CHINA TOWN INDONESIA
Kurang tepat kalau Chinatown klasik ini disamakan dengan Ghetto orang Tionghoa, yang total terisolasi dengan masyarakat lainnya, karena kegiatan bisnis mereka dilakukan sebagian besar dengan penduduk atau pribumi setempat, karena mereka berfungsi sebagai pedagang perantara yang memasarkan hasil bumi setempat dan mengimpor serta menjual barang-barang kebutuhan kepada penduduk setempat. Pada
festival budaya, mereka bermain Barongsy dan Liong dll.sebagai sarana ekspresi seninya.
Di Jakarta umumnya Glodok atau Pancoran dikenal sebagai Chinatown-nya Jakarta, dan Princen Park di Mangga Besar, atau belakangan bernama Lokasari, dahulu juga berfungsi sebagai Chinatown-nya Jakarta. Princen Park sebenarnya lebih dikenal dengan tempat hiburannya, dengan banyaknya Bioskop yang memutarkan film-film Tionghoa. Awalnya Princen Park diperuntukkan sebagai tempai hiburan kaum elit Belanda, tetapi selama perkembangannya, tempat ini lebih dikenal sebagai tempat hiburan warga Tionghoa Jakarta, dan terutama sesudah Belanda meninggalkan Indonesia.
Di Princen Park juga terdapat bar dan restoran yang terkenal seperti Happy World, dimana para selebriti Tionghoa pada waktu itu dapat berdansa disana. Restoran-restoran lainnya yang pada hari Minggu digunakan juga sebagai tempat acara pernikahan dan tak jauh dari Princen Park juga terdapat pusat olahraga renang “Chung Hwa”, jadi serba Tionghoa, dari mulai bioskop, restoran, toko buku, kolam renang, toko musik, tukang photo, tukang koyo yang ahli kuntaw, sampai tukang kwamia dan tempat plesir lainnya, termasuk rumah sakit Tionghoa “Jang Seng Ie” (harus ganti nama menjadi Husada) di Mangga Besar yang berjarak sekitar 1 km dari Princen Park.
Tetapi Princen Park yang penuh dengan kehidupan dan vitalitas dimalam harinya yang dikenal pada waktu dahulu sudah tidak dirasakan lagi denyut kehidupannya sekarang, walaupun telah dibongkar dan dimodernisasi dengan pertokoan dan pusat perbelanjaan modern seperti sekarang. Tetapi walaupun begitu, kawasan Mangga Besar Raya tetap saja dianggap sebagai Chinatown juga, dimana kehidupan berjalan hampir 24 jam tanpa henti, terutama dimalam hari (night life), maka ada yang menamakannya dengan Las Vegas-nya kota Jakarta.
Jakarta yang mempunyai penduduk dari etnis Tionghoa yang jumlahnya besar, amat disayangkan tidak memiliki sebuah “Chinatown” yang tertata rapi dan terencana seperti di Singapura, dimana Chinatown-nya (sebenarnya seluruh Singapura adalah sebuah Chinatown raksasa) telah menjadi salah satu objek wisata yang populer seperti Little India.
Glodok atau Pancoran yang disebutkan sebagai Chinatown-nya Jakarta keadaannya kini sangat memprihatinkan, amburadul, kotor, macet lalu lintasnya, tak nyaman, kalinya bau dan terpolusi, udaranya tercemar, tidak ada penghijauan, dan hampir tidak ada bangunan-bangunan yang berarsitektur Tionghoa lagi, tak ada gerbang (Paifang) yang menjadi ciri khas Chinatown dinegara lain serta jarang turis yang berkunjung kesana. Apalagi sebagian pernah dijarah dan dibakar pada waktu kerusuhan anti Tionghoa di tahun 1998.
Glodok juga hampir tidak memiliki identitas bangunan bergaya arsitektur Tionghoa atau ciri-ciri budaya Tionghoa lagi, dan satu- satunya (setelah kedutaan besar Tiongkok dekat Glodok dihancurkan) bangunan yang tersisa adalah gedung Sin Ming Hui ( harus ganti nama juga menjadi Chandra Naya), dan inipun hampir digusur oleh sebuah developer (pengembang) yang ironisnya adalah berasal dari pengembang etnis Tionghoa sendiri (Modern Group), bangunan Sin Ming Hui sendiri telah dikangkangi oleh bangunan lain diatasnya, bangunan- bangunan lainnya yang bergaya arsitektur Tionghoa disekitarnya juga telah hilang.
Sebuah hal yang ironis lagi adalah bahwa seorang senior pimpinan sebuah organisasi Tionghoa yang terkenal di Jakarta juga mendukung ide penggusuran bangunan Sin Ming Hui tersebut, dengan dalih akan dipindahkan ke Taman Mini Indonesia yang lebih besar lahannya dan yang dimiliki oleh keluarga Soeharto.
Tetapi untungnya hal ini tak sampai terlaksana, karena Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta menentangnya, karena bangunan Sin Ming Hui ini dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya kota Jakarta yang bersejarah dan harus dilestarikan, karena merupakan bagian daripada sejarah kota Jakarta seperti gedung Arsip Nasional yang terletak di jalan Gajah Mada. Untuk usahanya ini, maka Pemprov DKI Jakarta layak mendapatkan penghargaan.
Sebenarnya kalau Glodok (karena sejarahnya) dan daerah sekitarnya, ditata dan direhabilitasi kembali sesuai dengan konsep perkembangan kota Modern, maka Glodok dapat menjadi Chinatown modern dengan “City Walk-nya ” yang nyaman dan menjadi objek wisata baru yang berpotensi. Chinatown Glodok dapat diintegrasikan dengan bangunan bersejarah lainnya seperti Musium Fatahilah, Musium Wayang, Pelabuhan Sunda Kelapa dengan Musium Baharinya, Stasiun Kota, serta bangunan-bangunan bersejarah lainnya di sepanjang Kali Besar.
Ide-ide seperti ini sebenarnya sudah ada tetapi belum dapat direalisasi. Selama ini sebenarnya sudah ada program rehabilitasi infrastruktur di Glodok, seperti perbaikan saluran pembuangan, jalanan dll. tetapi untuk membangun citra Glodok sebagai Chinatown yang modern dan sebagai pusat wisata modern, diperlukan usaha, dana, manajemen, tenaga profesional dan kemauan politik yang serius dari pihak penyelenggara kota Jakarta.
Mungkin ide-ide rehabilitasi Chinatown kota Jakarta ini, dapat menjadi salah satu tema pembangunan kota Jakarta yang sepatutnya dipertanyakan kepada calon-calon Gubernur DKI Jakarta mendatang, apakah mereka telah memperhatikannya? Ataukah sudah masuk dalam visi program pembangunan kota Jakarta mendatang ?
G.H.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua