Senantiasa berupaya balas budi ,
dengan pemikiran dan pandangan luas ,
bertekad untuk berbakti pada tanah air
Budaya-Tionghoa.Net| Pada masa anak muda, atas nama bangsa beliau menyampaikan karangan bunga menyambut hangat Perdana Menteri Zhou Enlai, saat Konferensi Asia-Afrika Bandung tahun 1955. Ternyata anak muda itu, sejak dimulai reformasi-ekonomi di Tiongkok, bekerja keras dalam usaha menghemat devisa asing demi negara. Seorang pengusaha muda berhasil dengan fasih berfilsafat dialektika dan kontradiksi. Dialah seorang pemimpin masyarakat yang peduli pada pembangunan, serta bencana-alam yang terjadi di Tiongkok dan Indonesia. Sebagai seorang diplomat sipil yang menjalin hubungan dan perkembangan ekonomi multilateral antara Tiongkok, Indonesia dan banyak negara lain.
|
Menjelang musim panas bulan Juni ini, kami datang ke Hong Kong yang indah permai dan berhasil menemui Jackson Leung Sze Mau, Ketua Golden Island Cable Company, Hong Kong. Wartawan pergi jauh ke Pulau Mutiara di Timur, untuk menemui Jackson Leung. Bulan Juni, menjelang Ulang Tahun ke-90 berdirinya Partai Komunis Tiongkok. Hati kami tersentuh oleh semangat patriotisme dan kreatifitasnya dalam cerita pengalaman hidup dan kisah mengelola usahanya sampai sukses.
Ketulusan Hati, Dipupuk Sejak Pemuda
Ketika Li Haifeng, kepala Kantor Urusan Huakiao Dewan Negara Tiongkok, mengunjungi Hong Kong Federasi Asosiasi Perantau Tiongkok (HKFOCA, Hong Kong Federation of Overseas Chinese Associations) pada tahun 2009, berkenan menyampaikan pesan dari Presiden Hu Jintao, menyatakan terima kasih pada Huakiao dan Perantau Tionghoa yang telah memberikan sumbangan besar pada pembangunan tanahair, dan menekankan pentingnya pendidikan di masa kanak-kanak. Sedang Leung adalah teladan yang sangat baik, ia dengan tulus melaksanakannya dan meneruskan tradisi cinta tanah air dalam perbuatan nyata.
Jackson Leung lahir di Jawa Barat, Indonesia pada tahun 1940, adalah Huakiao generasi ketiga. Untuk hidup yang lebih baik, Kakeknya di akhir abad ke-19 merantau sampai ke Indonesia. Sebagaimana Huakiao umumnya, keluarga Leung juga memiliki keuletan, hidup sederhana dan berhemat. Dengan jangka waktu tidak lama, akumulasi modal yang dilakukan membawa bisnis tumbuh cepat dan lancar.
Dengan tradisi yang kuat mencintai tanah airnya, Leung menerima pendidikan di sekolah Tionghoa. Leung jelas ingat bahwa pada akhir 1949 saat klas 2 Sekolah Dasar, setelah liburan, nampak sekolah baru dicat, di dinding tergantung foto-foto Mao Zedong, Liu Shaoqi, Zhou Enlai dan Zhu De. Dari kepala sekolah dan guru, ia mengetahui Republik Rakyat Tiongkok telah berdiri. Dan timbul kejakinan bahwa perantau Tionghoa dengan demikian akan mendapatkan perlindungan dari pemerintah dan rakyat Tiongkok.
Konferensi Bandung diselenggarakan di Indonesia pada tahun 1955 adalah hasil dari perubahan situasi di Asia dan Afrika, dengan gerakan kemerdekaan nasional yang sedang berkembang setelah Perang Dunia II. Ini merupakan awal dari kerjasama antara negara-negara Asia dan Afrika, dan merupakan tonggak sejarah Tiongkok di panggung dunia. Pada saat sejarah yang sangat penting ini, Leung yang nilai-sekolahnya saat itu terbaik, dipilih untuk menyampaikan karangan-bunga pada Perdana Menteri Zhou, dan mendapatkan kasih-sayang dan dorongan dari Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia waktu itu. Pengalaman ini tertanam akar patriotisme yang dalam dibenak Leung.
Bersama dengan sejumlah besar pemuda Huakiao lainnya, Leung kembali ke negeri leluhur Tiongkok dan mulai belajar di Sekolah Pendidikan Huakiao Beijing, selama dua setengah tahun.
Tahun 1960 adalah tahun paling sulit setelah Republik Rakyat Tiongkok berdiri. Penderitaan berat dan kekurangan sandang pangan tidak hanya akibat blokade Amerika Serikat, Uni Soviet dan negara-negara Barat lain, tapi juga adanya bencana alam yang menimpa, seluruh rakyat harus “mengencangkan ikat pinggang”. Meskipun bagi murid-murid Huakiao dikecualikan dari pembatasan bahan-pangan, tetapi Leung dan siswa lain secara sukarela mengurangi konsumsi bahan makanan untuk bersama mengatasi bencana rakyat seluruh negeri. Sekalipun kelaparan dan hidup tidak nyaman, mereka sedikitpun tidak mengeluh.
Pada waktu itu, rakyat seluruh negeri digerakan untuk mempelajari filsafat. Leung mengatakan, “Dua tahun setengah ini adalah titik balik dalam hidup saya, yang membentuk nilai-nilai kehidupan pribadi saya dan menegakkan pandangan dunia. Saya belajar banyak hal yang tidak bisa saya dapatkan di luar negeri.”