Budaya-Tionghoa.Net |Cukup sering Ngo Tay San disebut dalam cerita silat, kalau tidak menjadi salah satu aliran persilatan, tentu menjadi setting cerita. Banyak yang dibaca, tetapi yang ingat hanya setting-setting cerita berikut:
|
Pertama setting pembukaan cerita “Thian San Tjhit Kiam (Tujuh Pendekar Thian San)” karangan Liang Ie Shen, dan kedua salah satu setting cerita “Kaki Tiga Menjangan” karangan Chin Yung. Keduanya menyangkut tentang kaisar Sun Tie dari ahala Ceng. Selebihnya bisa anda baca sendiri di kedua cerita tersebut. Tulisan ini lebih cerita singkat tentang perjalanan.
Di luar dugaan, ucapan kondektur yang baru saya tanya setelah beli karcis, adalah benar bahwa bis akan tiba jam tiga pagi di Taiyuan! Walaupun dari Zhengzhou berangkat jam setengah sepuluh malam dan menempuh kurang lebih 500 km dari Zhengzhou. Ternyata karena jalan yang ditempuh seluruhnya toll highway dan tidak padat lalulintasnya.
Agak repot memang, karena bis pertama ke Ngo Tay San (Wutaishan) berangkat jam 7 pagi, dan masih harus naik bis lanjutannya lagi selama 4 – 5 jam. Sekarang memang jadi mudah ke Wutaishan lewat Taiyuan atau Datong, tetapi sepuluh tahun lalu tidak, sehingga waktu itu saya sampai mengurungkan keberangkatan.
Ternyata ada pilihan naik kereta (kereta lokal tidak muncul di jadwal nasional) jam lima pagi ke Shahe (stasiun ini disebut juga Stasiun Wutaishan), tiba setengah sembilan dan memberi kemungkinan tiba lebih awal karena Shahe 50 km dari Ngo Tay San (Wutaishan) atau satu jam naik bus. Dan benar juga, sudah ada bus yang menunggu datangnya kereta dan siap berangkat.
Ngo Tay San (Gunung Lima Panggung atau Gunung Lima Teras) disebut demikian karena memang ada lima gunung yang mengelilingi Taihuai; kota yang kita tuju, yang puncaknya datar seperti panggung atau teras; tidak lancip, di sebelah Utara, Timur, Selatan, Barat dan tengah.
[Foto Ilustrasi (ditambahkan oleh admin) :@David Wilmot , ” The main Buddhist temple grounds at Mount Wutai, China.” , http://www.flickr.com/photos/david_wilmot/250412204 , Free content licence”]
Taihuai berada di level lebih dari 1500 meter, berada di lembah yang diapit lima puncak itu. Puncak tertinggi di sebelah Utara kurang lebih 3086 m. Kalau kita datang dari Shahe, kita mendaki dan kemudian melalui satu celah (pass) dekat puncak ini, dan dari pass ini perjalanan menurun ke lembah di mana Taihuai berada. Jalan ini pada waktu musim dingin sering tidak bisa dilalui karena tertutup salju yang meleleh dan membeku jadi es.
Banyak yang bilang di akhir musim dingin dan di awal musim semi, pemandangan Wutaishan sangat menarik karena puncak gunung tertutup salju, tetapi bagaimana pun musim panas yang paling ramai pengunjungnya, dari April sampai Oktober. Hotel dan restauran banyak tersedia yang bisa disesuaikan dengan tebal-tipisnya kantong.
Walau musim panas, di siang hari hawa terasa enak sejuk, dan malam hari cukup mengundang kita memakai jaket. Di luar dugaan, ketika sedang berjalan jalan di malam hari, di satu tempat yang berubah menjadi ‘pasar-kaget’ pada waktu malam hari, saya melihat makanan yang dijajakan adalah sate kambing! Ya benar-benar sate kambing. Ada lebih dari 10 penjaja menjualnya, sementara penjaja-penjaja yang lain menawarkan masakan lain.
Walau cuaca gelap, beberapa lampu kecil terlihat di kejauhan di sekeliling Taihuai. Di sekitar Taihuai inilah, di lereng-lereng gunung tersebar lebih dari 20 kelenteng Budha, besar dan kecil. Waktu harus cukup dan kaki harus kuat untuk mendaki naik dan turun dari satu kelenteng ke kelenteng yang lain.
Kota Taihuai dan kelenteng-kelenteng inilah yang dahulu di kunjungi Wi Siao Po, ketika mendapat tugas dari Kaisar Kong Hie untuk mengunjungi kaisar sebelumnya, Kaisar Sun Tie, dalam cerita “Kaki Tiga Menjangan”. Saya melihat suatu ruangan dan ini rupanya kamar yang dipakai Kaisar Sun Tie dahulu, ketika ia ‘lengser keprabon’ dan lalu ‘madheg pandito’.
Dan di lereng itu, di antara pohon-pohon sung (pinus), di situlah barangkali para orang gagah (hoohan) dahulu dikepung tentara Boan dan terjadi pertempuran mati hidup, sepertinya suara pedang yang beradu masih terdengar gaungnya.
Dan kemudian berjalan menuju sebuah halaman luas, dan itulah pekarangan di mana Ie Lan Cu menerjang, menyerang sebuah joli (tandu usungan), yang ternyata berisi ibunya sendiri, di pembukaan cerita “Thian San Tjhit Kiam”. Lamat-lamat masih terdengar suara sepatu serdadu Boan yang menyerbu ke tengah lapangan, dan gemerincing pedang dan senjata lainnya, waktu saya menoleh, ternyata suara derap sepatu serombongan turis lokal yang sedang dipandu dan suara shutter kamera-kamera mereka…
Salam,
Harry Alim.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua 21525