Budaya-Tionghoa.Net | Peran wanita dalam perkembangan filsafat barat amat sangat jarang dibahas dan ironisnya adalah para filsuf barat yang mendapatkan pencerahan atau inspirasi dari para wanita tenggelam dibalik keengganan mereka mengakui peran wanita yang memberikan inspirasi. Filsuf seperti David Hume, John Locke, Voltaire, Rosseau hanya beberapa nama.
|
Salon adalah tempat mayoritas para filsuf bercengkrama, tapi apa itu salon ? Apakah hanya sekedar tempat menata rambut seperti yang kita kenal sekarang ini atau tempat para pria minum minuman keras untuk pelepas ketegangan dari kehidupan sehari-hari ? Atau memiliki fungsi yang lebih luas ?
Pertanyaan ini harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum bisa memahami peran para wanita terutama salonieire yang memiliki peran penting dalam proses sejarah filsafat barat. Salon dan saloniere bisa serupa dengan tempat hiburan pria dengan para geisha atau geji dalam tradisi Jepang maupun Tiongkok, saloniere bisa setara dengan lady escourt yang bertebaran di abad 20 dan 21 ini.
Hal seperti ini tidaklah aneh jika kita melihat pendidikan para geisha dan geji yang menguasai sastra, seni, bahkan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki sebagai suatu bekal mereka dalam melayani para tamunya. Selain pengetahuan yang sudah mereka miliki, kelebihan para wanita yang berada di salon adalah pergaulannya yang begitu luas sehingga menambah wawasan mereka diberbagai bidang.
Jadi para saloniere dan geisha serta geji tidak selalu urusan dengan prostitusi murahan atau eksploitasi sex semata yang ditawarkan tapi juga pengetahuan dan saling berbagi rasa yang mereka dapatkan bisa berkaitan dengan seni, pengetahuan, filsafat dan diskusi yang mendalam, tidak harus selalu berujung dengan hubungan sexual walau tidak dipungkiri ada yang mengarah kesana.
Salon juga bisa berfungsi sebagai tempat para wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan menambah wawasan mereka, karena itu tidaklah aneh jika para wanita yang di salon itu disebut blue stocking atau wanita yang haus pengetahuan, kocak, independen, memiliki kekuatan atau charisma.
Pandangan para filsuf Enlightment tentang kebebasan dan kesetaraan hak bisa meliputi orang Yahudi, anak-anak dan orang Indian tapi peran dan kesetaraan wanita tidak tersentuh di dunia yang memegang paham paternalistic apalagi para wanita digambarkan harus penurut, pendiam, harus merendahkan diri, sopan.
Walau demikian para saloniere tidaklah seperti yang digambarkan seperti diatas, dan ada beberapa filsuf yang juga berdebat tentang peranan para wanita yang seharusnya lebih luas, seperti Mary Wollstonecraft, Marquis de Condorcet, Theodor von Hipple , Josefa Amar. Persamaan hak itu tidak lahir ditangan para filsuf Enlightment karena banyak dari mereka masih terkungkung pada pandangan budaya Eropa terhadap wanita apalagi para saloniere dianggap sebagai yang terkutuk dan diejek.
Walau dipandang buruk tapi faktanya para filsuf enlightment sering berdiskusi dengan saloniere dan peran saloniere dalam perubahan-perubahan besar di Eropa terasa jejaknya. Pandangan seragam para filsuf masa itu tentang kesucian dan hubungan sex di luar pernikahan tidaklah mengubah kenyataan bahwa para wanita itu memiliki pengaruh besar bagi perkembangan enlightment di Eropa. Dan pandangan tradisionil tentang wanita itu menyapu mereka dari catatan sejarah resmi.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa