PELAKSANAAN POLITIK REFORMASI DAN PERLAWANAN BURUH
Ketika kaum reformis melakukan reform dalam upah, mereka berharap buruh akan berkompetisi untuk upah borongan dan bonus. Tetapi sebaliknyalah yang terjadi. Dalam sebagian besar kasus, buruh malah melakukan berbagai cara untuk membatasi produksinya (cukup mendekati angka targetnya)) dan mencerai berai produksi, bukannya berkompetisi untuk dapat bonus. Ketika harga barang barang konsumsi mulai naik dengan cepat pada tahun 1984 dan 1985, buruh menganggap bonus sebagai subsidi untuk kompensasi turunnya daya beli mereka. Ketika bisnis swasta dan joint-venture dengan bisnis asing mulai berkembang, orang orang yang bekerja di
perusahaan asing atau usaha patungan/joint venture mulai mendapat penghasilan beberapa kali lipat lebih besar dari gajih rata rata seorang buruh di perusahaan negara. Misalnya, seorang supir taxi (bekerja sendiri atau bekerja untuk satu hotel), bisa mendapat gajih 3 atau 4 kali lebih besar dari pada gajih seorang supir di perusahaan negara.
Lagi pula, pada pertengahan tahun 80-an, korupsi dan penggelapan uang negara dikalangan pejabat tinggi Pemerintah dan anggota Partai merajalela. Kekayaan dan hak istimewa yang diperoleh oleh orang orang yang berkuasa dapat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Kuomingtang sebelum Pembebasan. Dulu, gerakan massa membuat korupsi dikalangan pejabat tinggi sebagai sasarannya dan mengutuk gaya hidup mewah yang dibiayai dengan mencuri uang Negara. Tanpa gerakan semacam itu, massa merasa tak berdaya untuk berbuat sesuatu dan tenggelam dalam frustasi dan ketidak puasan.
Buruh menyalurkan ketidak puasan dan frustasi mereka dengan sengaja mengurangi kecepatan produksi yang jumlahnya belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Republik Rakyat Tiongkok. Sebuah artikel dalam Harian Rakyat bulan Januari, 1988 yang berjudul ¡¨Semangat buruh sudah habis¡¨, melaporkan hasil penelitian yang dilakukan oleh serikat buruh Tiongkok. Hanya 12 % dari 210.000 buruh di 400 perusahaan di 17 provinsi yang ditinjau, mengatakan bahwa mereka telah berusaha keras untuk bekerja dengan baik (13). Mereka meletakan sebab bagi rendahnya semangat itu pada kesenjangan dalam masyarakt yang terus meningkat. Di Harbin,
sebuah kota industri di Tiongkok timur laut, dilaporkan bahwa buruh menambahkan ¡¨kerja lembur¡¨ kedalam ¡¨8 jam kerja sehari¡¨ mereka untuk menyelesaikan satu pekerjaan tertentu yang sebetulnya bisa mereka kerjakan hanya dalam waktu 2 jam , kalau mereka berusaha sungguh sungguh dalam mengerjakannya. Menurut walikota Harbin, buruh dikotanya hanya bekerja rata rata 3 jam sehari dan menggunakan 5 jam untuk mengerjakan hal lain. Pengurangan kecepatan produksi merupakan sesuatu yang biasa dihampir semua perusahaan negara (14).
Setelah Undang Undang Kerja Kontrak berlaku pada tahun 1986, buruh baru di perusahaan negara harus menandatangani satu kontrak untuk satu tahun. Pada akhir kontrak satu tahun itu, manajemen berhak untuk tidak memperpanjang kontrak itu lagi. Tetapi ketika kaum reformis menjalankan undang undang itu, mereka menghadapi perlawanan keras. Laporan terakhir menunjukan bahwa pada bulan April 1992, 14.6 % dari pegawai negeri bekerja berdasarkan kepada kontrak (15). Tetapi dalam kenyataannya, kontrak kerja itu otomatis sudah diperpanjang ketika masa kontrak itu habis. Pada tahun 1988, satu laporan berita di Harian Rakyat mengumumkan bahwa 28 perusahaan di Peking telah menterapkan sistim kerja kontrak, termasuk pegawai lama dan juga pegawai baru (16). Selanjutnya laporan menyatakan bahwa tujuan yang mau dicapai adalah penterapan sistim kerja kontrak
untuk semua pekerja disemua perusahaan di Peking dalam waktu 5 tahun. Laporan melanjutkan dengan pernyataan bahwa sistim kerja kontrak akan memaksa buruh untuk menghadapi resiko pemecatan; dengan demikian mereka akan berusaha lebih keras.
Tekanan untuk menterapkan sistim kerja kontrak terus bertambah dan mesin propaganda menjelaskan serangan serangan baru terhadap hak hak kaum buruh dengan cara yang masuk akal . Pada tahun 1992, jumlah seluruh staf dan buruh yang kena ¡¨sistim kerja kontrak bagi semua staf¡¨ hanya 4.4 juta, hanya 2% dari jumlah seluruh staf dan buruh. (17). Dalam satu pidato di Shanghai pada bulan Januari 1992, wakil Perdana Menteri Zhou Jia-hua harus mengakui bahwa ¡¨sistim kerja kontrak masih menghadapi banyak tantangan¡¨. ¡¨Mendorong reformasi ini ¡¨ , kata dia, ¡¨ adalah sesuai dengan pandangan orthodox bahwa klas buruh adalah tuan dirumahnya sendiri¡¨.
¡¨Proyek Perbaikan dalam Pengorganisasi kerja¡¨ yang diajukan dalam beberapa pabrik melibatkan kira kira 10 juta buruh, 6% dari jumlah total buruh. WOIP adalah satu langkah lagi untuk membongkar sistim pemekerjaan tetap. Reorganisasi kerja di pabrik pabrik bertujuan untuk menyingkirkan buruh yang ¡¨tidak cakap¡¨. Sampai tahun lalu, jumlah total dari buruh yang diturunkan tingkatnya sebagai akibat dari berbagai bentuk reformasi perburuhan, termasuk WOIP, kurang dari 1 juta, kira kira 1/6 dari 1% jumlah total tenaga kerja.
Selama periode pengurangan kecepatan produksi pada akhir tahun 80-an, bahkan ketika setengah dari production line (= deretan buruh dan mesin yang dilalui oleh barang yang diproduksi dalam pabrik) lumpuh, jumlah buruh yang dipecat sedikit. Pada awal tahun 1986, kaum reformis mengeluarkan politik asuransi pengangguran dalam rangka mempersiapkan pemecatan besar besaran yang akan terjadi.Setiap tahun, perusahaan negara menyisihkan 1% dari upah pokok total untuk dana pengangguran yang akan dibayar kepada buruh yang dipecat.
Tunjangan pengangguran hanya kira kira 25% dari upah buruh rata rata yang dibawa pulang kerumah, tidak cukup untuk keperluan hidup buruh selama masa penganggurannya (20) Sebagai kompromi, kadang kadang buruh tidak datang kerja selama periode pabrik lumpuh dan mereka tetap mendapat gajih pokok tanpa bonus. Tetapi gajih pokok hanyalah 60% dari gajih yang dibawa pulang kerumah (40% terdiri dari bonus dan macam macam subsidi) dan seorang buruh tidak bisa hidup dengan gajih pokok untuk satu periode waktu yang panjang (21). Kaum reformis sangat sedar akan situasi yang explosif itu, maka itu seringkali buruh yang sudah dipecat dipanggil kembali dengan bayaran penuh supaya mereka tidak berkeliaran dijalan jalan. Ada juga buruh yang menemukan cara lain untuk mendapat uang tambahan gajih tapi terus tinggal dirumah rumah sewaan murah yang disubsidi Pemerintah.
Selama beberapa tahun belakangan ini, kaum reformis mencoba melakukan reformasi dalam perumahan, mengubah rumah menjadi barang dagangan. Ongkos pemeliharaan dan sewa apartemen apartemen yang didiami buruh dan kader telah dinaikan beberapa kali; sewa naik tinggi sekali tahun ini. Setiap kali sewa naik, gajih harus dinaikan untuk kompensasi. Sebagai bagian dari reformasi dalam perumahan, buruh didorong untuk membeli apartemen yang mereka tinggali. Kaum reformis berpikir pembelian itu akan menyerap uang simpanan keluarga , dengan begitu akan membatasi daya beli konsumen dan mencegah inflasi. Tetapi karena buruh sudah menggunakan sebagian besar dari simpanannya untuk barang barang yang tahan lama, sangat sedikit sekali yang bisa membeli apartemennya.