Budaya-Tionghoa.Net | Kadang terpikir, dari manakah Khu Lung mendapat inspirasi untuk karangannya “Rahasia Ciok Kwan Im”?
Tentu saja bukan inspirasi untuk jalan ceritanya, tetapi setting ceritanya besar kemungkinan dari kota Dun Huang.
Dun Huang terletak di ujung Barat propinsi Kamsiok (Gansu), kurang lebih 300 km sebelah barat Jiayu-guan. Dun Huang adalah sebuah oasis yang terletak di tengah gurun. Setengah lingkaran sebelah Utara adalah gurun Gobi, sedang setengah lingkaran sebelah Selatan adalah gurun pasir.
Yang sebelah Utara disebut gurun Gobi, karena gurun ini terdiri dari kerikil yang kecil, yang tersisa dari debu dan pasir yang mampu diterbangkan angin. Daerah yang kering sepanjang tahun, dan sehingga tanah pun tergerus oleh angin, sehingga debu dan pasir yang halus ikut terbang terbawa angin meninggalkan pasir dan kerikil dalam ukuran yang tak mampu lagi diterbangkan oleh angin.
Yang sebelah Selatan benar-benar gurun pasir yang terkadang membentuk gunung sampai berapa ratus meter. Agaknya inilah yang terbentuk dari angin yang menghembus dari Utara dan membawa debu dan pasir. Gunung-gunung pasir inilah yang bisa berubah bentuknya oleh angin.
Di sebelah Timur dari Dun Huang terlihat serangkaian pegunungan yang menjadi ujung barat pegunungan Qi-lian shan, dari pegunungan inilah salju yang mencair membentuk sungai yang menuju ke Dun Huang dan hilang meresap ditanah Dun Huang. Agaknya karena struktur tanah Dun Huang yang halus lah yang mampu memegang air hingga lama, karena kohesi yang sangat kuat diciptakan oleh struktur tanah dari debu yang halus. Hampir sepanjang tahun sungai ini lebih sering kelihatan kering.
Di pinggir sungai inilah terletak Mogao Grottoes, yang menjadi daya tarik turis, sehingga mereka, bahkan dari banyak bagian dunia, datang jauh-jauh ke sebuah kota oasis di tengah gurun, di ujung Barat propinsi Kamsiok (Gansu) tersebut. Pada masa emasnya, Mogao Grottoes ini pernah menjadi pusat pengajaran agama Budha, menjadi demikian karena memang terletak di jalur sutera dari kota Jiayu-guan mengarah ke Selatan, menyisir sebelah Selatan gurun. Terletak di jalur jalan untuk masuk dan keluar dari Tiongkok waktu itu. Mogao Grottoes mulai dibangun dari jaman dinasti Jin di tahun 366, sampai dinasti Yuan yang terakhir tahun 1300-an.
Di Mogao Grottoes inilah bisa dilihat perkembangan Avalokiteswara yang semula di India digambarkan sebagai lelaki, tetapi kemudian di Tiongkok berubah menjadi digambarkan sebagai perempuan, yaitu Guanyin (Koan Im Pouwsat).
Setelah sempat hilang selama empat abad, sejak dinasti Ming, sekarang kota Dun Huang di musim panas, mendapat tamu lagi bisa sampai 30,000 orang dalam sehari. Diketemukan lagi di awal abad 20, dan telah menjadi obyek arkaeologi yang sangat kontroversial di awal abad 20 dengan diketemukannya sebuah ruang rahasia yang berisi ratusan bahkan ribuan dokumen dan banyak lukisan sutera. Lukisan di gua-gua ini bahkan kelihatan masih baru setelah beberapa abad.
Perjalanan ke Dun Huang tidak tersangka telah menjadi mudah. Sebuah kereta yang berangkat meninggalkan stasiun Jiayu-guan jam 1.30 siang akan tiba di Dun Huang jam 6.30 sore. Masih cukup terang atau baru memasuki rembang petang di musim dingin. Sebuah jalur kereta baru dibuka sejak Mei tahun 2006 ini, yang bahkan belum ditulis di buku travel guide. Inilah yang membuat perjalanan jadi mudah, dan tidak menggentarkan lagi. Tetapi apakah iya? Sungguh pilihan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, karena rencana awal akan menggunakan bus yang juga butuh 5 jam. Bagaimanapun juga, walaupun dengan kereta api, tetap saja susah untuk tidak merasa gentar, karena inilah perjalanan sejauh Jakarta – Tegal. Dan melintasi gurun, sehingga walaupun di dalam kereta banyak orang, dan gaduh dengan banyak orang bercerita ke masing-masing temannya, di luar sana yang terlihat hanya gurun dan gurun.
Berapa jam mereka butuh, kafilah-kafilah di masa lalu, dengan menggunakan unta menempuh Jiayu-guan ke Dun Huang dengan membawa sutera, teh dan barang dagangan lain? Beberapa orang yang duduk di sebelah dan sekitar jadi berdebat dengan ramai, dan ada yang bilang 7-8 hari, karena unta sehari bisa menempuh 40 km.
Berjalan-jalan di Dun Huang di waktu malam, ditemani ‘pipop-kiongcu’, mudah membuat lupa bahwa kota ini hanya sebuah oasis. Restoran menghidangkan macam-macam hidangan, dari sup kaki unta, hidangan khas yang katanya cuma ada di Dun Huang ini, sampai ikan emas yang khusus hanya ada di kolam-kolam Dun Huang, atau hanya sebuah po- tsai dimasak dengan bawang putih yang sederhana saja. Pasar malam yang buka setiap malam dan penuh sesak di musim panas, agak longgar di musim dingin, dan ‘fei-tian’ menjadi obyek art yang paling banyak dijajakan dan sekaligus menjadi simbol kota Dun Huang.
Di tahun 60-70’an sudah pasti Dun Huang belum seperti sekarang, yang setiap jalannya cukup lebar dan diteduhi pohon, dengan trotoir yang lebar dengan toko sepanjang jalan, menjajakan mulai dari pakaian, tas, teh, ataupun CD. Di tahun 60-70-an, pasti masih agak susah untuk bisa pergi ke Dun Huang. Tirai bambu waktu itupun belum terangkat, atau belum diangkat penuh, boleh dibilang pariwisata pun belum ada.
Di akhir 60-an dan di awal 70-an itulah cerita “Rahasia Ciok Koan Im” ditulis oleh Khu Lung. Besar kemungkinan waktu itu Khu Lung pun belum pernah datang ke Dun Huang. Tetapi bahwa banyak buku yang ditulis tentang Dun Huang agaknya sudah pasti ada, dan lebih dari satu, ditulis karena nasib yang dialami gua rahasia dan dokumen-dokumennya, karena Mogao Grottoes yang penuh dengan lukisan yang indah, yang masih seperti baru dilukis kemarin. Dan juga karena obyek yang kedua…
Obyek yang kedua, memang menjadi obyek yang kedua atau yang ketiga setelah orang diajak mengunjungi Mogao Grottoes di pagi hari. Bahkan di musim panas, tidak dianjurkan datang ke obyek ini di waktu terik siang di tengah hari. Kalau Mogao Grottoes terletak 25 km sebelah Timur dari Dun Huang, obyek yang kedua ini terletak di sebelah Selatannya. Kurang lebih 7 km dari pusat kota, di bibir Selatan inilah terletak gurun pasir… Ya, inilah obyek wisata Dun Huang yang kedua!
Gurun pasir membentuk gunung, setinggi sampai lebih dari 300 meter, atau bahkan ada yang bilang lebih dari 700 meter, di tengah sana, bahkan juga lebih lagi. Pasir yang berwarna kuning emas agak memucat, ditingkah sinar matahari terik siang dan tambah menguning di matahari sore, dan terkadang memberi bias warna merah jika langit memerah di ujung senja. Beberapa turis yang sedang naik unta di kejauhan, nampak seperti kalifah di jaman dahulu sedang menyeberangi lautan dan gunung pasir ini. Siluet mereka indah dilihat.
Berjalan di atas pasir agak susah karena kaki amblas sampai mata kaki, cepat teringat berjalan di pasir putih Kuta yang sekarang menipis, cepat teringat waktu bermain di pasir putih Kali Brantas, atau bermain di pasir putih Bengawan Solo di saat surut di tengah musim kering, yang sekarang semuanya hampir menghilang.
Tetapi ingatan cepat kembali, ‘pipop-kiongcu’ di samping mendadak menghilang, dan dari balik gunung pasir pemandangan tiba-tiba berubah. Di cekungan di bawah sana, dengan latar belakang gunung pasir yang lain, di bawah sana di bawah keteduhan pohon-pohon yang menghijau, di bawah bayang-bayang atap pavilion, terlihat telaga yang memantulkan warna biru langit berbentuk seperti bulan sabit tanggal empat. Ada suara kecipak air, seorang nona sedang mandi. Ya di sanalah pipop-kiongcu pertama dilihat Coh Liu Hiang sedang mandi. Telaga dan kehijauan pohon yang tampak indah di tengah gurun pasir, sungguh kontras, sungguh indah, yang bahkan katanya sudah ada sejak seribu tahun lalu…
Dari samping, ‘pipop-kiongcu’ tertawa, menggamit tangan dan menyentuh lengan, “Sedang memikir apa…?”.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
REFERENSI