Budaya-Tionghoa.Net | Kartini , nama yang sering kita dengar sedari duduk di bangku sekolah. Hari kelahirannya pada tanggal 21 April di tahun 1879 diperingati sebagai Hari Kartini. Kartini menulis surat-surat dalam lima tahun terakhir kehidupannya. Surat-suratnya itu dikumpulkan oleh Abendanon menjadi “Door Duisternis To Licht” atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
|
KARTINI DAN TIONGHOA
Seperti mungkin yang kita sering baca di beberapa jurnal vegetarian bahwa salah satu pahlawan nasional kita, R.A.Kartini adalah seorang vegetarian. Namun tidak banyak dari kita yang mengetahui latar belakang beliau bervegetarian.[1]
Dalam buku “Tionghoa dalam Pusaran Politik” , yang ditulis oleh Benny G.Setiono , disebutkan : Mengenai Kartini ada satu hal menarik yang jarang dikemukakan pada publik. Dalam surat yang dikirim oleh R.A.Kartini pada 27 Oktober 1902 kepada nyonya R.M.Abendanon-Mandri seperti yang dimuat dalam buku Door Duisternis to Licht, Kartini mengaku bahwa dirinya adalah “anak Buddha” karena kepercayaannya kepada Kongco Welahan (dekat Kudus), tempat berziarah berbagai macam bangsa seperti gunung Kawi di dekat Malang.
Terjemahan surat itu sebagai berikut :
¡§Saja ada satoe Botjah-Boedha, maka itoe ada mendjadi satoe alesan mengapa saja kini tiada memakan barang berdjiwa. Ketika saja masih anak-anak, saja telah dapat sakit keras, dokter-dokter tidak bisa menolong, mereka poetoes asah. Waktoe itoe, seorang Tionghoa (seorang hoekoeman dengan siapa kita masih anak-anak soeka bersahabatan) tawarkan dirinja boeat menolong saja. Saja poenja orang toea menoeroet dan saja betoel-betoel djadi semboeh. Apa jang obat-obatan dari orang-orang terpeladjar tidak mampoe, djoestroe obat-tachajoel jang menolongnja. Ia menolong saja dengan tjoema- tjoema, saja disoeroe minoem aboe dari hioswa jang dibakar sebagi sembah-bakti pada satoe Tepekong Tionghoa. Lantaran minoem obat itoe saja djadi anaknja Orang Soetji itoe, Santikkong Welahan. Pada kira- kira satoe tahoen jang laloe saja mengoenjoengi Orang Soetji itoe…………[]………….Ia ada hanja satoe Patoeng Emas jang ketjil dan siang malam dilipoeti asep hio. Bilamana ada berdjangkit wabah penjakit heibat, patoeng ketjil ini digotong-gotong kesana-sini dengan pake oepatjara boeat oesir pengaroeh djahat dari iblis-iblis.¡¨ Yang dimaksud dengan Santikkong sebenarnya Hian Thian Siang Tee atau Siang Tee Kong yang kerap disebut kongco Welahan saja. Kongco Welahan disebut Buddha sudah tentu bukan dimaksudkan dengan Buddha Gautama, tetapi pada umumnya segala toapekong itu berasal dari orang-orang Tionghoa yang pada masa hidupnya menganut agama Buddha atau juga agama Tao. [2]
Jika disesuaikan dengan bahasa sekarang adalah : “Saya adalah satu anak Buddha , maka dari itu menjadi satu alasan mengapa saya kini tidak memakan barang berjiwa. Ketika saya masih anak-anak , saya mendapat penyakit berat , dokter-dokter tidak bisa menolong , mereka putus asa. Waktu itu , seorang Tionghoa menawarkan dirinya untuk menolong saya. Orang tua saya menurut dan betul-betul sembuh. Apa yang pengobatan dari orang berpendidikan tidak sanggup justru obat “tahayul” yang sanggup menolong.Ia menolong saya dengan cuma-cuma , saya disuruh minum abu dari hioswa yang dibakar sebagai sembah-bakti kepada satu Tepekong Tionghoa. Lantara minum obat itu saya menjadi anaknya orang suci itu , Santikkong Welahan. Kira-kira satu tahun lalu saya mengunjungi orang suci itu. Ia hanya ada satu Patung Emas yang kecil dan siang malam diliputi asap hio. Bilamana ada berjangkit wabah penyakit hebat , patung kecil ini digotong kesana kemari dengan memakai upacara buat mengusir pengaruh jahat. Yang dimaksud dengan Santikkong sebenarnya Hian Thian Siang Tee atau Siang Tee Kong yang kerap disebut kongco Welahan . Kongco Welahan disebut Buddha sudah tentu bukan dimaksudkan dengan Buddha Gautama , tetapi pada umumnya segala toapekong itu berasal dari orang-orang Tionghoa yang pada masa hidupnya menganut agama Buddha atau juga agama Tao.
RA Kartini menulis kepada temannya di Belanda nyonya R.M.Abendanon-Mandri dalam bahasa Belanda, ia menggunakan istilah “Boeddha-kind”, yang terjemahan dalam bahasa Melayunya tentu saja “anak Boeddha”. [3] Yang dimaksud vihara Welahan itu adalah sebuah kelenteng dengan arca utama Koan Kong. Latar belakang R.A Kartini menjadi vegetarian dapat ditarik ketika ia menderita penyakit yang tak kunjung sembuh-sembuh, dan kemudian dianjurkan oleh seorang Tionghoa untuk diberi minum air abu (air dicampur abu hio) dari kelenteng Koan Kong di Welahan . Lalu secara ajaib dan mukjijat ia pun sembuh dari sakitnya itu. Rumah ibadah yang dimaksud di Welahan itu sebenarnya bukan Vihara tetapi Kelenteng. [4]
Dewata utama di Kelenteng Welahan adalah Kongtjouw Hian Thian Siang Tee (Xuantian Shangdi), atau lebih dikenal sebagai Siang Tee Kong (Shangdi Gong), Dewa Kutub Utara dari Aliran Too/Dao, bukan Koan Kong (Guan Gong). Siauwtee dengar, Kongtjouw ini terkenal dengan pengobatannya. Setiap tahun hari ulang tahun (shedjit) beliau pada tanggal 3 bulan 3 imlek dirayakan sangat meriah dengan upacara kirab keliling (sun keng) kota Welahan pada tanggal 1 bulan 3 imlek, yang diiringi para tamu dari berbagai kelenteng di Jawa, dengan masing-masing membawa kio (jiao), atau joli atau tandu, berukir indah yang terhias bendera lima penjuru angin (ngo hong ki/wu fang qi). Pada hari itu Kimsin/jinshen (image) dari Kongtjouw Siang Tee Kong digotong untuk berkunjung ke Kelenteng Hok Tek Bio di kota yang sama dan berdiam di sana selama dua hari, hingga diantar kembali ke Kelenteng pada tanggal 3 bulan 3 imlek.[5]
Wanita Dan Tulisan
Kisah Kartini memperlihatkan kembali pentingnya peranan tulisan dan ide . Tulisan-tulisan dan ide-ide dalam bentuk korespodensi , dan tulisan lain dalam bentuk puisi , catatan harian dan karya-karya lain dibidang seni. Kartini tidak pernah mengangkat senjata sebagaimana pejuang wanita lainnya tapi terobosannya dalam bentuk tulisan dan ide menempatkan dirinya dalam sejarah sedemikian khusus , dalam hari khusus Hari Kartini , dan lagu khusus “Ibu Kita Kartini”. Nurhadi (2009) dalam “Dari Kartini Hingga Ayu Utami : Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia” berpendapat bahwa peran Kartini dalam sejarah sastra Indonesia telah terlupakan oleh para kritikus dan sejarahwan sastra Indonesia , padahal Kartini seorang penulis handal tulisan-tulisan Kartini tertata rapih dalam bahasa Belanda yang fasih. [6] Kemampuan berbahasa ini bukan kemampuan sembarangan , mengingat Pram sendiri melakukan riset bahwa pengetahuan berbahasa di masa Kartini di kalangan elite adalah nihil , apalagi seorang wanita yang terhadang oleh berbagai batasan pada masa itu. Hanya ada empat bupati yang pandai menulis dan berbicara dalam bahasa Belanda. [7]
Dimasa sekarang bertaburan penulis wanita Indonesia dengan gaya tulisan yang luar biasa seperti Ayu Utami. Sehingga Ignas Kleden menyebut karya Ayu sebagai : “pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaiannya , kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal. “Umar Kayam memuji pengarangnya sebagai penulis yang susah ditandingi penulis-penulis muda , bahkan penulis tua sekalipun belum tentu bisa menandinginya. [8] Sehingga Ayu Utami didaulat sebagai satu representasi penulis (wanita) generasi baru . Tetapi di masa Kartini , jelas wanita dihadang oleh berbagai kesukaran . Beliau hidup dalam dunia penuh batasan ruang dan waktu dalam pingitan. Tidak ada laptop , software , internet dan mesin pencari google. Berbagai kesukaran dan batasan itu membuat aktivitas menulis Kartini patut diacungi jempol dan melampaui jaman jika melihat konteks sosial-masyarakat pada masa . Penulis besar Indonesia , Pramoedya dalam “Panggil Aku Kartini” menyebutkan bahwa di tahun 1902 — hanya segelintir dan bisa dihitung dengan jari kaum elite Jawa yang sanggup menulis dan membaca dalam bahasa Belanda dengan baik, seperti Kartini.
Diantara Kartini dan Ayu Utami terbentang waktu hampir satu abad lamanya . Diantara sekian banyak permasalahan wanita , Tragedi Mei adalah salah satunya. Jika reformasi melahirkan pahlawan reformasi , kerusuhan membutuhkan tumbal . Didi Kwartanada [2009] dalam “ Dari Clara Hingga “Yin Galema” menyebutkan latar belakang ini dalam mengilhami penulis wanita Tionghoa dalam karya-karya mereka . V. Lestari dalam “Ketika Barongsai Menari” (2000) mengisahkan pembunuhan yang yang berlatar belakang Tragedi Mei 1998. Walaupun novel ini semacam cerita detektif, namun pada saat yang sama Lestari, sebagai seorang Tionghoa menunjukkan sikap politiknya. Karya yang lebih kuat ditulis oleh S.Mara Gd, dalam Air Mata Saudaraku (2004). Marga T (Tjoa) juga tidak ketinggalan dengan Sekuntum Nozomi Jilid 3 (2006) Novel ini sangat panjang, terbit dalam lima jilid dan jilid ke-3 difokuskan pada Tragedi Mei. Sebagai ungkapan keprihatinan Marga, maka seluruh royalti buku ini akan disumbangkan bagi para korban yang cacat akibat tragedi Mei . [Didi Kwartanada , 2009] [9][10]
Nun jauh disana , Hannah Arendt dan Nadine Gordimer adalah contoh penulis dan pemikir wanita yang kuat . Seperti Kartini dan penulis-penulis wanita yang telah disebut sebelumnya , Arrendt berkutat kepada sejarah kelam yang menimpa bangsa Yahudi. Nadine Gordimer [1991] dalam pidatonya sebagai pemenang hadiah Nobel mengatakan bahwa kata memiliki kekuasaan , jam tayang tinggi , prime time . Kartini dengan kekuatan tulisannya , tanpa perlu mengangkat senjata turut membawa bangsa ini “dari habis gelap terbitlah terang” , dimana wanita sebagai satu bagian penting dari masyarakat bisa mendorong kemampuannya sampai ke batas maksimal yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi negara , bukan seperti “tapol” yang harus masuk rumah dalam pingitan yang menghimpit bukan saja tubuh tetapi juga pikiran.
Tapi terlalu jauh bagi kita untuk meneruskan sampai ke Nadine Gordimer dan Hannah Arrendt . Maka dari itu kita sudahi saja sampai disini dulu atau dilanjutkan dalam kesempatan lain.Tulisan ini bukan bertujuan mengupas keseluruhan kehidupan Kartini , akan ada tulisan lain yang memang dikhususkan untuk itu dari hasil karya Abendanon , Armijn Pane , Sulastin Sutrisno , Joost Cote sampai penulis besar Indonesia , Pramoedya Ananta Toer . Dan tulisan yang singkat ini memang menjadi dua bagian . Bagian pertama diatas menyinggung persentuhan Kartini dengan Budaya Tionghoa. Bagian kedua berusaha mengkaji secara singkat antara Kartini , tulisan dan wanita.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
CATATAN ADMIN : Sebagian tulisan ini dari diskusi member dengan partisipan Diskusi : Xialongni , Erik Eresen , David Kwa [disertakan seperlunya dalam tulisan ini , diskusinya bisa dilihat dalam link yang tersedia di catatan kaki ] . Sebagian lain adalah tulisan baru dari moderator dan admin
REFERENSI :
- Benny Setiono , “Tionghoa Dalam Pusaran Politik ” , Penerbit ELKASA
- Mailing-List Budaya Tionghua
- Nurhadi , “ Dari Kartini Hingga Ayu Utami : Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia” , Artikel no 45 , Jurnal Diksi FBS UNY , Juli 2007
- Didi Kwartanada , “ Dari Clara Hingga “Yin Galema” : Tionghoa Dalam Karya Fiksi Di Masa Reformasi” , 2009
[1] Xialongni , http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/18981
[2] http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/18981 || Dikutip dari : Tionghoa dalam Pusaran Politik, hal 326-327 , Pengarang : Benny G.Setiono, Kata Pengantar : Prof.Dr.Daniel S.Lev , Penerbit : ELKASA
[3] David Kwa , http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/19269
[4] Erik Eresen , http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/19250
[5] David Kwa , http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/19269
[6] Nurhadi , 2007
[7] ibid
[8] Dalam sampul halaman belakang Novel Saman [1998].
[9] http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/45887
[10] http://web.budaya-tionghoa.net/home/236-dari-clara-hingga-yin-galema-tionghoa-dalam-karya-fiksi-di-masa-reformasi