Budaya-Tionghoa.Net | Preferensi-preferensi atau prioritas yang diberikan kepada penduduk Bumiputra Malaysia merupakan realisasi atau perwujudan daripada politik “affirmative action” yang dijalankan oleh pemerintah Malaysia yang didominasi oleh etnis Melayu sebagai buntut daripada kerusuhan komunal (istilah di Malaysia) antara etnis Melayu dengan etnis Tionghoa pada tahun 1969.
|
Program affirmative action ini dituangkan ke dalam program New Economic Action (NEP) atau DEB (Dasar Ekonomi Baru ) pada tahun 1971 oleh Tun Abdul Razak ketika ia menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia pada waktu itu.
Program NEP yang bersifat “diskriminati positif” (racial preferences) ini bertujuan untuk mengangkat status sosial dan ekonomi penduduk Bumiputera yang merasa tertinggal dalam pembangunan ekonomi di Malaysia serta untuk menghindari terjadinya konflik antar komunal dengan mempromosikan penduduk Bumiputera disektor ekonomi , pendidikan , akses untuk mendapatkan pinjaman bank , rumah murah , lapangan kerja di pemerintahan dan 30% dari saham perusahan swasta harus diberikan ke Bumiputera dll.
Pemerintah Malaysia mengharapkan dengan dipersempitnya jurang sosial dan ekonomi (kecemburuan sosial) antara penduduk Bumiputera dengan Tionghoa diharapkan akan tercipta suatu kestabilitasan sosial dan politik di Malaysia .
Dalam program NEP ditargetkan pada tahun 1990 penduduk Bumiputera akan menguasai sekitar 30 % daripada kue perekonomian nasional yang berarti 10 kali lipat lebih dibandingkan ketika pada waktu NEP ini dimulai, yaitu 2,4% saja pada tahun1970.
Tetapi target yang ambisius ini itu tidak seluruhnya mencapai sasaran seperti yang diharapkan sebelumnya karena pada tahun 2004 kue ekonomi yang dikuasai oleh Bumiputera masih sekitar 19% dan pada waktu yang bersamaan penduduk etnis Tionghoa yang berjumlah sekitar 26% dari jumlah penduduk Malaysia (25 juta) malahan dapat meningkatkan porsi ekonominya yaitu dari 27% pada tahun 1970 menjadi 40% pada tahun 2004.
Program NEP ini juga mengundang banyak kritikan-kritikan termasuk dikalangan Bumiputera sendiri seperti mantan wakil perdana menteri Malaysia Anwar Ibrahim yang menuntut untuk penghapusan program affirmative action ini , karena NEP ini menciptakan peluang-peluang
korupsi, rent-seekers, kapitalis kroni , pemborosan.
Fasilitas atau konsesi yang diberikan kepada seseorang bukan berdasarkan kemampuan seseorang melainkan atas dasar kriteria etnis (Malay preference) sehingga Malaysia kehilangan orang-orang yang berbakat yang seharusnya menduduki posisi tersebut sehingga pada akhirnya Malaysia sendiri yang dirugikan .
Mahatir sendiri pernah mengatakan bahwa kegagalannya yang terbesar selama 20 tahun pemerintahannya adalah membangun etos kerja yang baik diantara etnis muslim Melayu walaupun sudah dibantu dengan program affirmative action. (Dr. Mahathir said that his inability to create a better work ethic among fellow ethnic Malay muslims despite affirmative action policies in their favour has been the biggest failure of his 20 year rule)
Akibat kebijaksanaan ini beberapa perusahan yang pernah dikelola oleh pengusaha atau profesional Bumiputera seperti dalam perdagangan Valas, Bank Bumiputera, Perwaja Steel, dan MalaysianAirlines dll.telah mengalami kerugian yang besar.
Pengusaha Bumiputera ini sering melihat keuntungan dalam jangka pendek saja, fasilitas-fasilitas yang diberikan kepadanya dijual kembali dengan keuntungan kepada pihak lain seperti dalam program “Benteng” tahun 50-an dahulu di Indonesia yang pernah dijalankan serta menjadikan mereka manja yang akhirnya melemahkan spirit untuk berkompetisi di jaman Globalisasi ini.
Program NEP ini juga membuat masyarakatnya terpolarisasi karena warga non- Bumiputera seperti dari etnis India dan Tionghoa merasa diperlakukan sebagai warganegara kelas dua dan tidak adil (yourlose is my gain) seperti pada sektor ekonomi, pendidikan dan lapangan pekerjaan, mereka hidup berdampingan satu dengan lainnya secara damai tetapi tidak terintegrasi secara sosial ( live peacefully but separately) yang akhirnya secara tidak langsung tercipta segregasi rasial.
Dalam masyarakat Bumiputera sendiri terjadi jurang sosial antara mereka yang tidak mampu atau tidak memiliki akses kekuasaan dengan yang mampu dan kaya karena mempunyai dukungan politik dan mereka yang dekat dengan kekuasaan seperti dari partai UMNO memperoleh kemudahan-kemudahan dan fasilitas serta konsesi. Program NEP ini berhasil melahirkan dan meningkatkan sejumlah tenaga profesional Bumiputera seperti Dokter, Pengacara, Insinyur dan tenaga terdidik lainnya sebagai salah satu segi positifnya bagi Bumiputera.
Karena keberhasilan ekonominya Malaysia juga sering disebut sebagai salah satu “Asian Miracle”, dan keberhasilan ekonomi Malaysia ini tidak terlepas dari peran dan kontribusi warga Tionghoa Malaysia seperti yang Mahatir pernah mengatakan “Malaysia would not enjoy the prosperity it achieved now were it not for the contributions of the Chinese community”.
Secara resmi program NEP berakhir pada tahun 1990, tetapi pada pelaksanaanya masih tetap berlanjut secara implisit dengan nama lain dan terjadi beberapa perubahan seperti di sektor pendidikan yang sudah dibebaskan dari kuota etnis pada waktu akhir periode pemerintahan Mahatir.
Etnis Tionghoa sudah berada di Malaka (cikal bakal Malaysia) sejak awal abad ke 15 yaitu 600 tahun yang lalu dan berperan dalam sejarah pembentukan nasion Malaysia.
Kaisar Yunglo dari dinasti Ming telah mengadakan kegiatan perdagangan dengan Malaka sejak abad ke 15, ketika itu Malaka mendapat ancaman dan dominasi dari kerajaan Thailand (beberapa negara bagian Malaysia yang sekarang pernah dibawah kekuasaan Thailand) serta harus membayar upeti setiap tahunnya dalam bentuk “bunga emas” ke Raja Thailand yang menganggap Malaka sebagai negara bawahannya.
Pada awal abad ke 15, Sultan pertama dan pendiri dari Malaka” Parameswara” minta bantuan ke kaisar Tiongkok (Kaisar Yunglo dari Dinasti Ming) dan melalui Laksamana Cheng Ho pemerintah Ming telah memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada Kesultanan Malaka terhadap ancaman dari Thailand hubungan Tiongkok dengan Malaka baru terputus ketika Portugis berhasil merebut Malaka pada tahun 1511. (Barbara Watson Andaya and Leonard Andaya :A History of Malaysia)
Secara umum program NEP ini telah berhasil mengangkat status ekonomi Bumiputera ke tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya, etnis Tionghoa pun walaupun mengalami diskriminasi ekonomi (diskriminasi positif) masih dapat meningkatkan kemakmuran ekonominya dan yang paling merasa dirugikan adalah warga dari etnis India (Tamil), sekarang mereka menduduki strata ekonomi yang terendah menggantikan
posisi Bumiputera sebelumnya.
Dari segi sosial-politik NEP ini dianggap berhasil menciptakan stabilitas politik dan keseimbangan hubungan rasial (balance racial relationship) dan sejak tahun 1969 tidak pernah terjadi lagi kerusuhan-kerusuhan anti Tionghoa (communal riots) di Malaysia seperti halnya di Indonesia .
Walaupun etnis Tionghoa pengaruh politiknya berkurang mereka masih dapat bebas mengekspresikan kebudayaan dan kepercayaannya sendiri seperti memilik sekolah berbahasa Tionghoa serta mempertahankan dan memelihara identitasnya .
Penduduk Tionghoa Malaysia menuntut penghapusan NEP ini yang diskriminatif tetapi mau tidak mau dan dengan segala kekurangannya serta dituntut oleh kondisi politik yang ada maka mereka menerima NEP karena sadar bahwa ini adalah harga yang harus dibayar untuk membeli keamanannya, apalagi setelah melihat kerusuhan anti Tionghoa pada tanggal 13 Mei 1998 (tanggal yang sama juga ketika terjadi kerusuhan di Kuala Lumpur pada tahun 1969, kebetulan?) di Indonesia yang mematikan
Golden Horde , 19261
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa