradisi karena sudah menganut agama lain. Mereka ini masuk golongan mana? Totok atau peranakan? Sebagai catatan, keluarga penulis menggunakan bahasa Indonesia campur Jawa. Entah darimana kategori ini berasal. Sebagai tambahan, penulis punya teman dari Sumatera, yang di rumahnya menggunakan bahasa Hokkian. Kemudian suatu kali penulis diperkenalkan dengan saudaranya. Dia bicara pakai bahasa Hokkian. Penulis sebenarnya bisa sedikit-sedikit bahasa Hokkian; jadi kira-kira tahu apa yang dia katakan, “Ini kawan saya, tapi dia Kiauw sheng (qiaoshen) karena sudah tidak bisa bahasa Hokkian.”
Hal-hal yang berpotensi memecah belah seperti ini, hanya dapat dihilangkan melalui pendikan masyarakat dan semangat memahami orang lain. Tidak hanya berlaku antar sesama etnis Tionghua lainnya, melainkan juga antara etnis Tionghua dan etnis-etnis lainnya selaku bagian NKRI.
Sebagai tambahan, istilah totok dan peranakan juga berlaku bagi orang-orang Belanda. Ada Belanda totok dan Belanda peranakan, yang juga dianggap berbeda. Orang-orang Belanda peranakan berbicara dengan Bahasa Belanda yang “broken,” dan biasanya kurang disukai Belanda totok.
Ivan Taniputera
8 Desember 2011
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa