Budaya-Tionghoa.Net | Dalam dunia seni Sunda , nama Tan Deseng begitu disegani dan dianggap maestro kesenian Sunda. Tan lahir di Bandung pada tanggal 22 Agusturs 1942. Tan anak kelima dari delapan bersaudara dari pasangan Tan Tjing Hong dan Yo Wan Kie. Keluarga ini tinggal di kawasan Tamim , Bandung.
|
Tan Tjing Hong berprofesi sebagai pengusaha , sekaligus sinshe dan seniman yang bisa melukis dan memainkan berbagai instrumen musik. Dari delapan anaknya , Tan De Tjeng mewarisi bakat seni dari ayahnya , Tan De Kong bisa memainkan alat musik yangqin dan erhu. Bakat seni dari Tan Tjing Hong mengalir pula pada Tan Deseng.
Ayahnya menghendakinya jadi pedagang tetapi Tan lebih cinta kepada seni. Sejak usia lima tahun , Tan sudah mahir memainkan alat musik seperti suling. Kakaknya , Tan De Tjeng mengajarkan notasi yang digunakan Tan untuk bermain musik. Keluarga Tan memang pencinta seni tapi ayahnya menghendaki Tan untuk menjadi pedagang. Tan kemudian merantau ke Palembang bersama teman-temannya untuk mencoba berdagang. Diperantauan in Tan sering mendengar lagu-lagu Sunda di RRI. Tan yang gagal dalam usaha di Palembang ,memutuskan kembali ke Bandung untuk menekuni dunia seni Sunda.
Tan Deseng mengembangkan budaya Sunda sebagai wujud kecintaannya terhadap Indonesia. Kalau sudah memainkan alat musik tradisional seperti degung , suling dan kecapi , Tan seperti melupakan segalanya dan memainkannya dengan penuh khidmat [Liputan 6, 2004]. Tan pernah memarahi seorang wartawan yang bertanya mengapa ia begitu menguasai kesenian Sunda. “Kalau saya yang makan butir padi dan minum tetes air dari negeri Indonesia lalu memahami dan menyukai musik Indonesia, khususnya Sunda, apa salahnya?” ujarnya.[Tempo , 2008]
Kemampuan Tan tidak terbatas pada alat musik tradisional. Dia juga piawai bermain gitar dalam berbagai aliran musik , sehingga beliau dijuluki “Setan Melodi. Dari tahun 1950an sampai 1960an , Tan sempat menjadi pemain gitar di berbagai band di Bandung.
Tan mendapat penghargaan Metronome di tahun 2007 atas pengabdian dan kontribusinya terhadap perkembangan musik Indonesia.Selain Tan Deseng , figur terkenal seperti Benyamin Sueb dan Idris Sardi juga meraih penghargaan ini.
Tan De Seng menikah di tahun 1964 dengan Tan Li Joe dengan seorang anak putera. Pernikahan pertamanya bubar di tahun 1976. Tan menikah lagi dengan Nia Kurniasih di tahun 1977 dan dikarunai dua putri . Dari anak perempuannya , Tan mempunyai tiga cucu. Di tahun 2008 , Tan menikah lagi dengan Wulan. Anak-anak Tan juga terjun ke dunia seni budaya. Fitri piawai bermain instrumen musik Sunda dan Tantri pelantun lagu-lagu Cianjuran.
Kontribusi Tan berbanding terbalik dengan resiko kekurangan materi yang tidak menentu. Karena pengabdiannya , Tan tidak terlampau mengkomersialkan karya-karyanya. Sampai diusia tuanya , Tan adalah seorang “kontraktor” sebagai candaan bahwa Tan hidup nomaden dan berpindah-pindah rumah kontrakan.
Disatu sisi kisah hidup Tan Deseng menunjukkan bahwa orang Tionghoa tidak melulu berdagang seperti yang menjadi bahan stereotipe. Orang Tionghoa seperti Tan bisa berkontribusi banyak hal termasuk dalam kebudayaan didaerahnya. Disisi lain , kehidupannya yang berpindah-pindah itu menunjukkan bahwa kebudayaan daerah perlu dukungan dari pemerintah daerah agar orang seperti Tan Deseng tidak melulu memikirkan masalah ekonomi. Termasuk juga untuk generasi berikutnya yang terjun ke dunia seni budaya.
Huang Zhiwang , Budaya Tionghoa
REFERENSI :
1. Tempo , “Seorang Cina Dengan Kecapi Sunda” , 26 Mei 2008
2. Kompas ,”Tan Deseng , Pewaris Mustika Sunda” , 27 Februari 2001
3. Liputan6.com , ” Tan Deseng , Setan Melodi Dari Bandung” , 25 Januari 2004
4. Tempo Interaktif , “Lebih Sunda Ketimbang Sunda” , 16 Agustus 2004
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua