http://web.budaya-tionghoa.net/gallery-photoblog/2004-dokumentasi-foto-kiu-li-tong-jakarta
Budaya-Tionghoa.Net | Pada masa Dinasti Tang (618-907) China berhasil mengirim ekspedisi militernya ke daerah China Selatan. Sejak itu orang China mulai menyebar ke Asia Tenggara dan banyak yang terus menetap. Diantara mereka banyak sekali orang-orang Hoakio/Hokkian yang berasal dari daerah-daerah yang terletak di sekitar Amoy di propinsi Fukien (Fujian) dan orang-orang Kwang Fu (Kanton) yang berasal dari Kanton dan Makao di propinsi Kwangtung (Guangdong).
|
Pada masa Dinasti Sung (907- 1127) mulai banyak pedagang-pedagang China yang datang ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Mereka berdagang dengan orang Indonesia dengan membawa barang dagangan berupa teh, barang porselin China yang indah, kain sutra yang halus serta obat-obatan. Sedangkan mereka membeli dan membawa pulang hasil bumi Indonesia.
Dalam sejarah China Kuno, dikatakan bahwa orang-orang China mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah pertama yang didatangi adalah Palembang yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian mereka datang ke Pulau
Jawa untuk mencari rempah-rempah. Banyak dari mereka yang kemudian menetap di daerah pelabuhan pantai utara Jawa seperti daerah Tuban, Surabaya, Gresik, Banten dan Jakarta.
Orang China datang ke Indonesia dengan membawa serta kebudayaannya, termasuk pula unsur agamanya. Dengan demikian, kebudayaan China menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.
Didalam masyarakat China dikenal adanya tiga agama yaitu Khong Hu Cu, Tao dan Buddha. Akan tetapi dalam prakteknya tidak pernah ada fanatisme terhadap salah satu dari tiga agama tersebut. Dengan kata lain dalam prakteknya ketiga agama tersebut dilakukan bersamaan. Gabungan ketiga agama tersebut dikenal dengan nama Tridharma. Campuran ketiga agama tersebut dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan latar belakang orang China di Asia Tenggara. Para leluhur mereka datang dari Cina Selatan dimana ketiga agama itu diterima sebagai satu kepercayaan.
Kepercayaan terhadap ajaran agamanya dieksistansikan pula dalam suatu upacara suci dimana upacara tersebut melibatkan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu tempat atau bangunan suci untuk melakukan upacara. Setiap masyarakat beragama didunia ini memiliki suatu tempat ibadah untuk melakukan upacara keagamaan. Demikian pula halnya dengan orang China. Mereka juga memiliki tempat ibadah yang dinamakan Kelenteng.
Seorang sarjana arsitektur yaitu Evelin Lip menyatakan bahwa masyarakat China yang ingin mendirikan sebuah bangunan suci biasanya akan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di China. Aturan-aturan tersebut adalah bahwa suatu bangunan suci biasanya didirikan diatas podium, dikelilingi oleh pagar keliling, mempunyai keletakan simetris, mempunyai atap dengan arsitektur China, sistim strukturnya terdiri dari tiang dan balok serta motif dekoratif untuk memperindah bangunan. Satu hal lagi yang tidak dapat dilupakan masyarakat China dalam pencarian lokasi adalah berpedoman pada Hong Sui (Feng Sui). Dengan berpedoman pada Feng Sui ini diharapkan akan memberikan keberuntungan pada penghuninya.
Selain itu juga Lip mengatakan bahwa Kelenteng-kelenteng di China Utara berukuran lebih besar dan hiasannya sangat sedikit dibandingkan dengan yang ada di China Selatan dimana kelentengnya mempunyai banyak hiasan. Bumbungan atapnya dihiasi dengan motif naga, burung phoenix, ikan, mutiara atau pagoda dan ujung bumbungannya melengkung ke atas. Ciri arsitektural seperti inilah yang dibawa ke Singapore dan Malaysia oleh para perantau dan Pedagang China.
BERBAGAI VERSI ASAL MULA ISTILAH “KELENTENG”
Banyak dari kita yang mengira kata Kelenteng adalah istilah luar. Tetapi sebenarnya kata Kelenteng hanya dapat ditemui di Indonesia. Kalau ditilik kebiasaan orang Indonesia yang sering memberi nama kepada suatu benda atau mahluk hidup berdasarkan bunyi-bunyian yang ditimbulkan – seperti Kodok Ngorek, Burung Pipit, Tokek – demikian pula halnya dengan Kelenteng. Ketika di Kelenteng diadakan upacara keagamaan, sering digunakan genta yang apabila dipukul akan berbunyi ‘klinting’ sedang genta besar berbunyi ‘klenteng’. Maka bunyi-bunyian seperti itu yang keluar dari tempat ibadat orang China dijadikan dasar acuan untuk merujuk tempat tersebut. (Moertiko hal.97)
Versi lain menurut ‘Kronik Tionghoa di Batavia’, disebutkan bahwa sekitar tahun 1650, Letnan Tionghoa, Guo Xun-guan mendirikan sebuah tempat ibadah untuk menghormati Guan yin di Glodok. Guan yin adalah Dewi welas asih Buddha yang lazim dikenal sebagai Kwan Im. Pada abad ke-17 waktu umat kristen Jepang dianiaya, patung Dewi Kwan Im menggantikan patung Bunda Maria untuk menyesatkan mata-mata polisi Jepang. Tempat ibadah di Glodok itu disebut Guan yin Ting atau tempat ibadah Dewi Guan yin (Kwan Im). Kata Tionghoa Yin-Ting ini disebut dalam kata Indonesia menjadi Klen-Teng, yang kini menjadi lazim bagi semua tempat ibadah Tionghoa di Indonesia. (Heuken hal.181). Pendapat ini lemah karena terlalu dipaksakan karena ‘kuan’ menjadi ‘ke’, ‘im’ menjadi ‘len’ dan ‘ting’ sama dengan ‘teng’. Selain itu, tidak semua kelenteng mempunyai altar .
Ada juga yang mengatakan bahwa istilah ‘kelenteng’ berasal dari minyak biji kapuk yang disebut ‘klenteng’ (dengan ‘e’ pepet). Argumen ini lemah karena tidak semua pelita di kelenteng menggunakan minyak biji kapok (bahkan sedikit yang menggunakan minyak biji kapok).
ASAL MUASAL KELENTENG DALAM TELAAH MAKNA DAN FUNGSI
Sejarah mencatat kata untuk ‘kelenteng’ dalam bentuk awalnya adalah huruf BIO (miao) 廟 yang muncul dalam Ngo King (Wu Jing) maupun Su Si (Si Shu) 四書 sebagai tempat ibadah kepada Tian (langit), Di (bumi), dan leluhur.
Menurut Su Hai (CiHai) 辭海, mengacu Su Guan (CiYuan) 辭源, menyimak Su Hue (CiHui) 辭彙, BIO terdiri dari dua radikal yaitu: 广 dan朝 . (广) menyatakan tempat terbuka (bandingkan dengan radikal wei 囗 yang berarti ‘di dalam’ atau radikal bian [bagian atas karakter jia (rumah) 家] yang berarti ‘menaungi’. 朝 melukiskan batasan dari waktu (untuk hari: pagi/fajar, untuk: hidup: awal) yang menyatakan mula, dini, ke arah… , menghadap, suatu kiblat. Sehingga, BIO berarti: tempat terbuka (umum) untuk tidak melupakan asal-usul atau cikal-bakal yang berhubungan dengan awal dan akhir.
Dengan melihat uraian tentang peribadatan bisa ditelusuri bagaimana 廟 ini kemudian menjadi Co Bio (ZuMiao) 祖廟, lalu Su (Ci) 祠. Dalam perkembangannya bio yang merupakan tempat sembahyang kepada Langit, Bumi, dan Leluhur, juga menjadi sarana ibadah agama Ji To Sek (RuDaoShi) (artinya: Agama Khonghucu, Taoisme, Buddhisme). Pengaruh agama Ru Dao Shi ini menjadi landasan umat SamKao (SanJiao) 三教 (Tridharma), yang melengkapi bio dengan Sin Bing (Shen Ming) 神明, Sian (Xian) 仙, dan Hud (Fo) 佛. Kemudian, seiring perjalan waktu, Bio mengalami derivatif makna dan fungsi. Walaupun demikian asal-muasal dan pengertian dasarnya perlu dijaga supaya kebenaran yang sebenarnya tidak terlupakan.
Lihat juga perkembangan , macam dan jenis kelenteng dalam : http://web.budaya-tionghoa.net/seni-dan-hobby/architectural-/87-kelenteng
RINTO JIANG , KING HIAN , XUAN TONG
MBT 1084.1802.2004
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua