Budaya-Tionghoa.Net | Salah satu orang peranakan Tionghoa Tangerang (“Cina Benteng”) yang terkenal di masyarakat penggemar cerita silat adalah Oey Kim Tiang (OKT) , yaitu yang merupakan salah satu pennerjemah cerita silat terbesar dan produktif selain Gan KL (Gan Kok Liang) . OKT juga dinilai merupakan satu-satunya penerjemah syair dalam cersil (cerita silat) ke dalam bahasa Indonesia. OKT (nama yang lebih dikenalnya) lahir di Tangerang pada tahun 1903 di Tangerang dan meninggal pada tahun 1995.
|
Ayahnya adalah seorang mandor kebun kelapa, ia mendapatkan pendidikan dasarnya di Tangerang, lalu melanjutkan pendidikannya ke sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), disana ia belajar bahasa Mandarin dan sejarah Tiongkok tetapi hanya mampu melanjutkan sekolahnya sampai ketingkat SMP. OKT pernah berkerja sebagai jurnalistik pada koran Perniagaan, dan kemudian pindah ke koran Keng Po yang baru saja berdiri pada tahun 1923. Ia berkerja dengan setia pada koran Keng Po dan bertahan disana sampai koran itu terhenti penerbitannya pada tahun 1958.
Ia dianggap sebagai salah satu orang yang berperan menyebarkan dan mempopulerkan kesusasteraan Melayu Tionghoa, karena penguasan bahasa “Melayu Tonghoa” (atau disebut juga sebagai Melayu Betawi) ini pernah mendapatkan pujian dari sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana dan Ajip Rosidi.
Selama hidupnya, OKT diperkirakan telah menerjemahkan sekitar 100 buah buku silat, dari pengarang-pengarang ternama seperti Chin Yung, Liang Ie-Shen, Wang Du Lu dll. Karya-karya terjemahan cerita silatnya yang populer antara lain adalah Kim Coa Kiam (Pedang Ular Emas), Giok Lo Sat (Wanita Gagah Perkasa), Yoe Hiap Eng Hiong (Pertentangan Kaum Persilatan), Hiap Kek Heng (Kisah Para Pendekar), Su Kiam In Lu Kiu Lok (Puteri Harum dan Kaisar), Tiat Kie Gin Pan, Go Houw Tjong Liong, dll.
Ada anggapan bahwa “Aulia” adalah nama lain atau nama pena dari OKT , padahal Aulia adalah nama cucu pertamanya yang digunakan OKT sebagai nama samarannya (pseudo-name) , ketika ia menulis untuk penerbit diluar Keng-Po. Nama Aulia hanya dipakai OKT ketika menerjemahkan “Sin Tiauw Eng Hiong saja. Pseudo-name lainnya adalah “Chandra” ketika OKT mener
Boe Beng Tjoe
Ada anggapan bahwa OKT bersama dengan Boe Beng Tjoe yang dianggap sebagai nama samaran Oey An Siok. Tidak sepenuhnya tepat untuk mengatakan nama “Boe Beng Tjoe” adalah ‘nama samaran’ Oey An Siok. Nama “Boe Beng Tjoe” (dalam bahasa Hokkian, yang berarti “si tanpa nama”) sebenarnya berawal sebagai nama samaran (pseudo-name) OKT sendiri, yaitu untuk karya-karya terjemahan yang almarhum kerjakan bukan untuk penerbit KengPo, misalnya untuk penerbit-penerbit Kisah Silat, Mekar Djaja, Marga Raya, dll. Karena sebagai karyawan tetap Keng Po, almarhum merasa tidak etis apabila ia menulis untuk pihak lain dengan memakai ‘trade-mark’ yang masyarakat mengenalnya sebagai orang Keng Po. Judul cersil yang diterjemahkan OKT dengan nama “Boe Beng Tjoe” a.l. adalah “Sin Tjioe Eng Hiap”.
Kemudian nama “Boe Beng Tjoe” juga dipergunakan sebagai pseudo-name dari kerjasama (kolaborasi) antara OKT dengan sepupunya Oey An Siok. Ini berawal dari sakitnya OKT ketika sedang menerjemahkan suatu naskah, padahal ‘the show must go on’, dan An Siok bersedia menggantikan sepupunya sementara dia sakit. Ketika OKT sudah sembuh, ternyata kerjasama itu dilanjutkan beberapa kali lagi. Judul cersil yang diterjemahkan OKT bersama Oey An Siok dengan nama “Boe Beng Tjoe” a.l. adalah “Sin Tiauw Hiap Lu”, “Ie Thian To Liong (To Liong Too)”, Hoei Ho Gwa Toan”.
Tetapi nama “Boe Beng Tjoe” juga pernah dipergunakan oleh Oey An Siok
sendiri, tanpa berkolaborasi dengan OKT (walau dengan sepengetahuan, bahkan blessing-nya), untuk beberapa judul cersil. Judul cersil yang diterjemahkan Oey An Siok sendirian dengan nama “Boe Beng Tjoe” a.l. adalah “San Hoa Lie Hiap”.
Catatan lain bahwa untuk menulis di KengPo, Oey Kim Tiang selain memakai pen-name “OKT”, juga pernah memakai nama-nama “KT”, “Huang”, “CC Huang” dan “CH”. Perlu dikemukakan juga bahwa untuk KengPo, OKT bukan hanya menulis cersil. OKT juga banyak menerjemahkan karya klasik Tiongkok , seperti “See Yoe” (menurut saya ini terjemahan See Yoe yang terbaik). Serta membuat narasi komik, seperti “Sie Djin Koei” yang dilukis oleh Siauw Tik Kwie. Tetapi alur cerita dan narasi text-nya dibuat oleh OKT. Dan juga menerjemahkan cerita detektif, seperti serial “Oey Eng – Si Burung Kenari”.
Buku-buku silat karangan OKT populer pada tahun 1950-an sampai tahun 1980-an. Ada juga karya OKT yang populer di tahun 1990-an, yaitu “Kaki Tiga Menjangan (Lu Ding Ji)”. Ada anggapan bahwa kondisi politik pada pada jaman Orba yang membatasi kebudayaan Tionghoa, maka buku-buku silat ini mengalami mati suri dan kemerosotan popularitasnya. Tetapi percaya atau tidak , pembatasan pertama pada cersil justru terjadi sejak
sebelum Orba, yaitu di jaman Bung Karno, berupa larangan memuat cersil di penerbitan berkala, seperti koran dan majalah (diterbitkan berupa buku masih boleh)! Alasannya adalah: “tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia”. Untung OKT tidak sampai masuk penjara, tidak seperti Koes Ploes yang masuk penjara karena memainkan lagu-lagu yang “tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia”
PENGGEMAR
Buku-buku silat karangan OKT ini sangat digemari orang , karena menggunakan bahasa dan istilah Melayu Tionghoa yang mudah dimengerti, populer, dan umum digunakan oleh orang kebanyakan sehari- hari (vernacular), tetapi dapat menguasai emosi si pembaca, mengajak pembacanya untuk berimajinasi dan terasa hidup didunia berbeda, memikat, dan tidak menyepelekan logika pembacanya. Inilah keindahan dan kekuatan misterinya buku silat terjemahan OKT yang dapat membuat si pembaca merasa kecanduaan.
Cersil ini dapat dinikmati oleh siapa saja, tidak hanya orang Tiongoa saja, dan didistribusikan keseluruh Tanah Air, karena menggunakan bahasa Indonesia. Ada anggapan mengenai banyaknya dari cerita-cerita silat OKT ini telah difilmkan atau ditayangkan di TV. Kalau di-‘satu-nafas’-kan seperti ini bisa terkesan bahwa terjemahan OKT pernah difilmkan, baik sebagai movie ataupun sebagai TV serial. Padahal yang terjadi adalah munculnya film silat merupakan trend yang diawali di Hongkong, ketika orang mulai beralih perhatiannya dari mengikuti serial cersil dalam bentuk feuilleton di koran-koran atau majalah, berpindah ke mengikutinya di serial film bioskop atau TV (walau cersil dalam media buku tetap laku). Kecenderungan ini (orang meninggalkan baca cersil sebagai cerita bersambung di koran dan beralih ke menonton serial film cersil) mulai berlangsung di awal 1970-an di Hongkong itu, yang lalu meluas sampai ke Malaysia, Singapura dan Indonesia. Namun begitu tidak pernah ada karya OKT, atau penerjemah
cersil lainnya di Indonesia, yang sampai difilmkan.
Banyak pembaca menyukai gaya dan istilah dalam buku silat seperti, “Naga menggoyang ekor”, “membuka jendela melongok rembulan”, kemekmek (terkesima), temaha (tamak), menggape, merandek, memapaki, meyampok, amprok, somplak, menggibriki, mendusin, kepergok, menjublak, kosen, loteng, dan istilah-istilah lainnya yang jarang digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang dikenal pada masa kini, kecuali dalam bahasa Betawi sehari-hari.
Cerita silat ini juga pernah diberitakan digemari oleh beberapa golongan elit , seperti yang pernah di beritakan di koran Jakarta Post, mantan Presiden Gus Dur disebut mengidentifikasikan dirinya sebagai Kwee Ceng, tokoh pendekar Sia Tiaw Eng Hiong (Legend of Condor Heroes), dengan jurus Penakluk Naganya yang kesohor.
Ada yang menyebutkan bahwa penggemar lainnya yang pernah disebutkan adalah Adam Malik, Sultan Hamengkubuwono IX, Amien Rais dan mantan Menkeu Bambang Subiyanto. Tetapi tidak pernah ada catatan atau bukti tentang Adam Malik dan HB-IX sebagai penggemar cersil. Sedangkan tentang Amien Rais, yang penggemar cersil bukanlah dia, melainkan
istrinya yang penggemar berat! ‘Celebrities’ penggemar cersil lainnya a.l. adalah Marsillam Simandjuntak, Gunawan Mohammad dan Arifin Panigoro. Sebaliknya, tokoh-tokoh seperti Edhie Lembong (yang pendiri INTI) dan Jakob Oetama (pewaris heritage KengPo) justru tidak pernah baca cersil!
MENDAPAT PERHATIAN KEMBALI
Cersil ini bersifat universal dan mampu menyatukan semua lapisan masyarakat, suku, agama, jabatan, profesi dan apapun latar belakangnya. Cersil adalah salah satu bentuk kesusasteraan populer dan populis serta merupakan salah satu Genre kesusasteraan Indonesia yang sudah waktunya di jaman reformasi ini mendapatkan perhatian kembali walaupun sebagai sastra Indonesia, dalam arti karya tulis, hal ini tidak mudah!
Persaingan dari cersil dalam media film (movie dan TV) dan komik yang
semuanya buatan luar negeri (Hongkong dan RRT untuk film, dan Amerika
Serikat untuk komik), walaupun dalam bahasa Inggris atau dengan subtitle
bahasa Inggris, jaman sekarang ini sangat berat untuk dilawan oleh cersil
dalam media buku buatan dalam negeri, walaupun dalam bahasa Indonesia.
Namun demikian, upaya gigih beberapa orang telah mulai menampakkan hasilnya. Dalam dua tahun terakhir, sudah hampir seratus judul cersil yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Jakarta, Bandung, Semaran dan Surabaya. Sebagian merupakan cetak ulang judul-judul lama, sebagian merupakan terbitan/terjemahan baru atas karya pengarang asli Tionghoa yang lama (yang notabene sudah meninggal), sebagian lagi merupakan terbitan/terjemahan baru atas karya pengaran asli baru.
Suasananya memang belum kembali ke jaman ‘wabah cersil’ di tahun 1960-an, dan mungkin tidak akan itu terulang lagi. Tetapi kalau hanya untuk sekedar memenuhi sasaran “mendapatkan perhatian kembali” sudah jauh lebih daripada itu! Bahkan dengan pretext bahwa cersil adalah suatu genre sastra Indonesia, sedang dipersiapkan suatu seminar internasional tentang genre sastra cersil pada Imlek 2008, dengan kegiatan ‘pemanasan’ berupa seminar nasional pada pertengahan 2007.
Uniknya, semua upaya revival cersil yang berlangsung gencar pada beberapa tahun terakhir ini, dimulai dari suatu milis yang mirip milis Budaya Tionghoa ini…
Golden Horde , Akhmad Bukhari Saleh
Mailing-List Budaya Tionghua , November 2006
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa