Budaya-Tionghoa.Net | Di penghujung tahun 2011, saya mendapat tugas dari kantor untuk berangkat ke China untuk melakukan beberapa hal. Terutama adalah untuk survey dan inspeksi beberapa vendors tempat di mana kantor akan memesan barang. Dari beberapa sumber, mereka semua mengatakan, jika pertama kali berurusan dengan vendor dari China, lebih baik berangkat sendiri untuk survey dan inspeksi.
|
Setelah menerima mandat tsb, saya memeriksa segala kemungkinan alternatif penerbangan ke airport terdekat ke kota tujuan utama, yaitu Wenzhou. Ada tiga international airport utama dengan penerbangan dari Jakarta; Shanghai, Hangzhou dan Xiamen. Dengan perincian jarak:
Shanghai – Wenzhou: 473 km
Xiamen – Wenzhou: 570 km
Hangzhou – Wenzhou: 321 km
Gotcha!! Hangzhou adalah pilihan paling logis, sementara pilihan kedua jatuh pada Shanghai. Segera saya mengubek informasi segala macam alternatif penerbangan yang ada. Karena waktunya sudah dekat, hampir tidak ada penerbangan dengan harga yang bersahabat untuk tujuan Shanghai atau Hangzhou. Penerbangan langsung dengan maskapai nasional Indonesian flag carrier ternyata luar biasa mahal.
Sekalian mengurus visa ke travel agent langganan, saya tanyakan alternatif penerbangan yang ada. Dan didapatlah maskapai Hong Kong yang cukup dikenal di kawasan Asia Pacific. Sebenarnya ada maskapai Low Cost Carrier Malaysia seperti yang kami gunakan pada waktu awal tahun ini untuk tujuan sama dengan harga yang bersahabat. Namun waktu transit di Kuala Lumpur pada waktu pergi dan pulang yang cukup panjang menjadikannya pilihan saya yang terakhir karena sangat tidak efisien waktu.
Visa diurus dan tiket dipesan, siaplah saya berangkat. Tanggal keberangkatan adalah 29 November. Penerbangan saya adalah 00:05, tiba di Hong Kong 05:45 dan dilanjut ke Hangzhou pukul 08:00. Malam tanggal 28 November, saya menuju ke bandara dengan taxi. Ternyata antrean check in untuk penerbangan yang sama sudah mengular panjang sekali.
Akhirnya sampai juga giliran saya check in setelah sekitar 30 menit menunggu. Proses berjalan lancar dan saya langsung menuju ke ruang tunggu boarding gate yang tertera di boarding pass. Penumpang yang ke Hong Kong malam itu benar-benar penuh sekali. Waktu boarding tepat waktu dan pesawat tinggal landas sesuai yang tercantum di tiket, 00:05 tanggal 29 November.
Sempat membaca China Daily Hong Kong Edition sebelum tertidur. Entah berapa lama tertidur, pramugari membangunkan saya untuk menyajikan makanan. Maskapai asal Hong Kong ini memang dari dulu terkenal sangat bagus kualitas layanannya tidak kalah dengan maskapai asal Singapore yang mungkin lebih dikenal secara luas. Menutup makan dengan secangkir kopi pahit nikmat, saya melanjutkan membaca China Daily. Waktu berlalu cepat, waktu di arloji menunjukkan 04:00 (pukul 05:00 waktu Hong Kong).
Roda pesawat menyentuh Chek Lap Kok lebih cepat kira-kira 15 menit dari waktu tiba yang tercantum di tiket. Karena hanya transit, saya tidak perlu ke mana-mana, boarding pass untuk penerbangan lanjutan ke Hangzhou sudah di tangan sejak di Jakarta. Waktu transit yang hanya sekitar 1 jam lebih sedikit saya manfaatkan benar-benar. Sedikit melemaskan kaki, berjalan mencari tempat duduk yang santai. Mc.D nampak dari kejauhan. Saya pesan kopi dan sepotong hash brown.
Segera saya buka laptop sambil menyeruput pelahan kopi pahit panas. Jelas sekali, Baltyra yang saya tuju. Untung sendirian, karena senyum-senyum, terkadang nyengir sendiri membaca komentar-komentar di sana. Tak membuang waktu, edisi hari itu segera ter’upload sempurna, dan kemudian melanjutkan membaca-baca komentar, sambil sesekali berkomentar juga. Jam sudah mendekati pukul 07:00 waktu setempat. Laptop saya kemasi dan berjalan menuju ke boarding gate yang tercantum di boarding pass saya.
Tidak menunggu lama, boarding gate dibuka dan saya memasuki pesawat untuk menuju ke Hangzhou. Semuanya ontime dan bagus service’nya. Makanan segera disajikan sesaat setelah pesawat mencapai tinggi jelajahnya. Sarapan yang nikmat, lagi-lagi diiringi kopi pahit dan sedikit cream.
Penerbangan Hong Kong – Hangzhou tidak lama, hanya sekitar 2 jam lebih sedikit, mirip dengan penerbangan Jakarta – Medan. Pesawat tiba dengan selamat di Hangzhou. Tidak ada yang berubah di sana dari terakhir kami sekeluarga ke sana di awal tahun ini. Pemeriksaan imigrasi berlangsung cepat dan efisien, saya segera menuju ke conveyor dimana bagasi saya akan keluar. Sekitar 15 menit menunggu, bagasi yang hanya 1 koper saya hela menuju pintu keluar.
Tujuan berikutnya adalah Hangzhou Train Station. Saya menanyakannya kepada petugas tiket bus di dekat pintu keluar airport. Dengan tiket di tangan, saya berjalan keluar mencari bus yang menuju ke stasiun. Surprise untuk saya, ternyata udara di luar tidak dingin sama sekali, padahal sudah penghujung November. Sekitar jam 11, bus bergerak meninggalkan airport.
Seperti yang sudah pernah saya alami, “pramugari” bus menjelaskan tempat-tempat di mana bus akan berhenti. Kemudian berjalan menawarkan apakah ada penumpang yang ingin memesan makanan. Cuaca di luar suram, gerimis dan berkabut. Semuanya serba abu-abu, sungguh tidak menarik sama sekali. Sekitar 30 menit, sampailah saya di perhentian bus yang terdekat dengan stasiun kereta api Hangzhou. [Gambar 1]
Keluar dari bus disambut gerimis halus, dan lagi-lagi surprise udara tidak dingin sama sekali. Saya berjalan sekitar 7 menit mencapai stasiun kereta api. Semakin bingung saja, karena saya mulai berkeringat kepanasan. Setelah dekat stasiun barulah mengerti kenapa saya mulai merasa kepanasan karena berjalan, ternyata temperatur hari itu 20°C!! Saya menuju ke bagian penjualan tiket.
Lagi-lagi terkejut melihat pemandangan di bagian penjualan tiket. Tempatnya berupa bangsal besar dan luas, dengan sekian puluh loket dengan display digital, plus papan pengumuman besar dengan segala penjuru jurusan. Antrean di semua loket nampak penuh. Yang lebih membuat sedikit kuatir, dari pengeras suara terdengar pengumuman bahwa saat itu jam makan siang, penjualan tiket akan tutup sementara selama 30 menit. [Gambar 2] [Gambar 3]
Tapi melihat tidak nampak tanda-tanda beberapa loket yang masih buka akan tutup, saya mencoba di salah satu loket sambil berharap semoga masih mendapat kesempatan membeli tiket ke Wenzhou sebelum petugasnya istirahat makan siang. Sembari mengantre, saya melihat loket kanan kiri saya ada yang mulai tutup, dan juga yang mulai buka lagi, ternyata petugasnya sudah makan lebih dulu.
Antrean makin maju, dan saya nomer 3 dari depan – si petugas bilang akan melayani penjualan 2 orang lagi setelah itu akan beristirahat. Wah, saya cukup beruntung karena dihitung yang terakhir sebelum loket itu ditutup. Nyaris sampai giliran saya (orang di depan saya sedang menerima uang kembalian), eeeehhh…entah dari mana nyelonong dari kanan saya sambil membawa dua lembar RMB100 hendak memotong antrean.
Tanpa basa-basi dan sungkan sama sekali, saya bentak dengan suara keras (dan mungkin galak juga ya): “wooooiiii…pai dui (排 队)!!!” (woooiii…antre). Wajahnya kelihatan cukup kaget, demikian juga orang di depan saya. Mungkin tidak biasa melihat ada yang membentak orang yang memotong antrean, mungkin lebih terbiasa melihat orang yang memotong antrean. Orang tsb mundur dan saya membeli tiket yang saya inginkan. Si petugas sudah kelihatan tidak sabar dan buru-buru ingin beristirahat, bahkan uang kembalian saya sedikit dilemparkan ke arah loket.
Masih saja si pria ngeyel dan berusaha mencoba ingin membeli tiket tujuan dia (entah ke mana). Namun dengan suara dan wajah tidak ramah sama sekali petugasnya bilang tidak ada dan menarik turun kerai loket. Si pria berjalan mencari loket yang lain sambil bersungut-sungut. [Gambar 4]
Ternyata keberangkatan saya jam 15:18 – masih sangat banyak waktu. Saya membuka jaket karena benar-benar sudah keringatan jalan kesana kemari. Saya menyusuri seluruh penjuru stasiun, melihat-lihat dan masuk ke satu warung mie di dekat pintu masuk. Mie dengan daging sapi plus kuah saya pesan, kali ini dengan milk-tea hangat. Mie dengan porsi raksasa tidak sanggup saya habiskan. Kira-kira masih 35% saya pinggirkan. Milk-tea hangat saya seruput pelahan sambil melihat ribuan manusia lalu-lalang di situ. [Gambar 5] [Gambar 6] [Gambar 7]
Melihat nomer “flight” saya (kalau pesawat namanya flight number, kalau kereta api apa ya?), saya harus menuju ke Ruang Tunggu 4. Di Ruang Tunggu 4 sudah berjajar banyak sekali “flights” yang menuju ke segenap penjuru kota. Cukup terkesima ketika melihat luasnya stasiun kereta api sebesar itu, sebanyak itu ruang tunggu dan lebih terkesiap ketika melihat ribuan penumpang di sana. Entah berapa juta penumpang dalam satu hari yang menggunakan moda transportasi kereta api ini. [Gambar 8] [Gambar 9] [Gambar 10]
Setelah benar-benar bosan, mengantuk dan lelah menunggu, akhirnya melihat pengumuman bahwa kereta saya segera datang dan diumumkan di pengeras suara untuk para penumpang siap-siap di jalur peron yang sudah ditentukan. Sekali lagi saya terkejut melihat panjangnya antrean mengular ke belakang untuk kereta yang sama. Di tiket saya tercantum nomer gerbong dan nomer tempat duduk. Inilah untuk pertama kalinya saya naik “shinkansen” ala Tiongkok. Bentuknya memang mirip sekali dengan saudara tuanya di Jepang sana yang lebih dulu mengembangkan kereta pelor (istilah Mbah Gandalf).[Gambar 11] [Gambar 12]
Saya mencari nomer gerbong yang tertera dengan LED di atas pintu masing-masing gerbong. Kereta yang bersih, rapi dan apik. Nomer tempat duduk juga jelas, koridor yang resik, tempat duduk yang kelihatan nyaman nampak di depan mata. Kurang lebih seperti serial Argo di Indonesia (Argo Muria, Argo Bromo, dsb). Tempat duduknya memang nyaman ternyata. Tak berapa lama, tepat 15:18, kereta mulai bergerak. Display LED di atas pintu gerbong menunjukkan berbagai informasi: temperatur di luar, temperatur di dalam, kecepatan kereta dan kota-kota tujuan serta waktu tiba.
Rekor kecepatan tertinggi yang sempat saya perhatikan mencapai 199 km/jam, sementara temperatur di luar cukup hangat, berkisar di 20°C dan di dalam kereta tidak jauh berbeda di kisaran 18°C, cukup nyaman, tidak dingin dan tidak panas. Tak lama pramugari kereta berkeliling dengan kereta jualannya. Berbagai kudapan dan minuman serta makanan hangat ditawarkan kepada penumpang. Saya tidak begitu berselera makan di jam yang tanggung, hanya memesan kopi dan mencuil sedikit-sedikit intip goreng pedas yang beberapa hari sebelumnya saya beli di Solo.[Gambar 13] [Gambar 14] [Gambar 15] [Gambar 16]
Perjalanan 3.5 jam terasa cukup panjang. Perjalanan yang dimulai malam sebelumnya cukup menguras tenaga. Sambil membaca dan sekilas-sekilas menonton film di LCD TV, yang menayangkan Mission Impossible (entah yang ke berapa, Tom Cruise dan Maggie Q), tentunya dubbing bahasa Mandarin.
Rasa ingin berkemih tiba-tiba muncul. Bayangan toilet momprot-momprot jauh dari pikiran, karena melihat kondisi kereta yang super keren, bersih, tidak bau, canggih dsb. Di antara gerbong terdapat masing-masing dua toilet yang berhadapan. Mendekati toilet, tidak tercium bau yang menyengat, lebih lega lagi perasaan. Dan saya bukalah pintu toilet tsb. Lho, kok kosong…eeehhh…tahunya bukan closet duduk, tapi closet jongkok di lantai kereta.[Gambar 17]
Tak berlama-lama, saya mengosongkan kandung kemih sambil berpikir kalau berhajat besar dalam kondisi kecepatan 200km/jam, jongkok, apa tidak susah ya? Ah, saya tidak mau lama-lama berpikir, saya keluar dan menyimpulkan sendiri, pantasan kuda-kuda mereka kelihatan kokoh, karena terbiasa dengan latihan kuda-kuda dalam keseharian mereka.
Aji Bromokusumo
http://baltyra.com/2012/01/05/catatan-perjalanan-zhejiang-jiangsu-1/
Budaya-Tionghoa.Net | Baltyra.com