Budaya-Tionghoa.Net | Saya baru saja mendapatkan buku berharga mengenai autobiografi Kwee Kek Beng, salah seorang wartawan terkemuka di negeri ini. Buku ini dibuka dengan kata pengantar oleh pengarangnya sendiri:
Penulis : Kwee Kek Beng
Jumlah halaman : 114
Penerbit : Kuo-batavia
Tahun terbit: 1948
|
“Maski soeda 25 tahon djadi wartawan soerat kabar Tionghoa-Melajoe, baroe ini kali kita menoelis satoe boekoe dalem bahasa Melajoe-Tionghoa, yang doeloe kita perna namaken dengan separo memaen, bahasa Tionghoa, bahasa Tionghoa dialect Betawi.
Sebab di djeman Djepang kita kailangan boleh dikata antero kita poenja boekoe-boekoe dan poen ampir semoewa tjatetan-tjatetan jang meroepaken penggoempoelan kira kira seperampat abad, ini boekoe djadi tida bisa begitoe lengkep dan precies saperti diinginken.
Kita bermoela rada sangsi-sangsi aken toelis ini boekoe tentang diri sendiri sebab tida satoe manoesia bisa objectief 100% apa lagi terhadap dirinja sendiri, hingga tda sala kaloe banjak orang akan anggep ini penoetoeran rada senzijdig sebab ia lebi dari itoe, ia malahan zelf zijdig, akep tjiptaken satoe perkatahan baroe.” (halaman 7)
Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana Kwee Kek Beng mengalami pahit getir zaman Jepang dengan kehilangan buku-bukunya.
Selanjutnya Kwek menuturkan bahwa ia telah mencoba menulis karangan semenjak sekolah tengah dan mengirimnya pada koran Sin Po dan Perniagaan. Ternyata yang menerima dan memuatnya di halaman depan justru harian Perniagaan. Sin Po menolaknya. Itulah sebabnya, Kwek lantas menuturkan:
“tapi Sin Po toelak semoea toelisan dari bakal ia poenja hoofredacteur!” (halaman 9).
Dituturkan pula oleh Kwee Kek Beng bagaimana riwayat Beliau dalam memimpin Sin Po hingga zaman kedatangan Jepang. Sehubungan dengan perjuangan kemerdekaan, Sin Po banyak pula memberikan mengenai Bung Karno.
Kwee Kek Beng juga bersahabat dengan beberapa raja di Bali, sebagaimana dituturkannya sebagai berikut:
“Waktoe di Bali kebetoelan sekali kita ketemoe dengan satoe kenalan lama dari Batavia, jalah toean Chia Choon Kwie itoe toekang teeken terkenal jang bisa bitjara Bali dan banjak kenalan antara orang Bali. Toean Chia dan toean Tjia Ing Djie adjak wartawan Tionghua dan wakil wakil Tionghoa koendjoengi Batoeriti jang indah letaknja dan waktoe poelang, toean Chia kasi kita satoe pemandangan jang ia teeken dekat itoe tempat sebagai tanda mata, hingga biar nanti djaoe di mata teroes tergantoeng di tembok.
Zonder pengjoendjoekan doea toean Chia dan Tjia kita tentoe tida bisa dapet liat begitoe banjak dari Bali dari kamarnja toekang tari kesohor sebagai Ktoet Reneng di Kedaton sampe astananja Tjokorda Gde Agoeng, jalah soedaranja toean Soekawati di Oeboed, ditempat mana kita poen djadi kenal dengan Tjokorda Gde Ngoerah (pamannja toean Soekawati) satoe all round artist dan dengan toekang teeken terkenal Goesti Njoman Lempat jang blakangan teken terkenal satoe album jang kita kirim ka sana dengan gambar-gambar jang tidak sembarang tourist bisa dapet liat.
Di Singaradja kita diadjak nginep dalem poeri (astana) oleh Anak Agoeng Pandji Tisna, zelfbestuurder dari Boeleleng jang mempoenjai banyak sobat dikalangan Tionghua.” (halaman 105).
Buku ini tidak hanya meriwayatkan kondisi dalam negeri saja selama zaman penjajahan Jepang, melainkan juga kondisi di Tiongkok dan Asia Timur. Oleh karena itu, buku ini tidak hanya bermanfaat bagi mereka yang ingin mengenal sejarah persurat-kabaran di Indonesia, melainkan juga informasi umum mengenai kondisi kemasyarakatan di negeri kita dan juga perkembangan sejarah di dalam serta luar negeri selama zaman pendudukan Jepang. Apalagi buku ini dituturkan dalam gaya autobiografi, sehingga kita seolah-olah mengalaminya sendiri. Meskipun demikian, buku ini ditulis dalam ejaan lama dan juga bahasa Melayu Tionghua yang kosa katanya agak sedikit berlainan dengan bahasa Indonesia.
http://www.facebook.com/groups/budaya.tionghoa/10150548955537436/
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghua