Budaya-Tionghoa.Net |Siapakah Njoo Han Siang ? mungkin tak banyak lagi orang mengetahuinya, karena ia meninggal pada tahun 1985. Perayaan yang diadakan pada tanggal 18 Januari 2006 di gedung CSIS di jalan Tanah Abang itu, adalah untuk mengenang Njoo Han Siang yang bersama dengan Ali Murtopo, Soedjono Hoemardani, Jusuf Wanandi dan Harry Tjan Silalahi cs. ikut terlibat dibelakang layar dalam pendirian CSIS di tahun 1971 sebagai donatur dan fundraiser, sedangkan Harry Tjan, Jusuf Wanandi serta Sofian Wanandi adalah motor dan pemegang peranan utama operator politik dan tokoh intelektualnya CSIS.
|
Perayaan peringatan untuk mengenang Njoo ini dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat seperti mantan menteri, insan perfilman nasional, wartawan, budayawan, tokoh-tokoh politik, pendidik, intelektual, pengusaha, media massa dan dari etnis Tionghoa sendiri serta anggauta CSIS dll. Dalam perayaan peringatan ini ditayangkan sebuah film singkat narasi dari beberapa orang yang pernah dekat dan berkerja sama dengannya.
Film singkat tentang kehidupan Njoo ini dibuat oleh sutradara kenamaan Slamet Rahardjo, kawan dekat dari Njoo.Acara perayaan ini juga diselingi dengan lagu-lagu dari penyanyi soprano tunggal Aning Katamsi yang diiringi oleh musik piano.
Njoo mungkin lebih dikenal sebagai orang merintis perfilman dan perbankan nasional. Sebenarnya Njoo awalnya adalah seorang wartawan , kemudian menjadi pengusaha (pelayaran, agrobisnis, perbankan, asuransi dan real estate), pendidik, tokoh pembauran dari etnis Tionghoa, pecinta seni dan kebudayaan Indonesia serta seorang yang perduli dengan kehidupan sosial dan politik bangsa. Singkatnya sebagai orang yang multifacet, karena minatnya yang luas.
Njoo lahir pada tahun 1930 di Jogyakarta dari keluarga totok Tionghoa yang berbicara bahasa Hokkian dan juga Jawa dirumahnya, dan pada tahun 1942 pindah ke Semarang hingga tahun 1946, lalu melanjutkan sekolahnya ke Tiongkok (Xiamen), dan kembali ke Indonesia lagi (Semarang) pada tahun 1950, setelah setahun sebelumnya tinggal di Hongkong. Pada tahun 1954, Njoo pindah ke Jakarta
Pada tahun 1950 Njoo belajar jurnalistik dan menjadi wartawan photo Sunday Courier, serta bersahabat dengan BM Diah dan Adam Malik. Pada tahun 1958 Njoo mendirikan maskapai pelayaran PT. Delta Baru dan sekaligus menjadi pengusaha ekspor-impor bahan pangan, seperti beras dan terigu dengan nama CV. Krisna. Di tahun 1966 Njoo dengan
Suhardiman (pendiri dan ketua SOKSI) yang sebelumnya ikut dalam pembentukkan PP Berdikari, bersama Thomas Suyatno mendirikan Bank Dharma Ekonomi yang kemudian menjadi Bank Duta, lalu kemudian harinya merger menjadi Bank Permata.
Pada tahun 1969, Njoo membantu Ali Murtopo menjadi pemasok logistik untuk Pepera di Irian. Dari hasil pelaksanaan operasi logistik ini, kelompok Ali Murtopo menyisihkan dana untuk membeli BUN (Bank Umum Nasional) pada tahun 1968. BUN didirikan dan dimiliki oleh tokoh- tokoh PNI, disini Njoo menjadi Presiden Komisaris BUN. Njoo juga yang mendirikan Bankers Club Indonesia, sebagai wadah para bankir Indonesia dimana Njoo menjabat sebagai ketua umumnya yang pertama (1976).
Kegiatan usaha lainnya dari Njoo adalah mendirikan perusahan agrobisnis PT. Great Giant Pinneaple Company (GGPC) bersama Lie Siong Thay dan Go Swie Kie pada tahun 1973 . Dengan Jusuf dan Sofyan Wanandi serta Pang Lay Kim (ayah dari Marie Pangestu) Njoo mendirikan perusahan asuransi PT. Maskapai Asuransi Madijo yang berubah namanya menjadi PT. Asuransi Wahana Tata pada tahun 1976.
Njoo juga bersama Sri Budoyo memelopori kartu kredit di Indonesia dengan mendirikan Diners Club Indonesia di tahun 1970-an. Selain itu Njoo juga memiliki sebuah restoran, bar dan night club Golden Gate di Kemayoran, sebelum bandara ini dipindahkan ke Cengkareng. Di bidang real estate, Njoo mendirikan PT. Darmo Permai di Surabaya (1973) dan PT. Wai Halim di Lampung (1978).
Selain itu Njoo juga memprakarsai dan merintis pendirian Akademi Perbankan Nasional yang berkembang menjadi STIE Perbanas dikemudian harinya dan juga pernah menjadi ketua umum Perbanas. Atas jasanya, Njoo diabadikan dalam bentuk monumen di depan kampus STIE Perbanas. Bersama Lim Sioe Liong dan William Soeryadjaya, Njoo juga ikut aktif dalam pembentukkan dan kepengurusan Yayasan Prasetya Mulia.
Dibidang politik dan pembauran bangsa, Njoo bersebrangan dengan konsep Siauw Giok Tjhan dari Baperki (konsep integrasi), dan bersama Sindhunata sebagai salah satu pendirinya ikut mendirikan Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) pada tahun 1977 (konsep asimilasi), yang sebelumnya bernama LPKB (Lembaga Pembina
Kesatuan Bangsa) yang dibubarkan pada awal pemerintahan Orde Baru. Walaupun Njoo duduk dalam kepengurusan Bakom PKB ini (dewan penyantun), namun dia tetap mempertahan nama Tionghoa-nya dan tidak mengikuti anjuran dari kelompok asimilasi.
Mungkin disamping sebagai bankir, nama Njoo lebih dikenal oleh masyarakat sebagai seorang tokoh perintis perfilman nasional. Bersama Wim Umboh, (seorang sutradara senior dari etnis Tionghoa Manado yang fasih berbahasa Mandarin dan menjadi penterjemah film bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia) dan Aloysius Soegianto (perwira Opsus mantan kolonel RPKAD yang pernah berperan dalam operasi Seroja dan deklarasi Balibo di Timtim 1975 , selain itu juga pernah menjabat lama sebagai ketua PERKIN –Perkumpulan Kinologi Indonesia ) mendirikan PT. Inter Pratama Studio Laboratorium (Inter Studio) di Pasar Minggu pada tahun 1972 (diresmikan pada tahun 1976) dengan tujuan membebaskan diri film Indonesia dari ketergantungan luar negeri dan juga yang merupakan sebuah laboratorium film berwarna pertama di Indonesia yang memiliki fasilitas seperti sound recording, sound effects, mixing, music edit, dubbing dan optical effects. Sebelumnya proses perfilman di Indonesia harus diproses di Hongkong atau Tokyo yang membutuhkan biaya tinggi serta makan waktu.
Inter Studio ini diharapkan mampu memproduksi film-film nasional secara utuh di Indonesia. Visi Inter Studio ini adalah untuk
menghasilkan film bermutu, kultural edukatif dan bermoto “Masuk Ide , Keluar film” serta menjadikan film Indonesia “Tuan di negeri sendiri” atau “Film Indonesia telah dapat dilahirkan di dalam negeri” atau dapat dikatakan juga sebagai “hardware” dan dapur perfilman Indonesia.
Salah satu sinematograf yang sering memanfaatkan fasilitas Inter Studio ini adalah Teguh Karya (Liem Tjoan Hok) dari “Teater Populer” atau sering dipanggil Steve Liem atau disebut juga “Suhu Teater Indonesia”. Teguh juga berhasil meyakinkan produser-produser film dan sutradara muda untuk memanfaatkan jasa Inter Studio ini untuk memproses film-nya. Film-film yang diproses di Inter Studio ini telah berhasil mendapatkan beberapa piala Citra serta banyak
melahirkan film-film terbaik di FFI (Festival Film Indonesia) dan FFAP (Festival Film Asia Pasifik).
BAGIAN II