Budaya-Tionghoa.Net | Pada kesempatan kali ini kita akan mencermati tahapan-tahapan perkembangan Daoisme yang terjadi sepanjang sejarah Tiongkok. Adapun pembahasannya dibagi berdasarkan dinasti-dinasti yang silih berganti.
Read more: Sejarah Daoisme Selayang Pandang1.Perkembangan keagamaan semasa Dinasti Shang
Dinasti Shang mengenal adanya kelas pendeta (shaman) yang bertujuan untuk melakukan pemujaan terhadap leluhur ataupun para dewa. Dalam legenda Tiongkok kuno terdapat para penguasa yang disebut dengan “Tiga Raja dan Lima Kaisar” (sanhuang wudi). Apa yang dimaksud dengan sanhuang wudi ini telah kita bahas di atas, sehingga tidak akan diulas panjang lebar di sini.
Rakyat Shang mengembangkan suatu kepercayaan politeistik yang terdiri dari berbagai makhluk dewa dan setengah dewa (seperti di Yunani kuno). Kepercayaan ini berbeda dengan kepercayan dinasti berikutnya yang tidak lagi bersifat politeistik dan lebih menekankan pemujaan terhadap Langit. Ini nampak nyata dalam ungkapan Konfusius bahwa masyarakat Shang memuja guishen (gui artinya hantu dan shen berarti dewa) yang dapat diartikan sebagai roh-roh alam, sedangkan masyarakat Zhou menghormati tetapi menjaga jarak terhadap mereka.
2.Para ahli filsafat Daois semasa Zaman Dinasti Zhou
a. Laozi
Perbedaan utama antara Konfusius dan Laozi adalah dalam segi riwayat hidupnya yang masih diselubungi kegelapan sejarah. Tidak banyak catatan yang dapat ditemukan mengenai riwayat hidup ahli filsafat yang bernama asli Li Er ini. Sejarawan terkemuka Tiongkok bernama Sima Qian yang menulis sekitar tahun 100 sesudah masehi, Laozi berasal dari desa Churen, propinsi Hunan, dan hidup sekitar abad ke-6 SM, di ibu kota Loyang dari Kerajaan Chu. Marga Laozi adalah Li sedangkan nama panggilannya adalah Er. Beliau sempat diangkat sebagai seorang ahli perpustakaan kerajaan pada masa pemerintahan Dinasti Zhou. Sebagai seorang ahli perpustakaan, ia memiliki kesempatan untuk membaca literatur-literatur klasik sehingga pada akhirnya juga dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang perbintangan serta peramalan.
Tatkala usianya telah lanjut, Laozi mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai ahli perpustakaan kerajaan untuk mengasingkan diri. Saat hendak meninggalkan ibu kota, seorang penjaga gerbang bernama Lin Yixi menghentikan langkahnya, serta meminta agar dituliskan sebuah kitab. Permintaan ini diluluskan oleh Laozi. Ia menuliskan sejilid kitab singkat yang hanya terdiri dari 5000 huruf Tionghua dan setelah itu menyerahkannya pada sang penjaga gerbang. Laozi meninggalkan ibu kota dan tidak pernah terdengar kembali kabar beritanya. Kitab singkat yang berjudul Daodejing itu, untuk selanjutnya menjadi kitab pegangan bagi para penganut Daoisme.
Berbeda dengan penganut Konfusianisme, Dao menurut Daodejing diartikan secara metafisik, yakni sebagai bahan dasar penyusun segala sesuatu. Dao bersifat sederhana dan tanpa bentuk, tanpa keinginan, tanpa nama, serta tanpa gerakan ataupun daya upaya. Dao ini telah ada sebelum adanya langit dan bumi. Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh diri manusia dari Dao, sehingga semakin berkuranglah kebahagiaannya. Daodejing mengatakan:
Dao adalah bagaikan bejana yang meskipun hampa
Dapat ditimba tanpa hingga
Dan tiada berguna untuk mencoba mengisinya
Begitu luas dan dalamnya
Hingga nampak sebagai yang tertua dari yang ada
Bila terbenam di dalamnya, maka ujung yang paling tajam akan menjadi rata
Masalah tersulit akan sirna
Cahaya gemilang penebar kebahagiaan
Segala yang tak mungkin kembali menjadi sesuatu yang sederhana
Ia adalah setenang alam kematian
Aku tak mengetahui putera siapakah ia .
Berdasarkan kutipan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Dao bagi penganut Daoisme merupakan sesuatu yang asali sebelum tercemari oleh pikiran-pikiran bentukan manusia. Oleh karena bersifat asali, ia bersifat alami pula dan bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Dengan demikian orang yang menjalankan Dao akan menghindari banyak lagak dan mementingkan kesederhanaan serta kewajaran. Kitab Daodejing mengajarkan kembali bagaimana cara hidup sederhana secara wajar:
Sepuluh ribu hal telah terjadi
Dan kusimak semuanya kembali
Betapapun terjadi kesemarakan yang semakin tinggi
Masing-masing pada akhirnya akan berpulang pada kondisi asali
Kembali pada kondisi asali ini berarti mencapai kedamaian abadi
Itulah kedemikianan segala sesuatu
Kedemikian itu merupakan suatu pola tanpa akhir
Memahami pola tanpa akhir itu berarti mencapai pencerahan
Barangsiapa yang tak memahaminya akan kering dan layu oleh musibah
Yang mengenal pola abadi ini akan mencakupi segalanya
Mencakupi segalanya dengan sikap adil sempurna
Adil sempurna menjadikannya seorang penguasa
Seorang penguasa menjadi sama dengan para dewa
Serupa dengan para dewa berarti sejalan dan sehati dengan Dao
Sejalan dan sehati dengan Dao berarti satu dengan Dao itu sendiri, ia tak terbinasakan
Meskipun tubuhnya dapat lenyap ditenggelamkan samudera kehidupan
[Tetapi] akanlah ia luput dari segenap gangguan .
Dari kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Dao mengajarkan manusia untuk menyelaraskan diri dengan hukum hakiki alam semesta. Terlalu memaksakan diri untuk melaksanakan sesuatu yang berada di luar jangkauannya adalah suatu kesalahan.
b. Zhuangzi dan Liezi
Setelah zaman Laozi, terdapat banyak ahli filsafat terkenal lainnya yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan Daoisme seperti Zhuangzi (369 SM – 286 SM) dan Liezi (abad 4 SM). Dengan adanya kedua ahli filsafat tersebut, Daoisme memasuki tahapan baru. Terdapat perbedaan ajaran-ajaran mereka dengan Daoisme yang lebih awal ataupun filsafat yang terdapat dalam Daodejing.
Sebelumnya keterlibatan seseorang di dalam politik masih dimungkinkan, namun Zhuangzi dan Liezi mengajarkan bahwa seorang suciwan mustahil untuk terlibat dalam politik. Pengertian wuwei (secara harafiah berarti “tidak berbuat”) berubah menjadi “tidak terlibat” ataupun “membiarkan sesuatu sebagaimana adanya.” Para suciwan tidak lagi memperdulikan hal-hal duniawi. Orang awam terperangkap dalam kemashyuran serta kemewahan, tetapi sebaliknya para suciwan menghindarinya, sehingga mereka benar-benar terbebas dari segenap permasalahan duniawi.
Perbedaan berikutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, Dao menurut Daodejing adalah kekuatan yang baik. Namun Zhuangzi dan Liezi, memandang Dao sebagai kekuatan yang bersifat netral. Ia masih merupakan dasar bagi keberadaan segala sesuatu, tetapi tidak lagi merupakan suatu kekuatan yang bajik. Lebih jauh lagi menurut keduanya, Dao tidak lagi memegang kendali atas segala sesuatu di muka bumi ini, apa yang akan terjadi, pasti terjadi; dan tidak ada sesuatupun yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Terlepas dari semua perbedaan tersebut, Ajaran Zhuangzi dan Liezi, masih memiliki banyak kesamaan dengan Ajaran Daoisme dari periode sebelumnya. Dao masih dipandang sebagai sesuatu yang tak bernama, tanpa bentuk, serta tak dapat dipahami dengan rasio manusia biasa. Mereka yang dapat memahami hakekat Dao beserta cara bekerjanya, adalah orang yang tercerahi.
Di dalam Daodejing, Dao dipandang sebagai asal muasal segala sesuatu. Zhuangzi mengolah kembali pandangan ini dengan mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki asal muasal yang sama. Tidak ada sesuatupun yang lebih berharga dibandingkan yang lainnya. Begitu pula manusia tidak lebih berharga dibandingkan hewan. Selain mengajarkan prinsip kesetaraan segala sesuatu ini, Zhuangzi juga mengajarkan bahwa hidup ini mengalami transformasi yang terus menerus dari Dao.
Zhuangzi mewariskan pada kita sebuah kitab yang diberi judul namanya sendiri yakni kitab Zhuangzi. Kitab ini memiliki judul lain yang berbunyi Nanhua zhenjing (Kitab Klasik Kemurnian dari Nanhua). Di dalamnya juga terdapat pandangan shamanistik mengenai para suciwan, misalnya dikatakan bahwa mereka dapat terbang ke langit, berbicara dengan hewan, serta memiliki kekuatan-kekuatan atas unsur-unsur alam. Sedangkan Liezi meninggalkan sebuah kitab yang juga diberi judul sesuai dengan namanya.
Zhuangzi dikatakan lahir di Tiongkok bagian tengah yang kini terletak di Propinsi Henan serta mempunyai jabatan rendah dalam pemerintahan. Hanya sedikit riwayat yang kita kenal mengenai dirinya. Kitab hasil karyanya itu terdiri dari 33 bagian, yang masih dibagi lagi menjadi bagian “luar” dan “dalam.” Bagian “dalam” meliputi tujuh bagian pertama. Sebagian besar di antara tujuh bagian pertama ini dianggap otentik oleh para ahli, sedangkan bagian selanjutnya diduga sebagian besar palsu. Zhuangzi mengajarkan relativitas dari segala sesuatu, sebagaimana yang nampak dari kutipan menarik Kitab Zhuangzi berikut ini:
Suatu kali, aku, Zhuang Zhou (nama pribadi Zhuangzi – penulis), bermimpi bahwa aku menjadi kupu-kupu dan merasa bahagia sebagai kupu-kupu. Saya merasa sadar bahwa saya merasa cukup puas dengan diri saya sendiri, namun saya tidak mengetahui bahwa saya adalah Zhou. Tiba-tiba aku terjaga, dan jelas sekali aku adalah Zhou. Saya tidak tahu apakah apakah Zhou yang bermimpi menjadi kupu-kupu ataukah sang kupu-kupu yang bermimpi menjadi Zhou. Antara Zhou dan kupu-kupu pastilah terdapat perbedaan. Inilah yang disebut transformasi segala sesuatu.
Relativitas segala sesuatu ini makin ditegaskan pada kutipan berikut ini:
Bila seseorang tidur di tempat yang basah, maka ketika bangun, ia akan merasa bahwa punggungnya sakit…. namun apakah hal yang sama berlaku pada seekor belut? Jika seseorang mencoba untuk berdiam di atas pohon, maka ia akan pingsan karena ketakutan. Namun hal yang sama berlaku pada seekor monyet? Di antara ketiga hal ini, manakah yang mengetahui habitat yang [paling] benar untuk hidup? Manusia makan daging, rusa makan rumput, kelabang menyukai ular, burung hantu dan burung gagak memakan tikus. Dapatkah Anda mengatakan manakah makanan yang [paling] benar di antara keempat makhluk ini?… Orang memandang Mao Chiang dan Li Ji sebagai wanita-wanita tercantik, tetapi begitu melihat mereka, ikan-ikan menyelam jauh ke dalam air [untuk menyembunyikan diri] dan sementara itu burung-burung lari beterbangan… [Lalu jika demikian], manakah tolok ukur yang benar mengenai kecantikan?
Sebagaimana halnya ajaran yang terkandung di dalam Daodejing, Zhuangzi juga mengatakan bahwa memaksa mengusahakan sesuatu di luar kemampuan kita adalah suatu kekeliruan. Ia mengatakan:
Mereka yang memahami kehidupan tidak akan mengupayakan sesuatu yang tidak diberikan oleh kehidupan. Mereka yang memahami nasib tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada di luar jangkauan pengetahuan .
Sikap untuk tidak terlalu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu ini mendorong timbulnya gerakan pertapaan bagi kaum Daois, dimana hal ini ditentang oleh penganut Konfusianisme yang mengajarkan diri untuk tidak menarik diri dari masyarakat.
Kini kita akan mengutip sedikit ajaran Liezi:
Tak ada seorangpun yang berusia lebih dari seratus tahun, dan tidak ada satu dari seribu orang yang dapat mencapai usia seratus. Dan bahkan orang yang satu ini menghabiskan setengah dari kurun waktu kehidupannya sebagai anak yang tak berdaya atau orang tua yang sudah pikun. Dari waktu yang tersisa, setengahnya dihabiskan untuk tidur atau terbuang pada siang hari. Selanjutnya dari sekian waktu yang tersisa dari itu semua, ia masih didera oleh rasa sakit, penyakit, kesedihan, dendam, kematian, kerugian, kekhawatiran, serta ketakutan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun atau lebih boleh dikatakan bahwa tidak sampai satu jam seseorang dapat merasakan kedamaian terhadap diri sendiri dan lingkungannya, tanpa diganggu oleh rasa cemas.
[Bila demikian] untuk apakah manusia hidup? Apakah kesenangan yang dapat diperoleh dari kehidupan itu? Apakah kita hidup untuk menikmati keindahan serta kekayaan? Apakah untuk menikmati keindahan suara dan warna semata? Bukankah ada saatnya ketika ketika keindahan dan kekayaan tidak lagi memenuhi kesenangan hati, dan ada pula saatnya ketikga suara dan warna menjadi sesuatu yang mengganggu telinga serta mata.
Apakah kita hidup agar ditakut-takuti sehingga tunduk pada hukum dan kadang-kadang bertindak nekad [melawan hukum] karena didorong oleh upah atau ketenaran? Kita merusak diri sendiri dengan berusaha mati-matian merangkak ke atas, sambil berusaha untuk mereguk pujian dangkal yang diperdengarkan satu jam semata. Mencari akal untuk menemukan bagaimana caranya nama baik kita tetap dikenang setelah kematian. Kita bergerak melintasi dunia dalam suatu celah sempit yang penuh dengan berbagai hal remeh yang kita lihat serta dengar, sambil berpikir berdasarkan prasangka-prasangka, mengabaikan kenyamanan hidup, tanpa menyadari bahwa kita telah kehilangan segala-galanya.
Orang di zaman dahulu menyadari bahwa kehidupan dan kematian datang secara tiba-tiba. Mereka tidak mengingkari salah satupun dari keinginan-keinginan alami mereka, dan tidak pula menekan satupun di antara hasrat-hasrat mereka. Mereka menyimak melalui kehidupan, sambil memperoleh kesenangan yang digerakkan oleh detak jantung mereka. Karena tidak mempedulikan ketenaran setelah kematian, maka mereka mengatasi hukum. Mereka tidak pula mempedulikan nama serta pujian, cepat atau lambat, usia panjang atau pendek…
Ungkapan Liezi di atas mengajarkan manusia untuk merenungkan hakekat kehidupan mereka. Manusia telah lahir dalam suatu dunia yang tidak ikut diciptakannya sehingga tidak dapat dipahaminya secara penuh. Hal ini diperberat lagi oleh belenggu-belenggu kewajiban serta ketakutan. Manusia masih membebani dirinya dengan tuntutan pada diri sendiri agar melakukan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Kita meneladani ajaran ini dengan tidak merasa cemas, menghadapi hidup sebagaimana adanya, dan tidak terperangkap oleh keinginan yang tidak bermanfaat.
c. Perbedaan pandangan lainnya antara Daoisme dan Konfusianisme
Penganut Daoisme dan Konfusianisme memiliki perbedaan pandangan dalam hal keadilan. Untuk memperjelas hal ini kita akan mengutip apa yang diungkapkan Alan Watts dalam bukunya Tao of Philosophy:
Ada kata lain bagi keadilan (justice), atau hukum. Dalma bahasa Tionghua, istilah ini berarti ketel beserta sebilah pisau untuk memasak korban persembahan. Dalam peradaban Tiongkok kuno, kaisar menuliskan hukum-hukum negara dengan sebilah pisau di samping ketel, sehingga ketika korban di bawa untuk dimasukkan dalam ketel itu, mereka yang membawa korban dapat membaca dan mengerti maksudnya. Walaupun demikian, penasihat kaisar mengatakan bahwa tindakan itu sangat buruk, karena pada saat hukum itu dibaca, muncullah keinginan untuk melanggarnya. Mereka yang membaca hukum tadi justru memikirkan cara-cara untuk melanggarnya, dan itulah yang kita lakukan selama ini. Tatkala kongres mengesahkan sebuah undang-undang – khususnya undang-undang pajak – semua penasihat hukum berkumpul dan mencari celah-celah untuk melanggarnya. Mereka mengatakan, “Undang-undang pajak ini ternyata tidak mendefinisikan ini dan itu.” Demikian juga dengan sebagian pengikut Konfusius yang ingin menertibkan bahasa dan membuat semua kata mempunyai arti setepat-tepatnya, tetapi para penganut Daois mentertawakan mereka dan berkata, “Jika Anda mendefinisikan kata-kata, dengan kata-kata apa Anda akan mendefinisikan kata-kata yang mendefinisikan kata-kata itu?” Sehingga, penganut Daoisme menyatakan bahwa kaisar jangan menuliskan hukum karena rasa keadilan bukan sesuatu yang dapat dirumuskan dengan kata-kata. Para penasihat hukum menyebutnya “keadilan” (equity). Jika Anda membicarakan beragam hakim dengan penasihat hukum manapun, ia akan berkata, “Hakim Smith lebih mengacu pada hukum secara harafiah, namun hakim Jones mempunyai rasa keadilan. Hakim Jones tahu dalam kasus khusus apa suatu hukum ternyata tidak dapat diterapkan. Ia mempunyai kecenderungan untuk “bermain sportif,” dan figur seperti itulah yang dipercaya menjadi hakim.”
Berdasarkan kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Konfusianisme berusaha menuangkan hal-hal yang sesungguhnya abstrak seperti halnya “keadilan,” ke dalam kata-kata atau hukum tertulis. Sedangkan Daoisme mengatakan bahwa “keadilan” yang sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata. Menurut hemat penulis kedua-duanya tidak ada yang salah. Meskipun benar bahwa “keadilan” sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata dan hukum masih dapat dicari celahnya, tetapi hukum tetap saja diperlukan. Tidak dapat dibayangkan apabila suatu negara tidak memiliki hukum. Jadi semuanya memiliki proporsi kebenaran sendiri-sendiri.
3.Berdirinya Daoisme sebagai lembaga keagamaan pada zaman Dinasti Han
Daoisme baru menjelma menjadi suatu agama yang terorganisasi pada masa Zhang Daoling yang hidup semasa Dinasti Han Timur. Meskipun demikian proses transformasi ini tidak akan terjadi begitu saja tanpa faktor-faktor pendukungnya. Berikut ini kita akan mempelajari hal-hal apa saja yang menjadi pendorong bagi proses tersebut.
Pada masa akhir Dinasti Zhou yang terpecah menjadi beberapa negara, banyak orang yang terpelajar yang berkeliling untuk menjajakan kemampuan mereka sebagai ahli ketata-negaraan maupun penasehat politik. Mereka berkeliling untuk mencari raja atau penguasa yang bersedia memanfaatkan jasa mereka. Profesi mereka pada masa sekarang dapat disamakan dengan para konsultan dari berbagai bidang. Dengan penyatuan Tiongkok di bawah Dinasti Qin, praktis jasa mereka tidak diperlukan lagi. Dinasti Han yang merupakan kelanjutan dari Dinasti Qin juga memerintah seluruh Tiongkok. Sama dengan Dinasti Qin, mereka menerapkan sistim pemerintahan yang terpusat serta membatasi kekuasaan para bangsawan. Dengan demikian persatuan negara menjadi kuat. Sistim pemerintahan terpusat tersebut menjadikan kaum terpelajar yang sebelumnya berkeliling menjajakan jasa mereka tidak diperlukan lagi keberadaannya.
Sebelumnya banyak dari mereka yang juga menguasai kemampuan gaib, seperti meramal nasib, penyembuhan, dan memperpanjang usia. Karena pengetahuan mereka dalam bidang ketata-negaraan serta politik tidak diperlukan lagi, dilakukanlah alih profesi dengan memanfaatkan kemampuan lain tersebut. Pada masa Dinasti Qin dan Han awal, mereka membentuk suatu kelompok masyarakat tersendiri yang disebut dengan fangshi. Kata ini sendiri berarti “ahli ilmu gaib” (masters of formulae). Secara umum mereka terbagi menjadi dua, yakni yang mengkhususkan diri pada ilmu gaib, peramalan serta penyembuhan dan mereka yang mengkhususkan diri pada ilmu pemanjang usia serta rahasia hidup abadi. Masing-masing golongan ini hadir guna memenuhi harapan kedua kelompok masyarakat yang berbeda. Kaum kaya lebih menginginkan umur panjang serta hidup abadi, sedangkan kaum miskin tidak memerlukannya. Kehidupan mereka diliputi kesengsaraan, sehingga memperpanjang hidup bagi mereka sama saja dengan memperpanjang penderitaan. Sebaliknya kaum miskin yang antara lain terdiri dari petani, lebih menghendaki jaminan panen yang baik dan kesehatan diri beserta anggota keluarganya, sehingga dapat bekerja di ladang dengan lancar. Para fangshi memenuhi segenap dambaan mereka dengan menuliskan jimat yang berisikan simbol-simbol tertentu serta kata-kata yang dipercaya mengandung kekuatan gaib. Tujuannya adalah untuk mengundang roh-roh suci agar memberikan kesembuhan dari penyakit, perlindungan, serta mengabulkan setiap harapan. Jadi kaum fangshi ini kemudian menjadi semacam kelas pendeta di tengah-tengah masyarakat pada zaman itu, dimana kelas kependetaan semacam ini sebelumnya belum dikenal dalam Daoisme.
Faktor pendorong lain, adalah ajaran seorang ahli filsafat bernama Mozi (± 480 – 390 SM). Beliaulah yang mengawali tradisi suatu agama terorganisasi dengan mendirikan altar-altar guna memuja roh-roh halus lokal. Para pengikut Mozi yang disebut kaum Mohis, mengajak rakyat untuk memuja altar-altar itu. Meskipun Ajaran Mozi (Mohisme) kehilangan pengaruhnya pada masa Dinasti Han, tetapi tetap saja rakyat masih melakukan pemujaan semacam itu, yang kemudian diambil alih oleh Daoisme.
Faktor ketiga yang mendorong perubahan Daoisme menjadi suatu agama, adalah melemahnya upacara ritual kerajaan yang dilakukan oleh para shaman. Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, para raja Dinasti Zhou memanfaatkan jasa para shaman untuk melakukan upacara keagamaan bagi mereka. Lambat laun makna dari upacara keagamaan tersebut menjadi tidak dikenal lagi, sehingga upacara tersebut merosot menjadi semacam rutinitas belaka. Karenanya upacara semacam itu tidak dapat lagi memuaskan kebutuhanan spiritual pada masa itu. Akhir upacara-upacara kuno yang diorganisasi kerajaan terjadi semasa Dinasti Han, di mana kaisar memutuskan untuk menganut Daoisme, dengan mendirikan altar pada tahun 150 M guna menghormati Lao Zi. Posisi para shaman penyelenggaran upacara ritual kerajaan digantikan oleh para fangshi.
Demikianlah tiga prasyarat untuk menjadikan Dao suatu agama tersedia sudah: kelas kaum pendeta, sistim pemujaan, dan dukungan kerajaan. Pada masa inilah Zhang Daoling tampil ke panggung sejarah. Semasa mudanya, Zhang Daoling mempelajari kitab-kitab klasik Konfusianisme, namun kemudian beralih pada ajaran-ajaran Lao Zi serta ilmu memperpanjang umur. Ia lalu pindah ke wilayah Shu (Yunnan sekarang), yang pada masa itu merupakan daerah terpencil serta bergunung-gunung. Daerah tersebut didiami oleh suku-suku yang mempraktekkan kepercayaan shamanistik kuno. Bagi orang yang tinggal di desa-desa terpencil semacam itu, roh-roh adalah sesuatu yang nyata dan ilmu gaib adalah pusat kehidupan mereka. Zhang Daoling menyatakan bahwa ia menerima ajaran langsung dari Lao Zi, yang juga memberikannya kekuatan guna menyembuhkan penyakit serta menaklukkan roh-roh jahat. Karena keampuhan air yang telah dibubuhi abu hasil pembakaran jimatnya, Zhang berhasil menarik banyak pengikut. Jimat tersebut adalah sehelai kertas kuning yang ditulisi simbol-simbol tertentu dengan warna merah. Kebanyakan simbol-simbol tersebut merupakan sarana untuk memanggil roh-roh atau makhluk suci. Zhang menciptakan suatu agama yang berpusat pada dirinya sendiri, ia memberikan gelar Lao Zi sebagai Taishang Laoqun (Penguasa Agung nan Tinggi). Zhang Daoling dan keturunannya kemudian menjadi pemimpin gerakan keagamaan itu. Gerakan keagamaan ini disebut dengan wudoumidao atau “Jalan Lima Gantang Beras,” karena orang yang ingin bergabung diharuskan membayar sumbangan sejumlah lima gantang beras. Pujaan utama aliran keagaman ini adalah Lao Zi yang dipandang sebagai pendiri Daoisme (kendati Zhang Daoling yang mentransformasikan Daoisme menjadi suatu agama). Zhang Daoling dan keturunannya menyebut diri mereka sebagai “Guru-guru Langit” (Tianshi) dan menjadi perantara antara para dewa dan umat awam. Namun, hal terpenting di atas semua itu adalah agama baru ini dapat memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat. Zhang Daoling dan pengikutnya menciptakan suatu sistim keagamaan lengkap dengan kaum pendeta, kitab suci, upacara ritual, dan ilmu gaibnya. Mereka memerintah bagaikan paus atas sistim keagamaan baru tersebut.
Karya Daois yang ditulis pada zaman ini adalah Taipingjing (Kitab Perdamaian dan Keseimbangan), yang membahas berbagai hal, seperti penciptaan dunia, pentingnya upacara ritual, aturan moralitas, pahala-pahala, hukuman, serta ilmu menambah kesehatan dan umur panjang. Kitab penting lainnya adalah Huainanzi yang ditulis pada pertengahan abad ke-2 SM oleh seorang pangeran wilayah Huainan (inilah yang menyebabkan mengapa ia juga disebut Huainanzi) yang bernama Liu An – cucu Liu Bang. Isinya mengisahkan legenda para dewa gunung yang memiliki kepala manusia dan tubuh naga. Selain itu disebutkan mengenai Gunung Kunlun tempat seseorang dapat mencapai keabadian. Para kaisar lalu berusaha menghubungkan dirinya dengan dewa-dewa melalui upacara rumit yang dipimpin oleh pendeta Daois. Pada zaman ini tidak hanya kaisar saja yang memiliki harapan untuk meminta bantuan kekuatan kosmis dan meramalkan masa depan, karena hal ini juga dipraktekkan oleh rakyat jelata. Timbul peningkatan minat terhadap hal-hal gaib keagamaan.
Pada zaman Dinasti Han ini pula timbul kultus pemujaan terhadap seorang dewi bernama Xiwang Mu atau Xiwang Shengmu (Hokkian: See Ong Bo atau See Ong Seng Bo) yang berarti Ibu Suci dari Barat. Ia dikabarkan memiliki surga yang diliputi keajaiban. Di sana tumbuh pohon dan sungai keabadian. Terdapat pula hewan-hewan ajaib seperti gagak dengan tiga kaki, kura-kura ajaib, serigala berekor sembilan, dan lain sebagainya yang menghasilkan obat-obatan panjang usia. Rakyat yang berasal dari berbagai kalangan memohon berkahnya dan kuil pemujaannya-pun didirikan di seantero negeri. Bersamaan dengan itu, muncul pula ramalan akan segera berakhirnya Dinasti Han yang benar-benar terjadi dengan perebutan kekuasaan oleh Wang Mang.
- Perkembangan semasa Zaman Tiga Negara
Pada bagian sebelumnya kita telah menyinggung mengenai Zhang Daoling beserta organisasi keagamaan yang didirikannya. Kita telah mengetahui pula bahwa Dinasti Han berakhir pada tahun 220 dan terpecah menjadi tiga negara, yakni: Wei, Wu, dan Shu. Organisasi keagamaan yang didirikan oleh Zhang Daoling itu, kini dipimpin oleh Zhang Lu, cucu Zhang Daoling dan diakui oleh Kerajaan Wei sebagai Zhengyi Mengwei (Aliran Ortodoks Utama) dari Taoisme. Belakangan, aliran tersebut juga disebut dengan Tianshi Dao (Aliran Para Guru Kedewaan).
Kitab Daois penting yang ditulis pada zaman ini adalah Taishang Lingbao Wufujing (Kitab Pewahyuan Tertinggi Lima Jimat dari Roh Suci). Ini merupakan kitab pertama dari kumpulan kitab-kitab Lingbao (Roh Suci). Di dalam kitab ini dapat dijumpai mengenai jimat untuk melindungi serta memanggil roh-roh suci, penggambaran kosmologi alam kedewaan, teknik meditasi, serta resep-resep untuk meramu obat hidup abadi.
Aliran filosofi Daois lainnya berkembang adalah apa yang dinamakan Aliran Misteri. Tokoh-tokohnya adalah He Yan (wafat tahun 249), yang mengarang sebuah karya berjudul Wuminglun (Risalah Mengenai yang Tak Bernama), Wang Bi (226 – 249), seorang ahli filsafat cendekia yang wafat pada usia 23 tahun dan telah menulis komentar terhadap kitab Laozi dan Yijing, Xiang Xiu (223? – 300), pengarang komentar terhadap kitab Zhuangzi, Guo Xiang (wafat 312) yang menambahkan komentarnya sendiri pada kitab karangan Xiang Xiu, dan Pei Wei (267 – 300) yang mengarang Chongyoulun (Risalah Mengenai Keberadaan). Aliran Misteri membahas masalah-masalah metafisika yang rumit, seperti masalah Keberadaan dan Ketidak-beradaan, yang dipandang bukan sebagai sesuatu yang berlawanan, melainkan sesuatu yang tak terpisahkan satu sama lain.bermanfaat.
Ivan Taniputera (6 Agustus 2006)
http://www.facebook.com/groups/budaya.tionghoa/10150593312552436/
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa