FILMOGRAFI
Film-film yang pernah diproduksikan oleh Njoo ini antara lain adalah:
“Chicha”, sebuah film anak-anak yang disutradarai oleh Eduard P. Sirait (1976) dengan bintang ciliknya Chicha Koeswoyo serta pemain lainnya, Rae Sita, Ade Irawan, Ria Irawan, dengan iringan musik Idris Sardi dan skenario Asrul Sani. Film “Chicha” ini telah memenangkan piala “Akhnaton” pada film festival Cairo II, Mesir.
“November 1828”, film epik perjuangan Diponegoro yang disutradarai oleh Teguh Karya (1978), dengan pemainnya Slamet Raharjo, El Manik, Jenny Rachman, Sardono W Kusumo, Maruli Sitompul dll. Film ini memperoleh 5 piala Citra dan merupakan film terbaik FFI 1978 serta mendapat predikat “most outstanding historical presentation Film” di FFAP, Singapura (1979).
“Rembulan dan Matahari”, film yang mengangkat nilai-nilai budaya pedesaan, disutradarai oleh Slamet Rahardjo sebagai karya pertamanya (1979).
“Dr. Siti Pertiwi Kembali ke Desa” (1979), disutradarai oleh Amir Prijono, dengan pemain-pemainnya Christine Hakim, El Manik, Joice Erna, Maruli Sitompul, Ikranegara, dll. Nano Riantiarno, Putu Wijaya dan Asrul Sani juga ikut serta dalam pembuatan film ini.
“Seputih Hatinya Semerah Bibirnya”, disutradarai oleh Slamet Rahardjo (1980), dengan pemainnya, Christine Hakim, El Manik, Frans Tumbuan, dll. Eros Jarot dan George Kamarullah juga ikut dalam pembuatan film ini.
“Usia 18”, disutradarai oleh Teguh Karya (1980), dengan pemain- pemainnya, Yessy Gusman, WD Mochtar dll.
Walaupun bukan produsernya, Njoo membiayai dan aktif mendukung pembuatan film yang mengangkat tema pembauran etnis yang berjudul “Mei Lan, Aku Cinta Padamu” (1974), dengan Wim Umboh sebagai produsernya serta disutradarai oleh Pitrajaya Burnama dimana aktris tiga jaman Fifi Young (Tan Kiem Nio, kelahiran Aceh) juga ikut bermain dalam film ini.
Selain itu Njoo juga beberapakali mendukung penyelesaian film yang macet, antara lain “Secangkir Kopi Pahit”, yang pada FFI 1985 memperoleh 11 piala Citra dari 13 yang tersedia. Selain itu ada beberapa ide cerita yang akan difilmkan namun belum sempat diwujudkan seperti film “Cut Nyak Dhien” yang akhirnya diproduksi dengan sukses oleh Eros Jarot dengan Christine Hakim sebagai pemeran utamnya serta film “Chairil Anwar- Aku Ingin Hidup 100 Tahun Lagi”, yang skenarionya ditulis oleh Syuman Jaya, namun tidak terealisir, karena Syuman meninggal dunia.
Selain memproduksi film, Njoo juga mendirikan Sekolah atau Kursus Seni Peran bersama Wahyu Sihombing dan Tatiek Maliati di pusat perfilman nasional H. Umar Ismail, Kuningan, dimana pesertanya bebas uang sekolah, bahkan mendapat uang transport dan kost. Murid- muridnya yang pernah mendapatkan pendidikan disini antara lain adalah Ray Sahetappy, Ida Leman, Heru Fadila, Alan Nuary dll.
Selain seni sinematografi, Njoo juga mesponsori perkembangan seni musik yang dianggap sebagai infrastruktur penunjang produksi film. Pada tahun 1973, Njoo menyelenggarakan pesta musik semalam suntuk yang diikuti oleh 17 group musik yang tengah populer waktu itu seperti Koes Plus, The Pros, AKA (Ucok Harahap, Arthur Kaunang cs), Godbless (Achmad Albar cs).
Peristiwa musik akbar itu dinamakan “Summer 28” (memperingati hari kemerdekaan RI ke 28) yang menyerupai pesta musik populer di AS, Woodstock. Pesta musik ini diselenggarakan di kompleks Inter Studio, Pasar Minggu yang luas lahannya dan dipimpin oleh Idris Sardi dan Dimas Wahab yang hingga kini tercatat sebagai peristiwa budaya yang langka dan jarang terulang kembali.
Atas jasa-jasanya Njoo dibidang sinematografi nasional dan 19 tahun setelah wafatnya, Njoo Han Siang dianugerahkan “Satya Lencana Wirakarya” dari Presiden RI Megawati dalam acara peringatan Hari Film Nasional, pada tahun 2004.
Selain itu, Departemen Kebudayaan & Pariwisata, melalui BPPN (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional) selaku penyelenggara FFI, menganugerahkan Piala Khusus “Njoo Han Siang” kepada produser yang paling banyak memanfaatkan jasa teknik perfilman dalam negeri. Ini dimaksudkan untuk mengenang dan menghargai perjuangan Njoo serta untuk melanjutkan dan memotivasi semangat kemandirian membebaskan perfilman Indonesia dari ketergantungan luar negeri.
Njoo Han Siang wafat pada tahun 1985 di usia 55 yahun, karena penyakit diabetis. Beliau mempunyai seorang isteri tetapi tidak mempunyai keturunan, sesudah Njoo meninggal, kegiatan bisnisnya seperti Inter Studio dilanjutkan oleh keponakannya yaitu Rudy Sanyoto yang menjabat sebagai direktur Inter Studio hingga sekarang. Njoo selama hidupnya dikenal sebagai seorang idealis, nasionalis, wartawan, pengusaha, politikus (semi politikus), pecinta seni dan budaya serta aktivis berbagai bidang profesi dan seorang tokoh perfilman nasional.
Njoo yang walaupun lahir dari generasi kesatu keluarga Tionghoa totok di Jogyakarta, telah mewarisi nilai-nilai kebudayaan Jawa yang mengalir dalam dirinya (bahasa Tionghoanya beraksen Jawa). Akulturasi ini telah mewarnai perjalanan hidupnya dimana naluri bisnis yang diwarisi dari orang tuanya berpadu dengan kepeduliannya terhadap Indonesia termasuk dengan kelompok etnisnya sendiri, atau dinamakan pertemuan dua arus (budaya Tionghoa dan Jawa). Lingkaran pergaulan
Njoo adalah sangat luas, lintas etnis, agama dan profesi seperti sahabat-sahabatnya yang berasal dari pengusaha, militer, budayawan, politikus, intelelektual, pribumi maupun non-pribumi dll.
Njoo adalah seorang yang unik dengan minat yang luas, selain banyak kawan dia juga mempunyai lawan. Hubungannya yang dekat dengan Ali Murtopo cs. yang misterius serta sangat dipercaya olehnya juga banyak menimbulkan pertanyaan dan tetap menjadi misteri. Apapun penilaian orang terhadapnya, Njoo adalah bagian dari mosaik tokoh- tokoh etnis Tionghoa di Indonesia yang menonjol peranannya dalam kehidupan sosial budaya dan politik di Indonesia.
Mungkin kontribusi Njoo yang positif untuk Indonesia selain di bidang perbankan adalah di bidang perfilman nasional. Beliau adalah orang yang ikut serta membangun fondasi perfilman nasional dan aktif mengembangkan seni sinematografi di Indonesia. Njoo Han Siang yang oleh Harmoko disebut sebagai salah satu pelopor budaya sinema, menambah lagi daftar nama-nama dari golongan etnis Tionghoa lainnya yang berkiprah dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan
seni teater dan sinematografi di Indonesia, seperti Nyoo Cheong Seng, Fifi Young (istri Nyoo Cheong Seng), Tan Tjeng Bok (Mat Item), Teguh Karya, Wim Umboh, Nano Riantiarno dll. termasuk aktris dan aktor sinetron masa kini, Agnes Monica dan Ferry Salim yang pernah bermain di film Ca Bau Kan (karya Remy Sylado) dan juga pernah menjadi duta nasional Indonesia untuk UNICEF.
Salam
GOLDEN HORDE , 20 01 2007
Sumber: Nyoo Han Siang, Pertemuan Dua Arus (CSIS)
Katalog Film Indonesia 1926-2005, JB Kristanto
Majalah Tempo
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua