Budaya-Tionghoa.Net | Tan Tjin Kie lahir pada tanggal 25 Januari 1853 di Cirebon dan meninggal pada tanggal 13 Februari 1919. Pada tahun 1884 Tan diangkat menjadi Luitenant Wess en Boedelkamer. Pada tahun 1888 , Tan menjadi Kapitein dan pada tanggal 1913 akhirnya menjadi Majoor. Pada tahun 1893 , pemerintahan Dinasti Qing memberikan gelar To-Han [Maharaja Kelas II] dan pada tahun 1908 , Tan mendapat promosi dari pemerintah Qing dengan pangkat To-Wan. Di tahun 1909 , Tan mendapat bintang Gouden Ster van Verdienste [Bintang Emas Untuk Jasa] . Tan juga menjadi ketua dari perkumpulan kematian Kong Djoe Koan ,perkumpulan THHK dan pelindung Hok Siu Hwee. Tan adalah pelindung utama kesenian jawa , “Een Grot Beschemer der Javaanse Kunst” [Dr Th Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen , p114] . Tan juga seorang dermawan yang sering membantu korban bencana alam dan kelaparan di Tiongkok. Tan menyumbang 10 ribu f untuk mendirikan rumah sakit di Cirebon dan 10 ribu f untuk gedung THHK . Tan juga menyumbang untuk masjid di Luwung Gajah dimana ia memiliki dua pabrik gula dan satu istana megah di Binarong.
|
Pada tahun 1917 , Tan sudah mulai sakit-sakitan. Di tahun berikutnya kaki beliau mulai bengkak. Menurut analisa dokter , Tan mendapat masalah jantung , dan memberinya nasehat agar tidak banyak kerja dan cukup tidur. Dibulan Juni 1918 , sakit yang dialami Tan mulai berat. Dokter E Gottlieb sempat memanggil Dokter C.D. Langen dari Jakarta. Di malam Imlek , 31 Januari 1919 , Tan tidak ikut makan bersama keluarganya karena badannya sudah berasa tidak enak. Tetapi keesokan paginya Tan sudah kembali bugar. Tanggal 12 Februari kondisi Tan kembali memburuk. Dokter yang datang kerumahnya menanyakan pada beliau dimana letak sakitnya. Tan menunjukkan sakitnya di ulu hati. Dokter kemudian menyarankan agar Tan di suntik. Kira-kira jam 8 malam dokter menyarankan agar Tan pindah ke tempat tidur. Menjelang wafatnya , Tan hanya bisa tidur sebentar-sebentar tapi anggota keluarganya masih melihat cara tidurnya masih normal. Esok paginya tanggal 13 Februari , Tan kembali sehat dan dokter pun pulang. Hari itu juga Tan meninggal dalam posisi duduk ditempat tidur dan kepala bersandar di istrinya.
Sejak 12 Februari , semua keluarga sudah berkumpul . Itu sebabnya saat Tan meninggal , semuanya ada ditempat. Selain keluarga , para sahabat juga datang berkunjung seperti keluarga The Wie Tjong , keluarga Tan Kong Boen , keluarga Oey Tek Liem , Asisten Residen , keluarga keraton Cirebon , Letnan Arab , Residen dstnya. Sesudah itu almarhum Tan masuk peti.
Pada tanggal 31 Maret sudah banyak orang yang berkunjung ke Cirebon. Terlebih lagi pada tanggal 1 dan 2 April kota Cirebon sudah penuh sesak. Harga sewa kendaraan dan penginapan menjadi berlipat ganda dari hari biasanya. Kapiten Liem Joe Tiang dari Magelang menginap di hotel Hollandia , tetapi teman-temannya tidak mendapat penginapan. Keng Liong Tjan menginap di Sangkanhoerip. C.Y. Ypma memperkirakan jumlah pengunjung ke kota Cirebon sekitar 200 ribu orang. Cinke Kwee Ping Wie menceritakan kesan bahwa kereta-api penuh sesak dengan penumpang sehingga kepala stasiun meminta dikirim 11 kereta lagi.
Letnan The Han Tong sendiri musti tidur bersama keluarga lain dan keluarganya dari Pekalongan . Lim Long Eng kedatangan tamu dari Surabaya . Nyonya Jap Tjhian di rumahnya menerima tamu dari berbagai kota dari Kedung Gede , Karawang , Jakarta dan Tegal. Begitu juga dengan Nyonya Gan Wie Djien yang rumahnya kedatangan tamu yang belum dia kenal. Rumah Perhimpunan Kian Gie Hwe Koan menerima sekitar 50 orang nyonya Tionghoa dari Tegal , Tanjung , Banjaran , Slawi , Kalierang , Bumiayu, Comal , Pekalongan , Magelang dan Jogja , sementara tamu lelaki ditolak di tempat perhimpunan itu.Rumah Bian Hap Hwee memberikan tempat pada sekitar 30 orang tamu baik pria maupun wanita dari Tegal, Comal , Pekalongan , Magelang dan Jogja. Orang-orang Belanda dan perwira militer dari Bandung dan Cimahi pun turut datang untuk menghadiri pemakaman Tan. Demikian tamu-tamu kesulitan mencari tempat tidur sehingga ada yang tidur di meja dan kursi.
Liem Kwat Tjiang berkisah bahwa pada tanggal 2 April pagi hari jam 6, dia berangkat dari Jamblang dan melihat sepanjang jalan penuh orang yang sedang berjalan menuju Cirebon, sampai kendaraan dia harus berjalan perlahan. Pasar-pasar dalam kota semua kosong dan tidak ada yang berjualan kecuali pasar Balong yang dilewati para pengunjung dimana makanan dijual mahal. Seisi penduduk Cirebon kaget dengan keramaian yang tidak pernah disangka sampai seramai itu dari segala bangsa dan latar belakang . Keramaian pemakaman Tan ini melampaui keramaian pesta Maulud , pesta Capgome dan juga pesta Raja.
Banyak juga yang sampai naik keatas pohon dipinggir jalan agar dapat melihat lebih leluasa. Bukan saja tamu-tamu orang Belanda tapi juga nyonya-nyonya Belanda pun ada yang turut naik keatas pohon. Begitu juga bagian loteng dari tiap rumah penuh dengan penonton. Orang-orang Belanda memegang kamera untuk mendokumentasikan acara termasuk Pijttersen dari Tegal. Ada beberapa penonton yang tercebur ke kali walau tidak begitu dalam. Kapiten Khouw Oen Hoeij dari Jakarta , Tan Taij Hok dari Cirebon dan Letnan Thung Tjoen Ho dari Bogor , Tan Tek Haij dari Lampegan , sampai terkejut ketika ada orang mengamuk . Kapiten Khouw Oen Hoeij bercerita ketika ayahnya , Letnan Khouw Tjeng Ke dimakamkan ada orang mengamuk sampai tujuh orang tewas.
Pada tanggal 1 April malam hari , sejak jam 7 sore , tamu-tamu perempuan dari segala bangsa masuk ke rumah duka. Sementara tamu-tamu lelaki tertahan oleh penjagaan polisi. Pihak keluarga Tan sendiri tidak ada yang tidur . Pangeran Raja dari keraton berserta mertuanya , Regent Cirebon , Raden Adipati Aria Salmon Salam Soerja Di Ningrat , bercerita bahwa pada malam itu jalan-jalan banyak suara kendaraan sampai pagi. Beliau sendiri sampai kedatangan tamu dari jauh.
Kira-kira jam 1 malam , peti mati diangkat oleh 40 orang Tionghoa dan dipindah ketengah , meja2 sembahyang dipasang didepannya. Jam enam pagi proses sembahyang dimulai. Orang banyak turut sembahyang termasuk murid2 sekolah THHK Cirebon , THHK Waled dan THHK Jamblang turut menyanyikan lagu-lagu sedih . Proses ini baru selesai sampai sekitar jam 9 pagi. Peti mati tertunda sejam sebelum bisa diberangkatkan. Tamu-tamu khusus sudah datang sejak jam 8.30 pagi , termasuk diantaranya Sri Paduka Tuan Susuhunan , Pangeran Ario Mangkudiningrat , Auwyang Kee Konsulat Jendral dari Tiongkok, utusan dari Keraton Solo , Lie Tjian Tjoen – Kapiten Batavia. CJ Feith dan AJH Eijken sebagai residen dan asisten residen turut hadir.
Peti mati akhirnya diberangkatkan jam 10 pagi. Kereta Foto ditarik oleh empat kuda, kereta jenazah ditarik oleh 240 orang Tionghoa yang berpakain serba putih. Di sepanjang jalan , gapura-gapura bertulisan Tionghoa berdiri , polisi berjaga setiap 20 meter. Polisi lain ikut mengiringi rombongan disetiap 10 meter. Jumlah polisi yang dikerahkan sekitar 600 personil . Pemerintah kolonial Belanda mengirimkan dua peleton militer untuk memberikan penghormatan. Pemakaman diiringi musik dan tiga korps musik militer. Kota Cirebon juga praktis tidak ada aktivitas. Bank dan toko di Cirebon tutup pada saat itu.
Pemakaman Majoor Tan Tjin Kie menjadi pemakaman yang terbesar dan berbiaya paling mahal pada saat itu. Menghabiskan dana sekitar 70 ribu gulden dan perencanaannya memakan waktu dua setengah bulan. Media “Bataviaasche Nieuwsblaat” menerbitkan buku lampiran seputar dokumen foto jalannya acara pemakaman itu. Untuk perlengkapan pemakaman didatangkan juga ahli-ahli dari Tiongkok.
Di bulan Agustus 1919 , rombongan musik dari San Fransisco dibawah pimpinan majoor Sydney Peixsotto mampir ke Cirebon dalam perjalanannya ke Australia. Rombongan ini memberikan penghormatan dengan pawai obor dan musik serenada menuju rumah almarhum. Di depan meja abu rombongan ini juga memberikan penghormatan dengan musik didepan meja abu.
REFERENSI :
1. Tan Gin Ho , “Peringetan Dari Wafatnya Majoor Tan Tjin Kie Dan Kwee Hin Houw Dalam Majalah Tjhoen Tjioe”
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua