KEADAAN EKONOMI SEPUTAR ORLA
Tanya : Mengenai keadaan ekonomi seputar Orla…
OTT: Jelas, saya bukan ekonom. Saya menulis buku ini (memoarnya-red.), sebetulnya tidak dengan rela. Tapi karena Romo Mangunwijaya dan Kyai Abdurrahman Wahid. Dua orang ini bilang pada saya: Karena Pak Oei sudah tua jadi jelas sudah tidak bisa mengabdi lagi kepada negara. Satu-satunya yang harus diperbuat adalah menulis tentang pengalaman. Pengalaman tak boleh dibawa ke liang kubur, biar tinggalkan sebagai warisan bagi generasi muda. Bagaimana generasi muda menilainya, itu bukan urusan Pak Oei.
Itu kata Romo Mangun. Gus Dur, lain kata. Dia bilang pada saya: Takdir itu menempatkan Pak Oei sebagai bagian (?) dari sejarah bangsa ini. Jadi, semua pengalaman itu tidak milik pribadi. Tapi, milik seluruh bangsa. Akhirnya segala sesuatu itu saya tulis. Artinya yang saya tulis itu betul. Apa itu enak atau tidak enak, kalau saya pandang itu betul, saya tulis. Dengan catatan, tidak semua pengalaman saya, saya tulis…
Kembali pada pertanyaan tadi. Keadaan ekonomi dulu sama sekarang itu bagaimana? Saya anggap pertanyaan itu tidak bisa dijawab. Karena situasi dan kondisinya lain. Bahwa, hari-hari terakhir Orla, inflasi gila-gilaan. Dan kita selalu defisit. Semua betul. Dan, Soekarno pribadi sangat kurang pengertiannya dan pekanya akan soal-soal ekonomi keuangan, itu betul. Secara pribadi. Bukan berarti Soekarno pribadi tidak mau memperhatikan soal-soal itu. Memang. Dia tidak punya satu ‘PT’ pun. Lain dari pada presiden kita sekarang…
Kembali ke soal tadi. Ini, Chaerul Saleh. Dia menteri koordinator bidang keuangan ekonomi dsb. Ia mengatakan berkali-kali, 80% dari budget negara itu diperuntukkan untuk ABRI. Untuk perjuangan politik. Perebutan Irian Barat. Memadamkan pemberontakan-pemberontakan. Bagaimana kalau hanya 20% dari budget kita digunakan untuk pembangunan dan lain-lain. Tidak bisa disamakan dengan keadaan sekarang. Dan, dulu karena Soekarno dalam perang dingin antara Sovyet dan Amerika, dianggap sebagai anak yang bengal, – beda dengan sekarang yang dianggap good boy -, kalau bisa kedua negara itu mau ‘menyentik’ Soekarno. Soekarno ini paling menjengkelkan, bandel. Dia tidak mau ke sana, tidak mau ke sini.
Padahal, Amerika minta kalau bisa Indonesia ini memihak. Kaya raya alamnya. Lokasinya luar biasa strategis. Siapa yang menguasai Indonesia menguasai Asia. Siapa yang menguasai Asia, menguasai dunia. Mereka cari akal bagaimana caranya bisa ‘menyentik’ Soekarno. Jadi, soal ekonomi, betul apa yang dikatakan… (Pak Oei, ingin menjelaskan situasi dimana dua raksasa dunia, yang karena posisi Indonesia benar-benar “non blok”, tidak mau memberikan bantuan ekonomi bagi Indonesia.)
Bedanya dengan sekarang. Kita lihat lapangan-lapangan golf. Tapi saya tanya, apakah lapangan golf itu berarti pembangunan? Padahal petani-petani diusir dari lahan-lahannya. Lalu pembangunan itu artinya apa? Kalau kita membangun jalan tol, membangun apa, tidak? Ya, membangun dong. Tapi bagi saya yang punya mobil. Buat pedagang asongan, apa itu membangun? Bagi mereka pakai tol atau tidak, sama saja toh? Jadi tergantung ‘pembangunan’ itu bagi siapa. …Kalau kita berbicara dengan bahasa Indonesia ini, hati-hati.
Seperti ‘pengamanan’. Saya ‘diamankan’. Tapi, kok telpon saya diputusin. Revolver saya kok dicabut. Sehingga saya tepaksa ‘nulis pada ‘Harto. Ada loh itu. Jadi, bahasa Indonesia ini saya ndak ‘ngerti. ‘Pengamanan’ itu apa. ‘Pembangunan’ itu apa. ‘Pancasila’ itu apa, saya juga nggak ‘ngerti.
Tanya : Mengenai anggapan bahwa Soekarno itu totaliter, bagaimana? Bukankah ia pernah membubarkan konstituante, yang menimbulkan kesan seolah-olah kekuasaan ini tersentralisir di tangannya?
OTT: Kita sementara, kembali kepada pembubaran konstituante. Saya sementara ini sependapat, kurang lebih, dengan Adnan Buyung Nasution bahwa pembubaran konstituante itu merupakan set back bagi perkembangan sejarah demokrasi di Indonesia. Saya setuju dengan pendapat itu. Tapi, saya tidak setuju bila dikatakan bahwa pembubaran konstituante itu dilakukan Soekarno karena kehendaknya untuk berkuasa. Seperti dikemukakan antara lain oleh Arief Budiman pada waktu itu. Arief Budiman mengatakan Soekarno itu juga sama otoriter, sebab dia membubarkan konstituante hasil pemilihan rakyat. Dan menurut keterangan yang dia dapat, “Soekarno dan Nasution ‘AD’lah yang mendesak supaya konstituante dibubarkan.” Dia tanya pada saya, “Pak Oei, betul apa ndak itu?” Saya bilang saya ndak tahu. Tapi, bahwa konstituante dibubarkan, ini sampai menimbulkan clash di kalangan BAPERKI – suatu ormas yang saya sendiri mempunyai kedudukan penting.
Tapi, karena itulah Yap Thiam Hien berang (?). Dia mengundurkan diri dari pengurus pusat karena tidak bisa menyetujui pembubaran konstituante. Yap Thiam Hien ini advocaat dalam kantor saya. Satu dompet dengan saya. Dia juga kawan seperjuangan di Sin Ming Hui dan di BAPERKI. Tapi waktu di BAPERKI, kita ‘pecah’ dalam soal konstituante. Saya berpendapat seorang demokrat, seorang juriist, sehingga dia cenderung pada formalisme. Saya juga seorang juriist, seorang demokrat. Tapi, kalau kita duduk dalam konstituante, kita juga orang politik. Nah, kenyataannya pada saat sampai kepada penentuan negara ini dasarnya apa, Islam atau Pancasila, tidak ada satu pihakpun yang bisa meraih 2/3 suara yang dibutuhkan menurut UU supaya bisa ‘gol’. Jadi, mau negara Islam tidak bisa, mau negara Pancasila tidak bisa.
Meskipun, lebih dari separuhnya mendukung Pancasila. Yang mendukung Pancasila adalah partai-partai besar. PNI paling gede, PKI, kemudian IPKI, Partai Katholik, Partai Kristen Indonesia, MURBA, BAPERKI sendiri dan banyak lagi. Yang Islam, didukung yaitu NU, MASYUMI, PSII, dsb. Kemudian, Perdana Menteri Juanda (alm.) mengusulkan kembali ke UUD ’45. Juanda dan tentara lho. Dan, Bung Karno setuju. Itu kemudian ditolak juga oleh seluruh konstituante. Jadi, bagaimana ini. Padahal, di sekitar kita, pemberontakan-pemberontakan, PRRI-PERMESTA di mana-mana. Dan, kita ketahui armada Inggris dan Amerika itu berkeliaran. Jadi ini keadaan darurat.
Kemudian, partai-partai yang pro Pancasila itu mengata kan, “karena ini macet dan kita tidak mau terima uang buta, pendeknya mulai besok kita tidak datang lagi ke sidang kita, tidak mau terima gaji. (Seandainya DPR kita juga begitu, ck, ck, ck… Tentu nggak banyak pemborosan)” Artinya, karena lebih dari separuh tidak ada di konstituante, tidak bisa sidang. Jadi, pemerintah dipojokkan dalam situasi itu. Kalau Soekarno ndak bubarkan itu bagaimana? Wong itu, orang-orang nggak mau datang. Seperti BAPERKI, semua tidak datang. Saya juga nggak mau. Hanya Yap Thiam Hien mau datang. Nah, keadaan ini kan harus ada suatu akhir toh. Kemudian Soekarno membubarkan. Ini ‘pelakunya’ Soekarno. Kita yang hidup sekarang, bisa bilang, wah ini keliru. Tapi, kalau ndak dibubarkan bagaimana? Apa uang negara itu mesti dihabiskan? Sampai kapan itu saya tidak tahu.
Tanya : Pemberontakan bisa menggunakan situasi itu. Dan yang penting itu (ancaman) Amerika. Di jaman itu we have to fight, kita mesti berjuang untuk to be or not to be. Bukan soal kemakmuran saja. Tapi, untuk ‘ada republik’ atau ‘tidak’. Ada Indonesia atau tidak. Jadi persoalan di jaman itu jelas, ya?
OTT: Ya. Akhirnya golongan Islam juga setuju untuk kembali ke UUD ’45. Bagi saya, Oei Tjoe Tat dan orang-orang BAPERKI, mengakui UUD ’45 lebih primitif dari UUDS tahun ’50. Jadi kalau kita kembali ke UUD ’45, kita mundur. Tapi dalam hati kecil, biarlah kita muncur yang penting (Indonesia) eksis. Soal hak asasi dan sebagainya, lain kali deh. Kalau Pancasila sudah dikukuhkan, (yang lainnya) gampang. Pilihan yang memang sulit. … Pecah BAPERKI karena itu. Yap Thiam Hien memang jujur. Tapi, saya bilang, “you duduk di kursi sini (konstituante-red.) tidak sebagai juriist, sebagai orang politik.” Itu bedanya dengan saya. Makanya saya setuju dengan Adnan Buyung Nasution. Ia memahami bahwa keadaan itu memaksa Soekarno dan teman-teman lain membubarkan konstituante. Tapi menurut dia, tetap hal itu disesalkan, karena ini set back bagi demokrasi.
Tanya : Mengenai MANIPOL-USDEK, bukankah ini merupakan doktrin yang sepertinya terlalu dipaksakan ke benak rakyat. Mengapa hal ini mesti dilakukan Soekarno?
OTT: Saya tidak akan langsung menjawabnya. Kalau sekarang diadakan penataran Pancasila berkali-kali dan orang komentarnya akan muncul, itu pasti. Jaman dulu, Roeslan Abdulgani itu juru bicara MANIPOL-USDEK. Dulu, ada sementara orang yang mengejek itu, “ketimbang indoktrinasi, mbok disediakan saja ndok sama terasi.” Soekarno ndak marah, dia ketawa. Roeslan juga ketawa. Mereka semua masih ‘ngerti humor. Nah, di mana ada humor di situ ada soal kemanusiaannya. Ada setitik demokrasi. Sekarang kamu coba bilang, “wah penataran itu hanya buang-buang uang saja.” Bisa dibilang mau jadi komunis nanti. Dulu, suasananya agak rileks. Kalau kita menteri-menteri tiap Kamis datang di gedung BI Pancuran, apa ada orang pake dasi? Tidak. Pake sandal jepit malah. (Beda dengan sekarang yang menurut Pak Oei “serba serem, serba angkuh.” Dulu kalau Soekarno datang sebelum sidang dimulai, menteri-menteri ditaboki, “hey ke mana saja kowe?” Suasananya lain. Dalam konstituante pun, bila sedang memasuki sidang, maka akan muncul perdebatan yang hebat. “Sampai melotot-melotot matanya.” Tapi, pada saat sidang bubar, masing-masing “orang PKI rangkul-rangkulan dengan orang MASYUMI. Orang NU dengan PNI, orang PARTINDO dengan orang NU”. “Jadi di luar sidang, semua saudara,” Pak Oei menyimpulkan.)
Tanya : Mengenai konfrontasi dengan Malaysia. Dalam memoar Pak Oei, peran Bapak cukup besar dalam menjalankan silent mission ke kelompok-kelompok di Malaysia yang menentang Tengku Abdul Rahman. Bisa diceritakan lebih banyak lagi seputar konfrontasi ini?
OTT: Kalau obyektif, kita diganggu oleh Inggris lebih dahulu dari pada kita konfrontasi dengan Malaysia. Itu betul. Bahwa Inggris sebagai pion Amerika menggunakan taktik untuk mengganggu Indonesia. Ada seorang Jenderal yang – entah masih hidup atau sudah nggak bisa bicara -, Jenderal Darto (?) dan Pak Hario. Di jaman militer mereka tahu, bahwa penduduk di Kalimantan Utara tidak mengenal Merah Putih. Mereka mengenal lagunya God Save The King. Tapi kita tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk sampai ke sana. Bagian-bagian itu secara de facto dikuasai oleh Inggris. Jadi, tanpa konfrontasi kita ini sudah diganggu oleh Inggris. Tentang pembentukan Malaysia dan diberikannya tempat pada Malaysia dalam Dewan Keamanan PBB, bagi Soekarno ini tidak bisa. Tengku Abdul Rahman itu juga memang suka menyinggung martabat Soekarno. Sedangkan Soekarno orangnya tidak bisa diremehkan. (Di bukunya menurut Pak Oei hal ini belum dia tuliskan, “memang ada hal yang tidak bisa dikemukakan dulu, ada banyak pertimbangan.”) …(Kembali ke soal kebijakan konfrontasi) waktu saya mau diangkat jadi menteri, saya mendekati beberapa menteri. Leimena yang paling banyak. Beliau dikenal sebagai seorang Kristen yang jujur dan setia. Saya anggap beliau sebagai kakak yang lebih tua.
Sebagai manusia yang baik dalam hal moral – bukan politis. Saya tanya sama dia, “Om Yo, kalau saya jadi menteri itu, tugasnya apa dan bagaimana saya mesti berlaku?” Saya ini kan menteri negara tidak punya departemen. Bos saya langsung Soekarno. Om Yo bilang, “Rasio saya sangsi apakah rasional kita konfrontasi dengan Malaysia. Sebab Malaysia itu berarti England. Dan england, always rules the better, always rules the world.
Padahal RI ini keadaannya kacau balau. Karena saya mempercayakan diri pada political sense Soekarno yang sangat tajam, insting saya mengatakan, tapi otak saya tidak bisa menerima. Tapi kalau kamu ada sesuatu yang secara prinsip tidak setuju, lebih baik tidak ikut dan mengundurkan diri. Dari pada seperti banyak menteri yang diam-diam tapi ‘nyabot dari dalam.” Om Yo sendiri sangsi. Saya sendiri tadinya kurang jelas. Tapi, I did my best. Saya lihat bila kita melakukan sesuatu di atas Malaysia, mereka telah mengetahui lebih dahulu. Sehingga penerjun-penerjun yang kita drop, itu ditangkapi. Jadi, jelas di dalam kompi ada pengkhianatan.
(Mengenai konfrontasi ini, Pak Oei mengakui bahwa, terlepas dari berbagai argumen yang dikemukakan Soekarno tentang pentingnya konfrontasi dengan Malaysia, “kita memang tidak cukup siap.”)
Waktu saya sering ke luar negeri dalam rangka konfrontasi, saya persiapkan itu. Dan, saya punya bukti-bukti yang saya laporkan kepada ketika bahwa intel-intel yang ada sekarang (di jaman Orba-red.) sebetulnya harus menghormatinya. “Anggaplah sebagai saudara tua.” Ia tahu tugas intelejen itu apa, termasuk untuk mencari-cari kesalahan orang. Dalam pengalamannya, peran pemuda Indonesia yang belajar di luar negeri, seringkali lebih efektif sebagai ‘intelejen’ baginya, ketika ia berkunjung ke luar negeri. Ia rasakan itu, terutama ketika era konfrontasi sedang berlangsung.)
Tanya : Silent Mission selain itu, apa?
OTT: Saya ditugasi untuk, antara lain, mencegah buruh-buruh Jepang mengangkut senjata-senjata ke Malaysia. Saya harus meyakinkan mereka. Akhirnya, mereka menolak mengangkut senjata dari Jepang ke Malaysia. Tapi, saya diam-diam waktu itu. Supaya pemerintah Jepang tidak mengetahui. Makanya sewaktu terjadi G30S dan nama saya dicoret-coret di tembok, “Oei Tjoe Tat menjual Indonesia kepada Malaysia.” Marah saya. Kemudian saya telpon Jenderal Soegiharto, intel dari Jaksa Agung dan AD. Saya bilang padanya, “bagaimana nih, menjelaskannya?” Dia Jawab, “ndak bisa dong. Pak Oei tidak boleh menjelaskan karena itu resiko dari tugas dan jabatan.” Saya bilang, “clear-kan dong. Supaya rakyat tahu. Kasih keterangan pada pers.” Tetapi tetap ndak bisa.
[Meskipun bakal menghadapi resiko seperti di atas, Pak Oei tetap tidak ‘buka mulut’ terhadap tugas yang dibebankan oleh Soekarno padanya. Soekarno memang tidak salah memilih Pak Oei dalam menjalankan silent diplomatic mission ini, sebab seperti dikemukakan oleh Ong Hok Ham, Soekarno tahu bahwa loyalitas Oei Tjoe Tat pada partai akan berakhir bila negara telah memintanya. “Soekarno memang pandai,” ungkap Pak Oei. Di jaman itu, memang sulit mencari orang partai yang loyal kepada negara. Biasanya orang lebih ingin memajukan kepentingan partainya masing-masing. Jadi, tindakan Pak Oei yang juga tidak memberitahu PARTINDO dan BAPERKI akan tugas rahasianya, memang sesuatu yang langka. Pak Oei sendiri menyebut dirinya ‘apolitis’ karena sikapnya itu.”Tapi bukan berarti lugu politik ‘kan?” begitu pancing kami.
Ada sebuah pengalaman lagi yang menunjukkan betapa Pak Oei amat memahami tindakan serta situasi yang menyertai setiap keputusan politik Soekarno. Dalam resepsi di kedutaan besar Mesir, Aidit pernah mendekati Pak Oei. Ia bertanya, “Nasakom (kabinetnya) itu kapan? ‘Kan presidennya Pak Oei itu sudah berkali-kali berkaok-kaok. Tapi kok cuma bernyanyi-nyanyi meninabobokan rakyat Indonesia.”
Ini membuat marah Pak Oei. “Apa itu bukan juga presidennya Aidit?” Ia katakan, Aidit cuma bisa mengkritik dari luar, meminta PKI duduk dalam kabinet. “Tapi Soekarno yang duduk dikursi adalah pelaku. Dia harus memperhitungkan betul-betul. Kalau PKI dimasukkan, tentara berontak. Kalau tentara berontak, menang mana? ‘Kan lain..”. Pelaku itu memang lain posisinya. Karena situasinya beda dengan pengamat yang mengambil jarak dari situasi. Seorang pelaku, “harus memperhitungkan betul-betul segala sesuatunya secara teliti. Lebih kompleks.” Baginya Aidit sebagai seorang anggota parlemen, saat itu adalah semata-mata pengamat. Ditambahkannya, “Pengamat mungkin obyektif, tapi kami yang menghayati situasi, mohon diberi pengertian…”]