CHINATOWN DALAM PUSARAN POLITIK DIMANCANEGARA
Akhir-akhir ini banyak kota-kota besar dunia merenovasi, merehabilitasi atau membangun Chinatown-Chinatown baru, seperti di Seoul (Korea), Dubai (Uni Emirat Arab), Havana (Cuba), St. Petersburg (Russia, sebelumnya bernama Leningrad), Dublin (Irlandia), tetapi rencana ini ditentang oleh kelompok nasionalis yang anti kaum imigran, Aberdeen (Scottlandia), Darwin (Australia) yang direncanakan selesai tahun 2010, dan Dobroiesti, Bucharest (Rumania). Pada saat sekarang Chinatown sedang mengalami kembangkitan kembali (renaisance) dan populer di beberapa negara, sebagai salah satu elemen dan daya tarik kota.
Chinatown-Chinatown di beberapa negara sebelumnya juga mengalami pasang surut dan jatuh bangun seiring dengan perkembangan dan gejolak politik yang terjadi di negara tersebut, seperti di Indonesia dengan PP 10, 1960, pogrom Mei 1998, dan yang selama kekuasaan Suharto segala bentuk ekspresi dan bahasa Tionghoa dilarangnya.
Di Vietnam, ketika terjadi konflik Sino-Vietnam, banyak orang Tionghoa atau Hoa (boat people) yang melarikan diri keluar negeri, karena dimusuhi dan dicurigai.
Di India ketika terjadi perang perbatasan antara Tiongkok dan India pada tahun 1962 , banyak orang Tionghoa India dari Kalkutta, didiskriminasi dan dicurigai yang akhirnya harus berimigrasi ke negara lainnya. Dari 20,000 penduduk warga Tionghoa yang tinggal di Kalkutta, sekarang hanya tinggal sekitar 2000 orang saja.
[Foto Ilustrasi : jliptoid , “Perayaan Imlek di Kolkata India ” , 28 Juni 2008 , Chinese New Year , This file is licensed under the Creative Commons Attribution 2.0 Generic license.]
Di Korea Selatan ketika jaman kekuasaan Park Chung Hee orang Tionghoa dikenakan peraturan yang diskriminatif dan dilarang memiliki tanah, sehingga banyak yang meninggalkan Korea Selatan pada tahun 1960 s/d 1970-an. Dari 120,000 orang Tionghoa yang pernah tinggal di Korea Selatan, sekarang tinggal hanya 21,000 orang, tetapi belakangan jumlah orang Tionghoa (terutama dari etnis Korea yang berasal dari Manchuria, Yanbian autonomy), bertambah kembali sesudah membuka hubungan diplomatik antara kedua negara dan hubungan perdagangannya yang bertambah intensif.
Di Burma (Myanmar) semasa kekuasaan diktaktor Ne Win (yang ironisnya berasal dari keturunan Tionghoa juga) banyak warga Tionghoa yang meninggalkan Burma selama tahun 1967-1970, karena politik “Burmese Way of Socialism” yang sempit, radikal serta anti asing (Tionghoa), dan pada tahun 1960 telah pecah kerusuhan anti Tinghoa disana.
Di Kamboja selama kekuasaan Pol Pot dari Khmer Merah, warga Tionghoa Kamboja tidak berbeda nasibnya dengan penduduk aslinya yaitu dibunuh, sehingga banyak yang melarikan diri keluar negeri.
Di Cuba, ketika Fidel Castro memenangkan revolusi, banyak orang Tionghoa harus meninggalkan tokonya dan banyak yang pindah ke Amerika, karena perdagangan privat dianggap tidak sesuai dengan sistim sosialisme-nya. [Tionghua Kuba 1] [Tionghua Kuba 2]
[Foto Ilustrasi : Wilder Mendez , ” Dragones Street Havana’s Chinatown Core” , 2000 , Public Domain]
Di Peru, ketika pada jaman kekuasaan diktaktor Juan Velasco Alvarado (1968-1975), banyak warga Tionghoa Peru meninggalkan negerinya, karena politiknya yang radikal kekiri-kirian yang merusak perekonomian Peru.
Di Jerman, sebelum perang rezim Nazi berkuasa, di kota pelabuhan Hamburg sudah ada Chinatown sejak lama, yaitu didaerah lampu merah sekitar St. Pauli atau sering disebut Reeperbhan, tetapi Chinatown tersebut dihancurkan oleh polisi rahasianya Gestapo sebelum perang dunia kedua.
Di kepulauan Solomon pada tahun 2006, dimana para pengunjuk rasa yang menentang PM. Snyder Rini membakar pertokoan Chinatown di ibukota Honiara. Di Tonga hal yang hampir sama terjadi disana, dimana pertokoan Chinatown di Nuku’alofa, ibukota Tonga dijarah dan dibakar, ini berawal dari konflik politik dikalangan elit pribuminya. Kedua negara tersebut terletak di kawasan Pasifik Selatan.
Banyak Chinatown di beberapa negara yang sebelumnya pernah ada, telah tidak ada lagi, punah, beralih fungsi atau ditinggalkan, seiring dengan pergolakan dan konflik politik dalam dan luar negeri, dimana tidak jarang bahwa warga Tionghoa setempat dijadikan kambing hitam dengan beraneka ragam tuduhan, alasan dan dalih seperti, tuduhan komunis (di Indonesia), tuduhan kapitalis (Vietnam, Kamboja, Cuba, dll). Mereka juga ada yang menjadi korban konflik antara Tiongkok-India, Tiongkok-Indonesia dan Tiongkok-Vietnam. Selain itu juga sering dituduh ingin mendominasi perekonomian nasional.
Walaupun warga Tionghoa setempat telah tinggal lama beberapa generasi di negara tersebut dan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan negeri Tiongkok, tetapi mereka tetap diidentikkan dengan warga Tiongkok, seperti misalnya di Indonesia, India dan Vietnam, dll. Mereka sering menjadi sasaran korban dari konflik itu sendiri, semua jenis “isme” sering dituduhkan kepadanya seperti pengikut paham Komunisme atau Kapitalisme, tergantung dari kebutuhannya, termasuk menjadi korban Nasionalisme sempit atau Sosialisme radikal dan utopia.
Jadi hubungan antara Tiongkok dengan negara-negara tersebut tetap ikut menentukan dan mempengaruhi nasib minoritas Tionghoa di negara tersebut, walaupun warga etnis Tionghoa ini telah menjadi warganegara negara setempat, tidak ada hubungan lagi dengan Tiongkok, loyal terhadap negara dimana mereka tinggal dan hidup, sudah ganti nama, dan sudah beberapa generasi tinggal di negara tersebut serta tidak tidak dapat berbahasa Mandarin lagi.
Sepertinya percuma atau sia-sia saja untuk meyakinkannya, walaupun sudah mengaku dan membuktikan dirinya telah memberikan kontribusi terhadap negaranya.. Mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa nasib minoritas ini sering dijadikan sandera politik kalau sekiranya terjadi konflik antara negara dimana nenek moyangnya berasal dengan negara yang mereka tinggal sekarang.
BAB III