Budaya-Tionghoa.Net | Jika point 1 sampai 4 yang menjadi penyebab umum terjadinya kweepang dan lebih kearah hubungan horizontal antar manusia. Maka point ke 5 dan ke 6 ini amat menarik (Anak sakit-sakitan, susah diajar.Tidak harmonisnya anak sebagai microcosmos dengan keluarga sebagai macrocosmos.)
Bagi sebagian orang dianggap tahayul atau juga menjual anaknya kepada setan, memang banyak orang yang beranggapan demikian dan patut dikasihani mereka yang berpandangan seperti itu karena artinya tidak bisa menghargai kepercayaan orang lain.Sesungguhnya hubungan yang terjadi bisa hubungan horizontal dan vertical, dimana yang perlu ditekankan adalah factor harmonisasi, keteraturan, menghindari masalah yang mungkin bisa terjadi dan juga factor perlindungan.
|
Kenapa bisa ada permohonan perlindungan kepada para dewata ? Ini merupakan satu pertanyaan yang menarik dan perlu diketahui latar belakang yang mendasari masalah ini.
Sebelum membahas hubungan vertical dan point ke empat dan ke lima, perlu sikap arif dalam melihat tradisi dan budaya orang Tionghoa yang penuh dengan system symbol,yang tidaklah harus selalu menggunakan empiric atau logika semata dalam memandangnya serta memahaminya, tapi diperlukan adalah intuisi atau logika hati, intuisi menuntun kita memahami makna dibalik symbol supaya kita bisa menilai masa kini dan memotret masa depan, demi membangun dunia yang manusiawi, melampaui kondisi factual : aspek harapan dan profetik, mengaitkan masa lalu, kini dengan masa depan. Terus terang banyak orang yang melihat tradisi dan budaya Tionghoa dengan menggunakan pengetahuan rasional dan empiric ala sains barat. Juga sayangnya banyak orang Tionghoa sendiri yang melihat tradisi Tionghoa dengan kacamata kuda, selalu menggunakan konsep pandangannya mereka sendiri yang berkaca pada “modernitas”,”rasional”, “logika” bahkan dengan kepercayaan lain yang dianggap terunggul dan cenderung menjurus kepada intoleransi dan pelecehan kepercayaan orang lain. Sikap intoleran seperti itu justru membawa musibah besar dalam kemanusiaan dan cultural genocide, karena klaim kebenaran monotheis modern bisa menjadi sumber konflik.
Sebenarnya perlu kita ketahui bahwa dari cerita-cerita mitologi orang Tionghoa dan banyak tradisi serta ritual yang menyertai kehidupan mereka, menandakan semangat yang pantang menyerah serta melakukan upaya harmonisasi dalam menghadapi hidup yang tidak pasti, walau mereka juga mempercayai takdir dan nasib tapi tidak ada kata menyerah dalam hidupnya, intinya adalah berusaha semaksimal mungkin dengan berbagai upaya yang bisa dilakukan, tidak menyerahkan hidup begitu saja termasuk juga terhadap maut.
Uniknya adalah orang Tionghoa beranggapan kelahiran, pernikahan serta kematian adalah suatu upacara yang harus dilakukan dengan khidmat, dan takdir secara sederhana diartikan adalah “ada kelahiran pasti ada kematian”, jadi kematian bukan hal yang menakutkan, tapi sebelum mati harus ada usaha yangharus dilakukan. Tradisi dan ritual yang menjadi bagian hidup mereka, mulai dari meminta anak,janin hingga kematian selalu memberikan jalan untuk mengatasi masalah yang terjadi dalam hidup mereka,kehidupannya yang pantang menyerah tidak serta merta menghapuskan nilai-nilai spritualitas dan religiousitas orang Tionghoa.
Perlu kita ketahui bahwa kehidupan manusia selalu tidak pasti dan ada masa-masa bahaya yang menimpa kehidupan manusia ini. Misalnya saja pada kehamilan atau 妊娠 renshen, yang mana dalam pengertian budaya Tionghoa, yang dimaksud renshen sebenarnya adalah proses kehamilan dan dalam budaya Tionghoa, satu renshen adalah satu bulan yang berjumlah 28 hari, proses perkembangan janin menjadi matang pada saat 10 bulan atau 280 hari, ini yang membedakan dengan pandangan barat yang mengacu pada 9 bulan 10 hari dengan budaya Tionghoa yang berjumlah 10 bulan.
Salah satu cara mengatasi hal yang tidak pasti dan bahaya itu adalah dengan meminta perlindungan anak kepada mahluk adikodrati dan biasa dilakukan di kelenteng-kelenteng.Selain itu adalah rasa psikologis terutama berkaitan dengan xiaoer guansha 小兒關煞 yang akan dibahas di tulisan selanjutnya.
Apa yang dimaksud mahluk adikodrati secara umum disebut dewa dan dewa dalam pengertian budaya Tionghoa tidak selalu harus mahluk dari langit atau juga mahluk yang sudah ada sebelum manusia, tapi lebih banyak adalah mereka yang pernah hidup di dunia dan mengabdikan diri mereka dengan memberikan sumbangsih positif bagi masyarakat dalam berbagai bentuk dan ketika meninggal mereka menjadi dewa. Sebutan untuk dewa-dewi mereka juga banyak yang berupa panggilan kekerabatan, seperti misalnya nenek, kakek, nyonya. Sebagai contoh adalah Mazu 媽祖 yang merujuk kepada Lin Moniang 林默娘 atau Guan Gong 關公 yang panggilan akrab untuk Guan Yu 關羽.
Masyarakat di pesisir Fujian dan Guangdong banyak yang mempercayai bahwa Chen Jinggu 陳靖姑 ( 臨水夫人 ) adalah pelindung anak hingga memasuki usia dewasa.Selain itu adalah Zhusheng niang-niang 註生娘娘, yang salah satunya adalah Bixia Yuanjun 碧霞元君 atau Wei Huacun 魏華存. Karena itu banyak dihormati, terutama di Taiwan, oleh para orang tua serta banyak anak-anak yang sejak kecil meminta perlindungan yang ritualnya memiliki kemiripan dengan kweepang dewa lainnya.
Guofang atau kweepang di masyarakat Indonesia sering digunakan untuk mereka yang diangkat anak oleh manusia maupun dewa. Penyebabnya seperti yang dituliskan adalah butir ke lima dan ke enam.Pengangkatan anak kepada dewa tidak selalu harus dilakukan jika anak sakit, karena pada umumnya jika anak sakit maka pihak keluarga akan mengundang tabib, jika tidak bisa disembuhkan oleh tabib, biasanya diundang orang “pintar”, baik sebagai medium ataupun ahli menghitung tanggal lahir dan bentuk fisik ( membaca garis tangan ataupun raut muka ).
Bersambung ke bagian 3
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa