RRC DAN G30S-PKI
Tanya : Sekarang soal G30S/PKI. Adakah RRC mempunyai hubungan dengan peristiwa ini?
OTT: Banyak orang selalu menyatakan bahwa G30S didalangi atau direstui oleh RRC. Konfrontasi pun dikatakan demikian. Saya tidak mengerti seluk beluk yang persis. Tapi dalam konfrontasi, pernah. Pak Karno bilang pada saya (agar RRC diminta bantuannya dalam konfrontasi). Pada suatu resepsi di kedutaan besar RRC, saya mendekati salah satu menteri yang pada waktu itu datang. Saya bilang, “RRC sama kita seperti kawan seperjuangan. Tapi dalam konfrontasi ini, nampaknya RRC kok seperti hanya melihat saja. Apakah tidak bisa memberi tanda simpati. Paling tidak memberi senjata.” Dia jawab begini – yang menurut saya merupakan petunjuk RRC tidak mendukung kebijakan konfrontasi -, “jelas kita tetap kawan seperjuangan. Kalau Indonesia perlu senjata, kita kasih. Tapi Indonesia harus mengambil sendiri senjata itu. Dan kita cuma bisa memberi senjata ringan. Kenapa? Kita tidak setuju cara konfrontasi Indonesia yang dititikberatkan di Malaya, di mana infrastrukturnya sudah sempurna. Dan tidak mungkin Indonesia bisa menguasainya. Kalau Indonesia sungguh-sungguh mau konfrontasi, harus gerilya di hutan-hutan Kalimantan. Dan untuk perang di hutan ini, kami bersedia memberikan senjata ringan dan silakan ambil sendiri.” Jadi nadanya, nada sinis. Bagi saya ini bukti bahwa RRC tidak setuju.
…Sekarang mengenai G30S. Logikanya, RRC melihat Soekarno sebagai kawan seperjuangan. Meskipun RRC kuat dan sebagainya, tapi adanya Soekarno itu melindungi sebelah Selatan RRC. Kalau tidak ada Soekarno, itu Amerika yang menguasai. Jadi melihat Indonesia sebagai partner, paling sedikit. Buat apa RRC ikut mendongkel Soekarno. Dia butuh Soekarno. Ini kita hitung dengan logika saja. Motifnya bukan karena dia cinta sama Soekarno atau Indonesia. Tapi untuk kepentingan negaranya sendiri, mereka tidak mau menghilangkan kekuasaan Soekarno. Kedua. Saya dengar dari Ali Ihram (?), intel. Dia diberitahu waktu Chen Yi – Menteri Luar Negeri RRC – datang di sini, dia menegur Aidit, “kalian mesti sadar, PKI ada karena toleransi Soekarno. Karena Soekarno membutuhkan kalian untuk mengimbangi golongan-golongan kanan. Maka saya minta, PKI tidak boleh berbuat sesuatu tanpa memberitahu Soekarno. Kamu sendiri saja, tidak bisa menyelesaikan.” Jadi, garis besarnya, ia tidak setuju kalau PKI mengganjal Soekarno. Ada beberapa petunjuk bahwa RRC tidak terlibat dalam G30S. Bahwa mereka seolah-olah sudah tahu lebih dahulu beberapa jam sebelum aksi meletus, itu saya bisa mengerti. Sebab mereka juga punya intel.
[Bahwa Soekarno merasa dibutuhkan oleh RRC, disadari betul olehnya. Jika seorang menteri koordinator seperti Pak Marno harus dengan ulet dan ngotot mencari pinjaman pada menteri keuangan RRC, maka Soekarno hanya dengan menepuk bahu Chou En Lai, dan berkata, “hey, masa’ ndak ‘ngerti kesulitan Indonesia. Kami ndak usah meminjam lah, tapi tolong hutang kita dihapus semua.” Dan, Chou En lai memang tidak bisa berkutik lagi. Sampai-sampai Pak Marno, merasa bahwa mestinya Soekarno tidak perlu lagi menteri keuangan.]
Tanya : Apa yang anda ketahui mengenai skenario G30S ini? Siapa sebetulnya yang harus bertanggung jawab?
OTT: Perlu kalian mengetahui lebih dahulu, bahwa saya mengetahui sedikit tentang banyak sekali masalah. Tapi, saya tidak mengetahui cukup tentang satu masalah pun. Karena tugas saya itu begitu. Saya tidak ada waktu cukup, tidak ada staf cukup untuk mengetahui satu masalah dengan cukup. Tugas saya hanya membantu empat orang (Soekarno, Soebandrio, Leimena dan Chaerul Saleh sebagai Perdana Menteri dan wakil-wakil Perdana Menteri-red.). Saya ini diharuskan mengikuti segala sidang. ‘Kan nggak mungkin. Bahkan kalau Chaerul Saleh harus meninjau daerah, saya harus ikut. Nah, kalau pertanyaannya bagaimana mengenai G30S, …istri saya yang (mungkin) lebih tahu. Tanggal 27 sampai 28 September, saya tugas di Hongkong.
Duapuluhdelapan September malam saya baru tiba. Dan menurut aturan, kalau saya dari luar negeri, esok harinya harus lapor pada presiden. Jam tujuh malam itu saya menelpon istana dan minta audiensi pada tanggal 29. Dijawab bahwa tanggal 29 itu sudah full, Pak Oei supaya datang pada tanggal 30 saja. Istri saya pada 28 September, rapat di gedung Sin Ming Hui – Sin Ming Hui anggotanya pribumi juga ada. Nah, di situ, ada seorang Gerwani, seorang dokter. Dia tanya pada istri saya, “malam ini Pak Oei ‘nginap di mana?” Istri saya ‘kan ndak ‘ngerti. “Ya, ‘nginap di jalan Blitar.” Pertanyaan itu terus diulang-ulang. Baru setelah berbulan-bulan setelah peristiwa (G30S) itu istri saya berpikir, kalau begitu mungkin Gerwani sudah mengetahui sebelumnya.
…Saya pernah ditanyai oleh Pak Harto tentang kapan Bung Karno mengomandokan rakyat – oleh karena Pak Karno selalu bilang supaya rakyat tetap tenang sambil dia nanti akan memberi keputusan. Saya bilang pada Pak Harto, tanpa Pak Harto tanyai, saya sudah berkali-kali tanya sama Bung Karno. Kapan itu diberikan kepada rakyat. Sebab rakyat itu gelisah. Mereka tidak tahu apa dan siapa yang salah, apa yang mereka harus perbuat dan sebagainya. Pak Harto mengatakan, “selama belum ada komando dari presiden, anak buah saya masih terus dibantai oleh PKI.”
Kemudian Pak Harto bertanya lagi, “kenapa Pak Karno tidak membubarkan PKI ini? PKI ini sudah menusuk kita dua kali. Satu kali ketika kita melawan Belanda, peristiwa Madiun. Yang kedua kalinya ini. Apa belum cukup korban?” Saya katakan begini, “saya tidak tahu kenapa kok Pak Karno masih menunda-nunda.” Lalu dia bilang, “kalau pak Oei sendiri setuju nggak, PKI dibubarkan?” Saya bilang, “karena saya ini pembantu presiden tidak bisa menyuarakan sendiri. Pak Karno dan Jenderal Soeharto masing-masing punya staf. Juga intel. Staf saya hanya 8, bagaimana saya mau mengetahui PKI salah atau tidak. Kalau Pak Harto dan Pak Karno bilang PKI salah, saya bilang salah. Kalau Pak Harto dan Pak Karno bilang tidak salah, saya bilang tidak salah.” …Kembali ke pertanyaan tadi. Sementara, sampai detik ini, kalau tidak ada lain bukti lagi, saya masih berpegang pada pendirian Soekarno. Soekarno yang saya kenal sebagai orang yang emosional, itu dalam sidang-sidang kabinet setelah G30S, selalu marah dan mengatakan “gara-gara semua ini. kita mundur.” Tapi, selalu dia menyalahkan tiga unsur. Unsur-unsur luar negeri, terutama CIA Amerika, kemudian unsur-unsur dalam negeri terutama oknum-oknum angkatan darat yang tidak betul, kemudian – dia bilang – ada orang-orang PKI yang keblinger. Sampai detik ini pun saya masih berpegang pada itu kecuali ada bukti-bukti baru. Dan Soekarno tidak hanya begitu saja, dia bisa menunjukkan dalam sidang kabinet, kuitansi dari beberapa ratus ribu… yang diberi oleh Amerika kepada ‘seseorang’ dari kita. Dan dia menggunakan kata-kata latin yang artinya. “uang itu tidak berbau busuk.” Artinya, uang itu enak. Orang Indonesia yang dikasih sekian untuk menjual negaranya, mau saja. (Lagi) …dan ada seorang yang bilang sama Ny. Soebandrio, “jangan mengira Soekarno itu akan selalu menguasai Indonesia. Mungkin dalam beberapa minggu akan…” Nah, Soekarno dalam kabinet bilang, “ini orang kok bisa predict, bisa meramalkan begitu kenapa?” …Sudah baca The Troyan Horse? …Bahwa Amerika ini, bukan hanya satu dua tahun, sudah belasan tahun menyiapkan segala sesuatunya. Di bidang budaya, perguruan tinggi, segala-galanya.
Tanya : Tadi dikatakan Soekarno memberi peluang kepada PKI untuk tetap eksis. Apakah ini karena PKI dan Soekarno mempunyai paham yang sama?
OTT: Dalam hal anti kapitalis, ya sama. Tapi tidak semua sama. Bung Karno orang yang religius, PKI tidak. Bung Karno anti kekerasan. PKI jelas tidak. Saya bukan memusuhi PKI, Marxisme atau Leninisme. Saya kagum. Tapi PKI dalam beberapa praktek, saya ndak bisa setuju. Di mana dia kuasa sedikit, dia akan memaksa. Contoh… Saya dekat lho dengan Nyoto – dengan Aidit kurang. Waktu di Bali diadakan Pemilihan Umum DPRD – pada waktu itu yang berkuasa di Bali: PKI, PNI, NU -, mereka mengatakan NASAKOM haruslah Nas-nya PNI, A-nya hanya NU, kemudian Kom-nya harus PKI. Kemudian ada PARTINDO partai saya. Tapi, tidak boleh masuk. Wah ini bertentangan dengan penafsiran Bung Karno. Waktu itu saya kasih tahu Nyoto. “Sekarang saya
minta kepada Pak Nyoto untuk kasih pengertian pada PKI di sana.” Dia tanya apa betul terjadi begitu. Saya bilang betul. Saya kasih tempo. Bila tidak ada juga jawaban memuaskan, saya akan kasih tahu Pak Karno. Karena ia yang paling pandai menafsirkan apa yang dimaksud NASAKOM. Setelah satu minggu, saya ke Bung Karno. Saya ceritakan pada Bung Karno. Ia bilang, “Nyoto itu orang intelektuil, apa dia ndak pura-pura?” Saya bilang belum tentu.
Dua hari kemudian Nyoto menelpon, “Pak Oei, ndak usah dong ngomong-ngomong sama Pak Karno. Saya sudah tegor temen-temen di Bali.” Ini contoh bahwa PKI kadang-kadang… wajar. Tapi, jangan begitu. Juga di Bali, PNI paling berkuasa. Pamong praja yang dikuasai oleh mereka. Dan seperti saya katakan, kalau saya apolitis, PNI itu sangat politis. Semua kebutuhan pokok pamong praja dikuasai, juga fasilitasnya. Kalau perlu pedagangnya. Tidak beda dengan Golkar sekarang. PNI juga seperti itu. Nah, PKI yang nomor dua di sana. Dia (PKI) mengejek, meremehkan, menyinggung perasaan orang-orang Bali yang bukan Islam. Seperti mengejek sesajennya orang Bali. Apakah mereka mau menyembah patung, (seharusnya) itu bukan urusan kita dong. Itu pengalaman saya dengan PKI. Dengan (tidak mengurangi) catatan bahwa PKI sangat berjasa bagai kemerdekaan Indonesia. Dan orang-orangnya brilyan. Serius. Dalam keseriusan pada urusan partai, kita kalah. Cuma saya nggak senangnya, mereka suka memaksa. Bagi mereka hanya ada ‘lawan’ atau ‘kawan’.
Tanya : Ada yang menarik disini (memoar-red.), yaitu adanya peran seorang CIA bernama Pater Beek di sekitar peristiwa G30S. Sebetulnya apa peran dia saat itu?
OTT : Pater Beek itu , saya lihat pertama kali setelah saya dibebaskan. Saya di dalam tahanan mendengar dari orang-orang PNI, BAPERKI, PKI, dan sebagainya bahwa Pater Beek ini adalah seorang agen CIA. Dia membina pemuda-pemuda Katolik, terutama pemuda-pemuda keturunan Tionghoa-Katolik, untuk antara lain membakar gedung Kedubesan RRT, membakar gedung Universitas Res Publika dan menghancurkan semua gedung-gedung PKI atau rumah-rumah orang PKI. Ini dianggap ultra-kanan. Selama saya mendengarkan itu, saya di RTM. Bagaimanapun saya Katolik. Jadi, ada seorang pastor Katolik begitu, saya diam. Tapi pada waktu saya diperkenalkan dengan Pater Beek dan dia datang kesini (RTM-Red) kemudian, dia mengaku. Dia bilang begini pada saya, “kalau pak Oei perlu sesuatu dari (…?), saya bisa.” Ali Moertopo, semua jenderal.”…Saya dengar dia ini membantu Liem Bian Koen dan Liem Bian Khie. Sumarlin. Semua ini dibawah dia. Dia juga kuat di PMKRI. Tapi anehnya, waktu saya minta seorang pastur Belanda lain untuk mengumpulkan ikatan pastur ‘bule’, untuk makan malam, dia (pastur Belanda itu-red.) bilang, “wah nggak bisa Pak Oei. Bisa terjadi perang saudara nanti.”
Jadi di dalam dunia Katolik, dia (Pater Beek-red.) merupakan satu tokoh kontroversial. Waktu saya pertama kali ketemu dia, saya menyindir dia. “Saya ini Oei Tjoe Tat yang paling jahat (selama Orde Lama-red.).” Rumahnya, gede dari kayu. Yang melayani semua laki-laki, yang ternyata student. …(Singkat cerita, dalam sebuah acara di Solo, Pak Oei bertemu dengan seorang mahasiswa Katolik yang mengaku pernah dibina oleh Pater Beek. “Semua dengan maksud untuk membina kader-kader yang dijadikan kelompok pelopor untuk barisannya Beek,” kata Pak Oei. Orang-orang yang bersedia dibina itu, “karena mereka masih muda-muda, mereka idealis dan ingin menjadi hero.” Dalam pembinaan itu, konon, para pemuda didoktrin untuk mempersiapkan dirinya bak seorang martir, masuk ke dunia politik dan ‘berjuang’ untuk kepentingan Katolik – terutama terhadap kalangan komunis. Mereka ini, “disiapkan secara mental dan fisik untuk menderita paling hebat.”). Dia kemudian,mati di Singapore. Orang bilang, dia gila. Saya bisa mengerti kalau dia gila. Pasti dari dulu dia memang agak tidak normal. Mungkin karena dia punya rasa bersalah (karena ikut membantu dalam kejatuhan pemerintah Soekarno-red.). (Sampai sebelum bertemu dengan seorang mahasiswa di Solo tadi, “saya itu masih membela lho. Tapi setelah saya dengar di Solo, kalau saya bikin kedua, saya akan rubah sedikit.”)
Tanya : Kembali ke soal Soekarno. Masih ada suara-suara yang kami dengar dari beberapa orang, tokoh yang merasa, pada jaman Orde Lama, mereka itu ditindas. Tapi, sebaliknya dari cerita orang-orang yang dekat dengan Soekarno – seperti Pak Oei sendiri – Soekarno bukan tipe yang demikian. Nah, sebetulnya, penindasan yang disebut-sebut pada jaman Orla itu produk dari mana?
OTT: Saya tidak akan jawab langsung. Begini. Saya selalu mengatakan, menulis buku ini, bukan uraian politik. Bukan buku sejarah. Tapi hanya rekaman belaka dari apa yang saya lihat dan saya dengar, dengan telinga saya dan mata saya. Dus, sangat subyektif. Apalagi dengan memori saya. Kalau saya menulis tentang Soekarno, saya menulis seperti dia ‘memperlihatkan’ kepada saya. Apa yang saya dengar dari dia, apa yang saya lihat. Saya tidak bisa menulis tentang Soekarno, apa yang tidak saya lihat. Seandainya dia jual negara ini, mungkin saja. Di luar pengetahuan saya.
Kalau dia misalnya mencuri, mungkin. Ini aku nggak tahu. Juga kalau saya menulis tentang Beek. Seperti saya juga menulis tentang Harto, saya juga melihat Harto dari (cara) ini. Saya menulis apa adanya menurut penglihatan dan pendengaran saya. Tapi kalau menurut orang-orang dan kejadian-kejadian itu ternyata lain, mungkin benar. …Tentang Soekarno. Saya melihat Soekarno dalam berbagai dimensi. Sebagai pemimpin, sebagai manusia. Totaliter? Apa dia totaliter? Waktu dia mendesak saya sebagai menteri, the first moment saya berbicara empat mata dengan dia, saat itu mungkin dia bisa otoriter. Tapi, selama saya dekat dengan beliau, mungkin saya satu-satunya orang Indonesia yang bisa omong tentang segala hal, yang enak, yang tidak enak, yang mungkin menyinggung. Dia tak pernah marah.
Satu hal. Dengan Soekarno, kita bisa berdebat tentang segala hal, asal tidak mau diketahui bahwa dia kalah dari kita. Kalau empat mata dia mau. Tapi, kalau ada lain orang, dia mintanya mau menang. Dia ndak mau dipermalukan di depan orang lain. Kalau sendiri dia sangat demokratis. Kalau kita berani, dia akan menghormat kita. Dia seperti psikolog. Maunya menguji jiwa orang. Dan ternyata, sewaktu dia keras, otoriter terhadap saya, saya pikir, oh dia ini mau menguji. Supaya dari sejak semula, sudah ditanamkan dalam benak saya, “I’m your boss.” Tapi, kalau dia totaliter dalam soal lain, saya tidak tahu. Nyamuk, dia ndak mau dimatikan. Dia tidak mau melihat life itu dimatikan. Seperti orang Budha. Dia ndak rela darah Indonesia mengalir. Lebih baik turun sebagai presiden. Kalau kita untuk mendesak dia, dia hanya menggigiti kukunya. Dan saya tidak tega mendesak dia lebih jauh. Totaliter?
…Prof. Lev menulis pada saya, “Pak Oei selalu berbicara tapol/napol, seolah-olah di jamannya Soekarno tidak ada tapol.” Saya jawab, “ada.” Tapol Soekarno dengan tapol Orde Baru, lain. Saya belum pernah ditahan Orla. Tapi, Almarhum Mayor Soemardjo, komandan Kam di Nirbaya, komandan Kam Sarangan, dia cerita pada saya, “tapol Soekarno itu – seperti Mohtar Lubis – boleh keluar dasn dipilah-pilah, lux. Hawanya enak, lalu makanannya semua dari restoran. Rokoknya Dunhill, Lucky Strike.” Soemardjo, setiap sepuluh hari harus lapor ke Jakarta. Tiap kali dia ke istana, dia digertak oleh Soekarno, “kamu apakan orang-orang itu? Makanannya bagaimana? Awas, ini orang-orang bukan penjahat. Orang-orang ini, kalau terjadi perubahan-perubahan politik, ini pemimpin-pemimpinmu. Yang kuasa itu mereka. Mereka kami tahan karena menyabot politik kita. Mereka cuma berbeda paham politik. Jadi kamu mesti hormat pada mereka.” Kalau kita di Nirbaya, radio, koran semua nggak boleh masuk. Bahkan, permulaannya hanya Al’quran dan Injil yang boleh masuk. Buku-buku teologi muslim tidak. Teologi Kristen tidak. Di Sarangan, Anak Agung Gede Agung jadi sarjana, karena buku-buku pengetahuan dimasukkan berpeti-peti. Mereka boleh naik kuda dengan radius 10 km, asal tidak mempengaruhi penduduk di sana. Saya tulis pada Lev, “lain, dong.”
[Cukup. Cukup sampai di sini. Masih banyak sebetulnya yang perlu kami gali dari orang ini. Memang seperti yang dikatakannya sendiri, pengalamannya adalah sangat subyektif untuk kami jadikan bahan rekonstruksi sejarah. T api, kami memang tidak berpretensi untuk merekonstruksi sejarah. Sejarah punya ceritanya sendiri, punya jalannya sendiri yang jauh lebih kompleks dari sekedar data-data statistik dan momen-momen tertentu yang setiap saat diperingati. Tak peduli ada pihak-pihak yang ingin merekayasa dan menafsirkannya secara sepihak. Kami justru ingin melihat, semangat jaman dari masing-masing subyek yang ‘hadir’ dan ikut andil dalam pembentukan sejarah itu. Kami butuh ‘rasa’ – tak ada sejarah yang bergerak tanpa rasa – untuk mewarnai kusamnya sejarah kita kini yang serba materialistis, instant dan teknokratis. Yang tidak mungkin kami peroleh dari ‘obyektifitas’ tapi justru dari dialog tanpa henti dengan berbagai macam ‘subyektifitas’. Mungkin saja, dari berbagai dialog ini akan muncul tersamar wajah obyektifitas. Mungkin.]***
Tulisan ini merupakan bagian dari arsip Mailing-List Budaya Tionghua No 19990
Budaya-Tionghoa.Net |Mailing List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa