Budaya-Tionghoa.Net | Oei Tjoe Tat [1922-1996] dilahirkan pada tahun 1922 di kota Solo – Jawa Tengah. Semasa hidupnya dia adalah seorang politikus. Karier politiknya dimulai semenjak lulus dari Universiteit van Indonesië (sekarang Universitas Indonesia) di Batavia pada tahun 1948. Ia terpilih wakil presiden Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) pada tahun 1953, bergabung dalam Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada tahun 1954 dan sejak tahun 1960 aktif dalam Partai Indonesia (Partindo) serta menjadi salah satu pengurus pusatnya.
|
Pada tahun 1963 ia diangkat menjadi Menteri Negara, dan kemudian sempat menjadi salah satu anggota Kabinet Dwikora yang dijuluki sebagai Kabinet 100 menteri. Setelah peristiwa G30S tahun 1965 Oei ditahan oleh pemerintah Orde Baru dan dipenjarakan selama 10 tahun, tanpa melalui proses pengadilan sampai tahun 1976. Pada tahun 1976 Oei akhirnya dikenai tuduhan terlibat dalam G30S, namun tuduhan itu tidak pernah terbuktikan. Akhirnya Oei dibebaskan dari tahanan pada tahun 1977.
Memoirnya yang berjudul Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno diterbitkannya pada usianya yang ke-73 untuk memperingati pesta emas hari pernikahannya. Namun pada September 1995, atas anjuran Fosko ’66 (Forum Studi dan Komunikasi ’66), buku ini dilarang beredar oleh pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Jaksa Agung setuju dan mengatakan bahwa buku ini akan “meracuni pikiran generasi muda”.
“Tinggalkan Warisan Pengalaman Bagi Generasi Muda”
Ia seorang Menteri Negara di jaman Demokrasi Terpimpin. Sebuah jabatan strategis dalam pemerintahan Soekarno. Dalam kariernya sebagai menteri sering diserahkan tugas-tugas yang teramat penting. Seperti dalam Konfrontasi dengan Malaysia, ia memegang posisi kunci yang menjalankan silent mission untuk menghubungi orang-orang di Negeri Jiran itu yang bisa bersekutu dengan Indonesia.
Sebagai seorang intelektual keturunan Tionghoa yang berpikir lurus, Soekarno tak khawatir akan dikhianati. Sebab tak mungkin orang ini memiliki potensi massa untuk melakukan kudeta. Kata Soekarno suatu kali, “…kamulah yang saya pilih, terutama karena kamu keturunan Tionghoa. Tidak ada satu jenderalpun akan menuduh kamu ngimpi jadi presiden menggantikan saya. AD juga tidak akan mencurigai kamu…”
Wajar pula, jika Soekarno menampilkan sisi politis paling banyak di mata dia, ketimbang di hadapan pembantu-pembantu yang lain. Ia memahami betul tindakan-tindakan politik Soekarno. Soekarno memang dekat dengannya. Mungkin karena itulah, ia harus mendekam selama sebelas tahun dalam penjara Orde Baru. Ia, tahu cukup banyak.
Beruntung sekali, orang ini amat mudah dihubungi. Di rumahnya yang sederhana di kawasan Menteng, kami mewawancarainya selama lebih dari jam – sampai ludes semua suguhan cemilan dan sirup yang disediakan buat kami. Hanya dengan modal membaca otobiografinya – “Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno” yang baru-baru ini digugat oleh Fosko ’66 – kami melakukan dialog yang cukup seru.
Kami seolah-olah masuk kembali dalam situasi ‘ramainya’ Orde Lama melalui tuturannya. Ia jelaskan betapa sulitnya pemerintah Soekarno harus mengambil keputusan dari berbagai situasi ‘luar’ dan dalam’ negeri’ yang selalu mendesak.
Ia cerita tentang apa yang didengar dan dilihatnya. Tentang G30S, tentang CIA, juga tentang memoarnya itu. Sebagai orang yang hidup dalam dua periode besar pemerintahan – Orla dan Orba – ia memang seorang saksi sekaligus bagian dari sejarah.
Mengikuti ceritanya, tidak membuat kita merasa harus mengutuk sejarah. Tapi mendorong kami untuk mencari lebih banyak lagi potret-potret sejarah yang hilang, mendorong kami untuk belajar arif setelah melihat situasi-situasi khas, sejenak ke belakang dan, mendorong kami untuk juga menjadi pelaku sejarah. Demi melengkapi proses panjang sejarah pembentukan bangsa ini yang belum selesai. Yang takkan pernah selesai. Namun, yang justru memberi kesempatan yang sama bagi semua generasi untuk terlibat dalam proses panjang ini. Hal yang berat memang, terlebih bila melihat potret diri bangsa kita saat ini. Prihatin.
Tapi, kita harus segera mulai. Baiklah, sebelum melangkah kita berdialog dulu dengan Oei Tjoe Tat. Berdialog dengan sejarah.
Tanya : Belakangan ini gejala de-Soekarnoisasi tampaknya mulai mencuat lagi. Bagaimana Pak Oei melihat ini ?
Oei Tjoe Tat (OTT): Yah, saya kira kalo itu sengaja dilakukan, itu kan politis. Wajar dalam sejarah orang/kelompok yang duduk dalam kekuasaan itu tidak rela melepaskan kekuasaan. Kalo bisa terus menerus kuasa. Saya sendiri juga, saya kira bila punya kelompok lalu (ingin) berkuasa selama mungkin. Tentunya segala yang katakanlah tidak sesuai diantara kita, kita cegah. De-sukarnoisasi juga begitu dong.
Tanya : Tapi kenapa harus dengan mendiskreditkan Sukarno ‘kan bisa saja Orba menunjuk kan bukti kelebihannya dalam pengadaan beras, dsb…
OTT: Ini yang saya tidak setuju. Cara-caranya yang saya ndak mengerti.
Tanya : Ada pendapat yang bilang, usaha-usaha untuk mengangkat kembali nama Soekarno hanyalah upaya politicking dari kelompok tertentu. Seperti bertemunya Gus Dur-Mega dalam haul ke makam Bung Karno misalnya.
OTT: (Katanya pengerahan massa, ya?) Ya itu, masing-masing punya pendapat. Sayapun punya pendapat lain sama sekali. Saya pikir kalau seorang punya keluarga, harus dihormati. Tapi kalau seorang pemimpin bangsa lebih harus dihormati. Dan orang-orang tak pantas mencari hal-hal di luar itu. Itu memang betul seperti yang diucapkan Gubernur Jatim (Basofi Sudirman-red.), “Sukarno untuk bangsa.” Tapi kita jangan pake kata-kata itu untuk mengecilkan Sukarno, untuk de-Sukarnoisasi, untuk menghilangkan Sukarno. Kok, takut sama orang sudah mati. Pake poster segala ndak boleh. Saya ndak ngerti itu. Cara-cara itu saya ndak ngerti.
Tanya : Ada yang bilang karena kepemimpinan Orba sekarang orientasinya sangat elitis, sehingga masyarakat yang tidak lagi dijadikan ‘subyek’ dalam pembangunan, kemudian mencari figur yang lain. Ternyata figur yang terdekat adalah Sukarno, karena dia cukup populis.
OTT: Bahwa orang membandingkan Orba-Orla saya kira wajar. Apakah perbandingannya itu tepat atau tidak penilaiannya, itu soal lain. Orang yang duduk dalam kursi yang enak tentunya akan bilang ini lebih bagus dari dulu. Sangat subyektif. Tentunya saya sendiri akan bilang saya juga sangat subyektif. Makanya, saya bilang buku ini sangat subyektif (sambil mengacungkan buku otobiografinya).
Tanya : Tapi begini Pak Oei, sampai sekarang orang melihat Orla itu dengan berbagai pendapat, versi dan interpretasi. Ada yang bilang pada saat Orla, realitas sosial-ekonomi katanya kacau. Sementara ada yang bilang ini adalah konsekuensi logis dari program-program politik ekonomi yang dipilih oleh Sukarno ketika kita sedang menghadapi Nekolim dsb. Nah, Pak Oei sebagai seorang yang pada saat itu menjabat sebagai menteri tentunya tahu bagaimana sebenarnya saat itu.
OTT: Begini ya. Saya ini pernah menjadi pelaku politik. Di luar kemampuan saya. Tapi ditakdirkan pernah menjadi pelaku politik. Disamping pelaku politik kita mengenal pengamat politik. Pengamat politik melihat segala sesuatu itu dari… Mungkin lebih obyektif, dari agak jauhan… Jarak jauh dalam arti fisik atau dalam arti waktu.
Sehingga pengamat politik itu secara emosial tidak terikat. Maka waktu orang-orang ini, antara lain, membuat buku “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai” dan macam – macam lagi, saya pernah menulis surat pembaca ke Tempo. Tapi karena saya menulis itu, Tempo segera mendapat teguran keras. Saya menulis begini: sebaiknya semua orang Indonesia, kalau menulis tentang Soekarno itu, harus menahan diri, tidak boleh memaki-maki, tidak terlalu memuji. Kalau mau menulis Soekarno, lebih baik kita membaca karya pakar-pakar luar negeri, dari pada orang-orang kita. Seperti saya sendiri, emosional. Karena saya terlibat langsung dan saya merasakan langsung segalanya. Mungkin saya memuja-muja Bung Karno atau apa. Tapi, kalau seorang Prof. Daniel S. Lev, atau Ben Anderson, Wertheim atau siapa saja di luar negeri, Indonesia ‘kan sebagai negara asing bagi mereka. Mereka tidak involve, mereka lebih baik. Saya bilang begitu… Lha, kalau orang Indonesia mau menulis tentang Sukarno secara 50 tahun lagi. Karena surat itu, segera Tempo ditegur keras. Padahal saya pernah empat kali mengirim surat pembaca pada Tempo, tapi tidak ditegur. Saya memuji Hatta tidak ditegor. Saya cerita tentang Marshall Green tidak ditegor. Ketika saya tidak membela BK, tapi cuma membela obyektifitas, itu ditegor..
Jadi beda antara pengamat politik dan pelaku politik. Contoh, Arief Budiman yang sekarang sangat dekat dengan saya (Prof. Lev pernah meminta Arief untuk menyunting buku Pak Oei. Hal yang mengejutkan bagi Pak Oei. Setahunya, Arief adalah orang yang membantu ‘terdongkelnya’ Soekarno. Sedangkan ia sendiri adalah pendukung Soekarno. “Jadi memang ndak bisa ketemu.” ). Ternyata, Arief sebelum berangkat ke Amerika dan setelah datang dari Amerika, itu berubah. Setelah dia membuat desertasi tentang Allende, berubah (Desertasi ini yang memaparkan keterlibatan CIA dalam penggulingan Presiden Chilli Salvador Allende, kini sudah diterbitkan dalam bentuk buku-red.). Saya mau katakan, orang bisa berubah.
Pak Oei pun menceritakan bagaimana ia kemudian bertemu dengan Arief Budiman. Sekembalinya dari AS, Arief menelpon Pak Oei dan memperkenalkan dirinya. Menurut Arief ia disuruh oleh Prof. Lev untuk menghubungi Oei Tjoe Tat. Tapi, ketika baru bertemu dengan Pak Oei, Arief langsung ‘menyerang’, “Pak Oei ini sebagai seorang intelektual, kok mem-bebek pada Soekarno yang otoriter?”
“Dikasih salvo begitu, saya malah senang,” ujar Pak Oei. Baginya memang lebih baik orang jangan terlalu memuji-muji, tapi berdialog. Dan, belum lama ini, kebetulan Pak Oei diundang dalam kegiatan diskusi di Jawa Tengah yang juga dihadiri oleh Arief Budiman. Pada waktu itu, Arief kembali menanyakan mengapa sewaktu di Yogya dulu, Bung Karno lebih memilih ditawan oleh Belanda ketimbang ikut ke hutan seperti yang dilakukan oleh Sudirman. Juga ketika istana dikepung suatu ketika, menurut sumber yang dipercaya Arief, Soekarno ketika itu malah melarikan diri. Untuk peristiwa di istana, hal ini dijawab oleh Pak Oei, yang melihat sendiri peristiwa di istana itu, “saya tidak mendapat kesan – mataku lho – Soekarno sama sekali ndak gugup.”
Pak Oei lalu menanyakan pada Arief, kalau ia mengenal Zulkifli Lubis. Orang ini – Zulkfili – adalah soerang tentara yang dikenal sebagai salah satu ‘bapak’ intel di Indonesia, pernah ditahan Soekarno dan yang dikatakan menjadi otak pelemparan granat terhadap Soekarno di Cikini dulu. Beberapa bulan sebelum dia meninggal, sempat bercerita tentang Soerkarno. Dia berkata pada Pak Oei, “kalau orang berkata bahwa Soekarno dan Hatta sebenarnya takut ikut gerilya, tapi lebih senang ditahan Belanda, itu tidak fair.” Karena dalam cerita Zulkifli, ketika itu Soekarno dan Hatta bertanya pada pimpinan gerilya, “ini keadaan darurat, jadi keselamatan RI ini dalam tangan anda semua. Kalian memutuskan saya dan Hatta ikut kalian ke hutan, apa kita harus tetap di istana?”
Hal yang dijawab oleh TB Simatupang (alm.), “Bapak Presiden dan Wakil Presiden harus tinggal di istana.” Namun, oleh Zulkifli Lubis, pendapat Simatupang ini ditentang. Karena Lubis telah menyiapkan pasukan untuk mengamankan Presiden dan Wakil Presiden. Akhirnya, karena Simatupang berpangkat lebih tinggi, pendapatnyalah yang dijalankan.
Dengan cerita ini, Pak Oei menyatakan kepada Arief Budiman, “bila tidak mengenal data ini, jangan mengatakan Soekarno dan Hatta itu pengecut.”
Ada hal menarik yang juga diceritakan tentang Arief oleh Pak Oei. Dalam diskusi di atas, Pak Oei menyatakan salutnya kepada orang-orang semacam Arief yang penuh idealisme dalam demonstrasi di awal tahun naiknya Orde Baru. Mereka yang berpikir bahwa Orla adalah jelek dan harus diganti dengan pemerintahan baru. Mereka ini, berani berkorban. Karena itu Pak Oei berkata pada Arief, “kamu semua pahlawan, berani bergerak sendiri.”
“Ndak. Kami ini dihasut tentara,” jawab Arief.
Ada lagi. “Ini mungkin takdir Allah,” katanya. Sebab semua orang tahu, Soe Hok Gie, adiknya Arief Budiman yang memimpin demonstrasi dan pembakaran di rumah Oei.Hal yang juga dikomentari oleh Arief, “Iya,itu adik saya belum berpengalaman, belum tahu siapa Pak Oei.”
“Arief Budiman itu memang orangnya fair, jujur,” tambah Oei menetralisir.