Budaya-Tionghoa.Net | Hans atau nama lengkapnya adalah Hans Djaladara dengan karya monumentalnya, Panji Tengkorak kemudian berrlanjut ke Walet Merah dan Si Rase Terbang. Kisah Pandu Wilantara alias pendekar Pandji Tengkorak diilhami cersilnya Liang Yu-hen, Perjodohan Busur Kumala (tokohnya si pendekar gembel Kim Si-ih), dipadukan dengan Django-nya Franco Nero (koboi spaghetti Italia) yang berkelana sambil menyeret peti mati istrinya. Panji Tengkorak diangkat ke layar lebar pada tahun 1971.
|
Seno Gumira Ajidarma dalam essaynya “Panji Tengkorak Dan Partai Pengemis” berkata bahwa jika dia memiliki kekuasaan dia akan memberikan Bintang Mahaputra , untuk menghapus kesan bahwa bangsa Indonesia yang katanya berbudaya tinggi ini hanya memandang sebelah mata kebudayaan rakyat dipinggiran.”
Panji Tengkorak sebagai satu mahakarya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut , bahwa ia adalah antitesis dari Si Buta Dari Goa Hantu. Panji berpakaian seperti pengemis bertolak belakang dengan baju si Buta yang fashionable . Wajah Panji yang misterius dengan memakai topeng tengkorak berbeda dengan si Buta yang tampan . Dan Panji kemana-mana membawa peti mati. Dalam satu kisah , Panji Tengkorak berkata kepada Walet Merah :
” Orang-orang asing itu memang harus dienyahkan tapi bukan berarti kau harus mati-matian membela pengemis-pengemis itu. Mereka bukan sembarang pengemis. Aku khawatir kau hanya diperalat”.
Si Walet Merah terkecoh oleh ideologi pengemis yang sepintas mirip dengan Panji Tengkorak. Walet Merah membantu partai pengemis hanya untuk membuat mereka menjadi penjajah baru.
Filsafat kegelandangan Panji Tengkorak dengan kerapihan struktur Partai Pengemis yang sudah mirip dengan partai politik didunia modern. Panji Tengkorak sekilas sama dan tampak compang-camping tapi bertolak belakang dengan ideologi Partai Pengemis. Di masa sekarang mengalir berbagai narasi , deskripsi , orasi dari berbagai partai seperti partai pengemis dalam kisah Hans. Mereka menyuarakan ideal-ideal yang menjurus utopia dan kemunafikan filosofis untuk akhirnya berorientasi pada kekuasaan dan menjadi tirani baru.
Kita bisa banyak memetik kearifan dan kebijaksanaan dalam karya-karya komik yang sering diremehkan. Lanjut Seno lagi , meskipun seorang sudah bergelar doktor , kearifan dari komik silat seperti Panji Tengkorak ini lebih berharga daripada sekedar adu lagi di sinetron yang serba tol*l.
Ketika kejayaan komik menyurut, Hans memboyong keluarganya meninggalkan Jakarta untuk mukim di Kebumen, Jawa Tengah. Baru belakangan kembali ke Jakarta. Coretannya dinilai lebih indah dibanding karya Tony Wong (komikus Hong Kong yang kondang lewat serial Tiger Wong) atau Wee Tian Beng (komikus Singapura). Sampai tiga kali Hans merevisi komik legendarisnya, Panji Tengkorak, namun sulit mengembalikan kejayaan masa mudanya. Kemudian Hans menjadi pelukis kanvas, antara karyanya yang apik adalah lukisan Pasar Pisang.
Referensi :
2. Seno Gumira Ajidarma , “Surat Dari Palmerah” , halaman 83
3. Tempo , “Karena Si Buta Selalu Necis” , 2004
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa