Budaya-Tionghoa.Net | Saya berniat meneruskan kembali diskusi mengenai filosofi legalisme. Beberapa ini akan saya uraikan beberapa aspek legalisme. Sebelumnya marilah kita kutipkan terlebih dahulu, apa yang disampaikan oleh Shang Yang:
|
“Apabila prinsip pengatur bagi masyarakat menjadi tidak sesuai lagi dengan kondisi, standar nilai harus diubah. Karena kondisi di muka bumi ini mengalami perubahan, diterapkanlah berbagai prinsip.”
Aliran legalisme ini disebut juga “aliran hukum” (fa jia), karena merupakan filosofi yang menekankan hukum. Secara umum terdapat tiga sumber bagi legalisme:
1.Kitab Shang Yang (wafat 338 SM).
2.Kitab Han Feizi, yang diyakini ditulis oleh Han Feizi (wafat 233 SM).
3.Guanzi, yang barangkali ditulis oleh beberapa orang.
Menurut kaum legalis, bangkitnya filosofi ini dilandasi oleh dua hal:
1.Kekurangan atau kelangkaan. Di zaman dahulu sumber daya melimpah, karena jumlah penduduk yang sedikit. Namun karena semakin banyak jumlah penduduk, akhirnya menjadi langka dan timbul persaingan dalam memperolehnya. Persaingan inilah yang mengakibatkan kekacauan.
2.Peran kaisar di zaman dahulu. Dahulu kedudukan kaisar tidaklah berbeda dengan rakyat jelata. Mereka juga bekerja seperti budak dan mengenakan pakaian kasar. Namun karena kedudukan kaisar semakin enak dan berkuasa, maka orang lalu memperebutkan kedudukan tersebut. Akibatnya terbitlah kekacauan.
Guna mengatasi kedua permasalahan ini, kaum legalis menyarankan adanya suatu pemerintahan pusat yang kuat. Dimana kekuasaan mereka semakin kuat baik terhadap rakyatnya sendiri, maupun negara tetangganya. Sebagai implementasinya, mereka menerapkan tiga hal; yakni:
1.fa (hukum)
2.shi (otorita atau kekuasaan)
3.shu (seni atau metoda pemerintahan).
Kaum legalis menekankan bahwa hukum lebih tinggi kedudukannya ketimbang kebajikan atau de, moralitas atau ritual pengendali rakyat. Menurut mereka “ren” tidaklah memadai dalam mengatur rakyat.
Masalahnya sistem demokrasinya mengambanglah tidak jelas apa yang dimaksud suara rakyat atau kekuasaan berasal dari rakyat atau rakyat sebagai dasar. Jadi selama ribuan tahun itu tidak pernah mengecap konsep demokrasi walau didalam legenda-legenda itu ada istilah shanrang atau memberikan kedudukan kepada yang layak, sehingga ada yang beranggapan shanrang itu adalah semacam pemilihan ketua berdasarkan kesepakatan dari para tetua suku dan ini sudah ada sebelon berdirinya dinasti Xia. Catatan Shan rang itulah yang sempet dikumandangkan oleh Kongzi dan beberapa filsuf tapi sistemnya tidak pernah dibakukan atau diuraikan secara terperinci. [1]
Sistem fajia yang diterapkan berbeda dengan “supremacy of law” ala abad modern dikarenakan fajia berbasis kekuasaan dari kaum aristokrat, sementara “supremacy of law” biasanya digandengkan dengan sistem legislatif (via pemisahan kekuasaan ala trias politica), jadi fajia memang sentralisasinya sangat kuat, dengan kemungkinan penafsiran super sepihak dan semaunya yang kuasa. Meski demikian, kelemahan “hukum sebagai panglima” adalah kecenderungan positivistik, yang sangat mengandalkan aturan, bukan rasa malu atau kesadaran. [2]
Ivan Taniputera
4 Februari 2012
CATATAN :
[1] Tambahan dari Ardian Changianto
[2] Tambahan dari Suma Mihardja
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa