Budaya-Tionghoa.Net | Kesedihan dan penderitaan bagai tak terlihat dalam diri Bung Karno di akhir kekuasaannya. Tetap ramah dan sederhana, tanpa pernah marah. Catatan selama beberapa bulan merawat gigi Bung Karno sejak awal 1967 ini memang pernah ditulis drg. Oei Hong Kian dalam majalah Intisari edisi bulan Oktober 1988. Inilah terjemahan yang dikutip dari memoarnya yang diterbitkan dalam bahasa Belanda, Kind van het Land: Peranakan-Chinezen in Drie Bulturen (Indonet, 1998). Sebuah cermin kecil yang menampilkan sekelumit kehidupan seorang pemimpin besar bangsa Indonesia setelah masa jayanya berlalu …
|
Sebagai dokter gigi yang bertugas di Departemen Kesehatan RI, saya beberapa kali memperoleh undangan ke Istana. Tapi tak pernah datang. Sampai suatu saat di awal tahun 1967, dr. Tan, dokter pribadi Presiden Soekarno, menyampaikan berita bahwa presiden sakit gigi. Saya tahu bahwa rekan yang biasa merawat gigi beliau, drg. Ouw, pindah ke luar negeri. Saya bersedia menerima permintaan dr. Tan. Selain itu saya juga ingin tahu keadaan Istana sekarang, setelah bulan Januari sebelumnya mahasiswa dan pelajar berdemonstrasi. Mereka membawa slogan “Soekarno 1945 yes, Soekarno 1967 no”, juga meminta agar Bung Karno diajukan ke pengadilan.
WAJIB BERTERUS TERANG
Dengan ditemani dr. Tan, saya berangkat ke Istana. Presiden sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang. Kami diperkenalkan kepada mereka, lalu bersama-sama menuju ke ruang khusus untuk pelayanan gigi di Istana Negara. Alangkah terperanjatnya saya melihat peralatan di sana. Semua memang terawat dengan baik, tetapi sudah tidak layak lagi untuk praktik modern. Apalagi untuk merawat gigi seorang kepala negara. “Bagaimana ruang praktik ini, Pak Dokter. Adequaat (memadai), bukan?” tanya Bung Karno (BK) dengan nada bangga. Merasa wajib berterus terang kepada Presiden RI, saya pun menjawab, “Maafkan, Pak. Alat-alat kuno ini sepantasnya sudah masuk museum.”
Saya lihat orang di sekitar terkejut dan melirik BK. Saya jadi waswas. Apakah keterusterangan saya akan menyebabkan presiden marah? Bung Karno tercengang sejenak. Kemudian saya lihat matanya seperti tersenyum dan seluruh wajahnya ceria. “Pak Dokter ini memang lain daripada yang lain,” kata BK sambil memandang Pak Hardjo, kepala rumah tangga Istana. “Bagaimana Pak Hardjo? Kata Pak Dokter Oei, alat-alat ini seharusnya sudah disimpan di museum. Dari mana alat-alat ini?”
“Dari dump NICA, peninggalan Belanda, Pak,” jawab Pak Hardjo. Saya tidak berani menggunakan alat-alat itu sebab sudah tak memiliki keterampilan untuk mengoperasikannya. Kalau memaksakan diri, ada kemungkinan saya melukai lidah, gusi, atau pipi. Bor yang tersedia pun tidak dilengkapi semprotan air, padahal kalau panas ia bisa merangsang syaraf gigi. “Bapak akan menderita,” kata saya. “Sebaiknya Bapak datang saja ke tempat praktik saya.” Karena alasan keamanan, pengobatan di rumah saya dianggap tidak mungkin.
Akhirnya kami mengambil keputusan yang sebetulnya tidak ideal. Perawatan tetap dilakukan di Istana, tetapi menggunakan alat-alat milik saya. Truk akan mengangkut peralatan itu, dan setiap kali dibongkar-pasang di dua tempat berbeda. Dengan peralatan sendiri saya bisa leluasa bekerja. Seusai perawatan pertama BK berkomentar, “Memang dokter gigi ini hebat. Saya tidak merasa sakit sedikit pun.”
“Yang hebat ‘kan alat-alat canggih ini, Pak.” Alat-alat itu khusus saya datangkan dari Jepang tahun 1960.
Sejak perawatan pertama itu saya jadi tahu alasan BK selalu mengenakan peci – yang dibukanya ketika diperiksa. Pria pesolek itu sudah botak hebat. Saya juga melihat mukanya kasar dan berlubang-lubang. Rupanya BK mengenakan banyak kosmetika untuk menutupi kekurangannya itu. Perawatan selesai, tapi saya tidak boleh langsung pulang.
Kami duduk di serambi belakang Istana Merdeka yang luas sambil minum. Walaupun terus didemonstrasi dan dilanda pelbagai kejadian pelik, BK tak memperlihatkan kerisauan. Ia ramah dan antusias, seakan-akan mengabaikan kekuatan jahat yang ingin menurunkannya dari tahta. Ketika melihat Menteri Sosial Muljadi Djojomartono lewat di halaman Istana, BK memanggil. “Pak Mul, Pak Mul, mari berkenalan dengan dokter gigi saya yang baru.”
Tapi Pak Mul menjawab, “Saya sudah mengenal drg. Oei sedikitnya sepuluh tahun.”
Menteri P & K Prof. Dr. Prijono juga dipanggil untuk diperkenalkan. Tapi Prof. Prijono menjawab, sudah lama jadi pasien saya. Dengan nada agak menyesal BK berkata, “Bagaimana sih Bapak-bapak menteri ini? Mengapa tidak sejak dahulu memberitahu saya?”
TIDAK ADA RAHASIA
Rupanya gigi BK perlu menjalani restorasi intensif. Untuk itulah saya harus berkali-kali datang ke Istana. Karena saat itu secara politik sudah disingkirkan, pria yang overaktif itu tak banyak pekerjaan. Ia sulit membiasakan diri dengan kesepiannya. Maka setiap kali selesai perawatan, saya pun tetap harus tinggal.
Pada kesempatan lain ia mengajak saya makan masakan pesanannya, bubur Manado dengan ikan asin. Kemudian kami minum sari jambu klutuk. Tak lama kemudian seorang pembantu membawa piring berisi pisang goreng panas dan secangkir teh. Saya berkesimpulan, Presiden RI itu sangat sederhana dalam pilihan makanan. Makanan kesukaannya ialah pecel.
Saat lain, kami duduk-duduk di kursi rotan di serambi belakang sambil minum teh. Muncul dua orang Jepang diantar seorang wanita Jepang. Nyonya itu kebetulan pasien saya. Suaminya seorang pengusaha Indonesia. Rupanya ia bertindak sebagai penerjemah. Saya buru-buru minta diri, tetapi BK menarik lengan saya.
“Duduk dulu,” katanya. “Tidak ada rahasia.”
“Kami membawa sekadar oleh-oleh untuk Bapak,” kata si juru bicara.
Oleh-oleh itu berupa miniatur kapal, mirip kerajinan perak dari Kendari.
“Oleh-oleh ini untuk Presiden RI atau Ir. Soekarno pribadi?” BK bertanya.
Pada saat itu resminya BK memang masih presiden, walaupun boleh dikata sudah tidak berkuasa lagi. Namun tampaknya BK riang gembira saja, sehingga saya heran. Makin hari suasana di Istana makin lengang. Hanya sedikit tamu yang datang. Di antaranya pengusaha Dasaad dan bekas menteri Leimena. Mereka tidak takut akan segala risiko selalu mendampingi BK. Bahkan keduanya mampu mengembangkan cerita masa lalu menjadi tawa dan canda. Apabila mereka bercerita, mungkin saya berfungsi sebagai penangkal petir untuk menjaga agar pembicaraan tidak menjadi sentimental. Ketenangan yang diperlihatkan BK sungguh menakjubkan. Saya tak pernah melihatnya marah. Kalau menangis? Sekali ia pernah berucap, “Menangis hanya dilakukan kalau sedang sendiri.”
Sidang Istimewa MPRS 7 – 12 Maret 1967 menghasilkan keputusan untuk menarik mandat dari Pemimpin Besar Revolusi itu. Bung Karno harus keluar dari Istana Merdeka. Dalam nama ia masih presiden, tetapi dalam kenyataan ia tahanan rumah di Bogor. Mungkin BK sebelumnya sudah merasa bahwa hal itu akan terjadi. Namun tetap saja, keputusan itu bagaikan sambaran petir. Majelis yang sebagian besar anggotanya dia pilih, berbalik menentangnya.
Pertengahan April 1967 saya kedatangan Pak Djamin, utusan Bung Karno. Selain menyampaikan salam BK, ia juga mengantarkan satu set vulpen dan bolpen Mont Blanc, sehelai dasi sutera warna putih berinisial “S”, serta sebotol besar parfum Shalimar buatan Guerlain. Ada juga sampul besar berisi foto Bung Karno ukuran 17,5 X 23 cm dengan tulisan: “Untuk Dr. Oey Hong Kian” dan dibubuhi tanda tangan BK serta tanggal 12-4-1967.
Malam harinya saya memperhatikan foto BK dengan saksama. Saya merasa terharu. Ia pasti sedang dalam keadaan sulit sekarang. Tetapi rupanya ia tidak lupa menunjukkan penghargaan kepada dokter giginya yang baru beberapa bulan dikenal.
Keharuan juga terasa ketika mengingat pertanyaannya yang disampaikan lewat Pak Djamin apakah saya masih dapat menghargai fotonya? Maklum, foto itu diberikan pada saat ia bukan lagi presiden. Mungkin itu termasuk salah satu foto terakhir yang ia berikan secara pribadi kepada seseorang.
LEWAT PINTU SAMPING
Saya mengira hubungan dengan BK telah berakhir. Menurut berita burung yang saya dengar, kesehatan BK menurun drastis. Ingatannya lemah, jalannya pincang. Tiba-tiba sekitar awal September 1967, dokter pribadi BK memberitahu bahwa BK ingin berobat lagi. Ia akan datang ke rumah saya. Dokter pribadi itu berpesan agar saya memperhatikan keamanan. Tapi, apa yang bisa dilakukan seorang dokter gigi untuk melindungi keamanan pasiennya? Saya memutuskan agar BK memasuki rumah lewat pintu samping. Kedua mobil saya akan dikeluarkan dari garasi, lalu pintu garasi akan dibuka lebar-lebar. Begitu mobil BK masuk ke garasi, pintunya akan
ditutup.
Pukul 08.45 keesokan harinya, seorang prajurit datang mengendarai jip militer. Ia menyetujui prosedur yang saya tawarkan. Tepat pukul 09.00 BK tiba dengan sedan Mercedes 600, diiringi lima jip putih penuh prajurit. Cuma tidak ada raungan sirene, dan fungsi pengawalannya sudah berbeda. Bung Karno duduk di bangku belakang yang sangat lapang, tetapi tanpa ajudan. Celananya abu-abu, bajunya putih berlengan pendek dan dibiarkan keluar. Peci hitam tidak ketinggalan. Ia kelihatan sehat walafiat. Dengan gesit, tanpa bantuan, ia keluar dari mobil.
“Selamat pagi, Pak Dokter,” sapanya sambil mengulurkan tangan. “Tidak disangka-sangka, ya, kita akan bertemu lagi dalam waktu secepat ini. Ini, gigi saya ada yang terganggu. Bagaimana, baik-baik semua?” Sikapnya biasa saja, seolah-olah tidak ada sedikit pun ganjalan di dalam hati.
TETAP SENANG BERGURAU
Saya persilakan BK masuk ke kamar praktik. Seorang prajurit mengikuti, tetapi saya bilang tidak bisa bekerja sambil ditunggui. Untunglah ia mengerti walaupun
semula menolak. Saya dibantu keponakan istri saya, seorang wanita dokter gigi. Bung Karno rupanya selalu ingat pada nama orang yang dijumpainya. Sejak itu, kalau keponakan istri saya tidak ada, BK tak pernah lupa menanyakannya. Saya merasa lega melihat keadaan BK tidak menyedihkan. Pria itu masih tetap jernih, riang seperti dulu, dan juga penuh humor.
Sambil melepaskan pecinya, BK bertanya, “Saya ingin tahu, apakah Pak Dokter masih bisa menghargai foto saya?”
“Pak,” jawab saya, “Bapak tentu pernah memberikan foto kepada banyak orang. Tetapi karena Bapak memberikannya kepada saya pada saat itu, foto itu tinggi nilainya bagi saya.”
Saya belum lama mengenal BK. Saat ia terpukul karena kekuasaannya dilucuti, ternyata ia masih ingat memberikan cendera mata. Apakah itu penghargaan atas pelayanan saya sebagai dokter gigi, ataukah tanda mata bagi salah satu dari segelintir orang yang membantu mengusir kesepiannya di saat sulit, walau cuma sebentar? “Bapak saat ini tidak bisa memberi imbalan apa-apa,” lanjut BK. Saya sampai tidak bisa berkata-kata. Mungkin ia tahu tidak ada yang memikirkan honorarium saya. Terus terang saya sendiri juga tak pernah memikirkannya. Saya tahu bahwa dalam keadaan normal dokter pribadi akan memperoleh fasilitas khusus. Namun saat itu bukanlah keadaan normal.
TIDAK MAU DATANG TERLAMBAT
Ketika akan pulang, BK minta bertemu dengan istri saya. Di ruang duduk istri saya mempersilakan BK untuk singgah, tetapi BK menolak. “Terima kasih. Nanti
suami Anda bisa dikira yang bukan-bukan kalau saya berlama-lama di sini.” Walau tidak pernah berlama-lama, BK beberapa kali datang lagi untuk
periksa. Suatu kali, ketika ia datang, putri saya sedang mengerjakan PR. Bung Karno mengusap-usap kepala anak itu sambil berkata, “Belajar baik-baik ya, Nak. Supaya nanti pandai.”
Kebetulan putri saya yang nomor tiga memasuki ruangan. “Wah, kau pasti ingin jadi dokter kelak, seperti ayahmu,” kata BK seraya menghampiri anak itu dan mengusap-usap kepalanya. Kedua anak itu belakangan memang menjadi dokter gigi.
Pada suatu pagi BK datang tanpa iringan jip. “Kok sendirian, Pak?” tanya saya. “Mereka belum datang. Padahal saya tidak mau terlambat.” Bung Karno memang selalu datang sesuai waktu perjanjian. Hal itu tentu sangat memudahkan saya yang anti jam karet.
WAKTU PENGOBATAN DIULUR
Bung Karno memerlukan dua-tiga kali kunjungan setiap kali merasa giginya terganggu. Suatu saat ia berkata, “Saya ingin bicara blak-blakan. Saya ingin
tinggal agak lama sedikit di Jakarta. Di Jakarta saya lebih dekat dengan anak-anak. Mungkinkah itu?” Setahu saya, saat itu BK tinggal di Bogor. Tetapi kalau sedang membutuhkan perawatan, ia tinggal di Wisma Yaso (Museum ABRI Satria Mandala) di Jln. Gatot Subroto, Jakarta. Dari situ BK hanya boleh pergi-pulang
ke rumah saya.
Saya menjawab, “Tentu mungkin, Pak. Waktu pengobatan bisa diulur.
Seandainya diulur tiga minggu, cukup Pak?”
Ia kelihatan gembira sekali. “Wah, terima kasih banyak!”
Saya terharu karena hal kecil saja bisa membuat bahagia bekas presiden yang sedang kesepian itu. Selama lebih dari setahun merawat gigi BK, kami tak pernah membicarakan soal politik. Suatu kali BK bertanya di mana Profesor Ouw, dokter giginya sebelum saya, berada. Saya mengatakan, dia di Hong Kong. Bung Karno tidak mengerti mengapa ia pindah ke sana.
“Itu karena Bapak,” kata saya.
“Saya disalahkan lagi,” ia menanggapi.
“Ya. Bapak mengangkatnya jadi anggota DPA. Ketika mahasiswa mulai bergolak, ia takut dan cepat-cepat pergi.”
“Namun ia toh bisa pamit. Atau paling sedikit bisa menulis surat,” BK ngotot.
Saya hanya bisa mengatakan bahwa orang itu takut.
MENGERTI ARTI KESEPIAN
Dua anak saya sedang menuntut ilmu di Universitas Amsterdam. Tak lama lagi kedua adiknya akan menyusul. Jadi saya hanya akan berdua dengan istri di Jakarta. Daripada terpisah-pisah, lebih baik pindah saja ke Amsterdam. Ketika BK datang pada bulan Februari 1968, saya beritahukan rencana kami untuk pindah pada akhir Maret.
Bung Karno menanggapi, “Tidak perlu menjelaskan kepada Bapak apa artinya kesepian. Bapak mengerti. Tapi kita masih akan berjumpa beberapa kali lagi, ‘kan?”
Medio bulan Maret BK menyatakan ingin pulang ke Bogor. Padahal saya akan memasang tambalan emas pada giginya. Kami berjanji akan bertemu untuk terakhir kalinya 21 Maret 1968.
Ternyata antara tanggal 21-30 Maret 1968 ada Sidang Umum MPRS. Saya diberitahu pihak berwajib bahwa BK tidak bisa datang pada tanggal itu. Ternyata pada hari-hari berikut pun BK tidak datang. Padahal tanggal 30 Maret saya harus berangkat. Terpaksa pemasangan tambalan emas pada gigi BK saya percayakan kepada rekan sejawat. Walaupun setelah itu paling sedikit sekali setahun saya pulang ke tanah air, saya tidak pernah melihat BK lagi …
Salam,
Yan W
Mailing-List Budaya Tionghua , Arsip No 18785, 20 April 2006 ,
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua