Untuk mengenang jasa-jasa warga Tionghoa yang ikut berjuang dan mengorbankan jiwanya dalam revolusi di tahun 1956-1959 maka pemerintah Kuba telah mendirikan sebuah monumen di ibukota Kuba, Havana yang dibawahya tertulis “There was never a Cuban Chinese deserter, There was never a Cuban Chinese traitor.” (Tidak pernah ada Tionghoa-Cuba yang desersi dan Tidak pernah ada Tionghopa-Kuba yang menjadi penghianat).
Dalam perang nasional kemerdekaan Kuba melawan kolonial Spanyol di tahun 1868-1898 yang disebut juga sebagai perang kemerdekaan pertama banyak warga Tionghoa Kuba aktif berperan dan berjuang di pihak Nasionalis melawan Spanyol, mereka ikut berperang karena juga ingin memperbaki nasib dan statusnya sebagai kuli yang diperlakukan tidak adil oleh para kolonial Spanyol.
Orang Tionghoa datang ke Kuba dalam berbagai gelombang yang diawali pada tahun 1847 oleh kolonial Spanyol untuk diperkerjakan pada perkebunan Tebu sebagai kuli , karena pada waktu itu Spanyol kekurangan tenaga pekerja dengan status budak yang berasal dari Afrika (karena sudah sulit memaksa dan menculik budak dari Afrika) untuk dipekerjakan di perkebunan tebu serta permintaan produk gula didunia yang cepat meningkat, orang-orang Tionghoa ini berasal dari propinsi Guangdong (Kwantung) dan ketika tiba di Kuba hanya tinggal dua pertiga yang selamat selama perjalanan untuk berkerja disana , mereka datang ke Kuba karena kemiskinan di Tiongkok tetapi di Kuba ternyata kondisi kerja mereka sangat buruk dan jauh dari yang dibayangkan serta kerap kali diperlakukan lebih buruk oleh majikannya daripada pekerja budak asal Afrika, pekerja kuli Tionghoa ini berkerja bersama dengan budak-budak Afrika lainnya diperkebunan tebu , karena sebagian besar dari mereka ini adalah laki-laki semua dan hampir tidak ada sama sekali wanita Tionghoa maka kebanyakan dari mereka menikah dengan budak wanita asal Afrika yang telah dibebaskan,
Antara tahun 1860-1875 datang lagi para imigran Tionghoa yang berasal dari California, Amerika, kali ini mereka datang ke Kuba untuk menghindari peraturan yang diskriminatif dari pemerintah Amerika yaitu “Chinese Exclusion Act”dan karena penduduk Tionghoa bertambah banyak jumlahnya maka pada akhir abad 19 itu telah diterbitkan sebuah suratkabar berbahasa mandarin yang pertama.
Pada ketika kontrak kerja mereka berakhir banyak diantaranya menetap terus tinggal di Kuba terutama di daerah pecinan (China Town), karena kalau kembali ke Tiongkok biayanya tinggi dan kondisi di Tiongkok sendiri masih kacau dan miskin, kompleks China Town di Havana adalah salah satu dari dua China Town yang terbesar di benua Amerika dan pada tahun 1860 tercatat bahwa jumlah penduduk Tionghoa di Kuba hampir sama dengan penduduk Tionghoa di Amerika yaitu sekitar 35.000 orang dan pada tahun 1920-1930 datang lagi imigran dari Tiongkok dalam jumlah yang kecil ke Kuba dan berbeda dengan para imigran sebelumnya ini kali banyak diantaranya wanita Tionghoa., tetapi secara total jumlah penduduk Tionghoa menurun menjadi sekitar 18.500 pada tahun 1944, karena banyak diantaranya sudah tidak dapat didentifikasi lagi karena perkawinan campur atau asimilasi yang tinggi dengan wanita-wanita Afrika Kuba dan sebagian lagi berpindah ke negara lain seperti Amerika dan Kanada seperti halnya dengan Jenderal Armando Choy adalah seorang Tionghoa – Mestizo¡ yang beribukan wanita Afrika Kuba dan pelukis terkenal dari Kuba , Wilfredo Lam yang lukisannya menghiasi galeri musium Guggenheim di New York juga seorang Mesztizo yang beribukan seorang wanita Afrika Kuba.
[Foto Ilustrasi (added by admin) : Manuel Carbonell , ” Seniman Wilfredo Lam sedang diwawancarai di stasiun televisi di Havana , Kuba, di tahun 1952 ” , Beaux Arts Gallery , 7 Juni 2011 ]
Setelah kejatuhan rejim Batista pada tahun 1959, Fidel Castro diangkat menjadi Kepala Pemerintahan Kuba, tetapi kebijaksanaan politik beliau sangat kaku dalam menjalankan program perekonomian Sosialismenya yaitu dengan mengambil langkah drastis menutup dan mengambil alih semua aset perusahan atau toko yang dimilik pihak swasta termasuk milik warga Tionghoa sendiri sehingga sebagian warga Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang atau wiraswasta pergi keluar meninggalkan Kuba dan berimigrasi ke Amerika terutama ke Florida atau Kanada. Saat kini warga Tionghoa yang tinggal di Kuba tinggal beberapa ratus
orang saja dan hampir separuhnya tinggal di Havana.
Masyarakat Kuba seperti juga masyarakat di Brasilia adalah masyarakat multirasial karena proses asimilasi (perkawinan campur) dan pembauran antara etnis relatif sangat tinggi, seperti seorang sastrawan Kuba bernama Nicolas Guillen pernah berkata bahwa bangsa Kuba adalah bangsa todos mezclados (gado-gado).
Pada jaman dahulu atau jaman kolonial Spanyol warga Tionghoa di Kuba diperlakukan diskriminatif oleh para penguasa , tetapi sesudah kemerdekaan pertama terjadi perubahan status sosial dan nasib kearah yang lebih baik.
Karena derajad asimilasi dan integrasi yang tinggi antara etnis di masyarakat Kuba pada saat sekarang maka hampir relatif tidak ada permasalahan diskriminasi atau konflik lagi antar etnis di negara tersebut seperti yang kerap terjadi di negara-negara lainnya.
Kondisi politik yang toleran ini memungkinkan seorang keturunan Jepang Alberto Fujimori menjadi Presiden Peru (1990-2000) dan Arthur Raymond Chung menjadi presiden pertama dari Republik Guyana periode tahun 1970-80 dan mungkin salah satu warga etnis Tionghoa yang pernah menduduki jabatan tertinggi dan bergengsi di benua Amerika adalah seorang wanita bernama Adrienne Louise Clarkson yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Canada ke-26 dan orang pertama yang berasal dari non- kulit putih (non-white) pada tahun 1999-2005.
Etnis Tionghoa yang berasal dari kawasan kepulauan Karibia lainnya juga telah ikut berpartisipasi dalam revolusi di Tiongkok seperti Eugene Chen (1878-1944) kelahiran Trinidad-Tobago (yang beristrikan juga Afrika Trinidad) bergabung dengan Dr. Sun Yat Sen dan menjadi sekretaris pribadinya serta pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pertama Tiongkok (Kuomintang) yang berkedudukan di Canton (1927) dan kemudian bertentangan dengan Chiang Kai Shek lalu dikeluarkan dari Kuomintang dan akhirnya meninggal dalam tahanan rumah selama pendudukan Jepang di Shanghai pada tahun 1944.
Partai Komunis Tiongkok telah memberikan penghormatan yang tinggi terhadapnya dengan meletakkan abunya di makam pahlawan revolusi di Beijing serta mendirikan sebuah monumen untuk mengenangnya.
Golden Horde , 19524
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua