Budaya-Tionghoa.Net | Sebelas tahun yang lalu, pada waktu Republik Rakyat Tiongkok mencapai usia 50 tahun, aku dihubungi via telepon oleh VARA dari Hilversum. Radio/TV VARA adalah sebuah pemancar non-pemerintah yang dapat subsidi dari pemerintah Belanda. VARA mengundang aku untuk datang ke studio mereka. Mereka bertanya: Apakah aku bersedia diwawancarai berkenaan dengan usia setengah abad Republik Rakyat Tiongkok? Mengapa aku? Fikirku. Why me? Tetapi pertanyaanku itu tak penting untuk dijawab. Penelpon dari VARA itu kujawab serta merata: ‘Ja Meneer! Ik accepteer uw uitnodiging’. Ya, undangan kalian saya terima.
|
VARA gembira dan segera mengatur menjemput aku di rumah untuk kemudian mengantar kembali pulang. Suatu service istimewa, fikirku. Mengapa? Nyatanya, ketika itu di mancanegara sedang ramai-ramainya media membicarakan tentang Republik Rakyat Tiongkok dan Tiongkok secara umum, berkenaan dengan ulang tahun ke-50 Republik Rakyat Tiongkok. Logis, di Belanda VARA tidak ingin ketinggalan, untuk juga ambil bagian dalam mengomentari Tiongkok Baru. Untuk itu antara lain VARA memanfaatkan aku.
Satu hal yang gencar sekali disasar oleh wartawan VARA yang mewawancaraiku, adalah masalah ‘pelanggaran HAM di Tiongkok’. Kata wartawan VARA itu: Anda punya hubungan baik dengan Tiongkok. Adakah Anda persoalkan masalah HAM dengan pejabat-pejabat Tiongkok? Kebetulan aku bisa jawab langsung. Aku katakan kepadanya, karena aku punya hubungan baik dan bersahabat dengan Tiongkok, aku tidak segan dengan terus terang, langsung dan terbuka bicara mengenai kritik-kritik yang ada terhadap Tiongkok, khususnya yang bersangkutan dengan ‘pelanggaran HAM’.
Dalam tahun 1998 aku mengunjungi Tiongkok (lagi), kataku kepada VARA. Di salah satu tempat di Tiongkok, aku berdialog dengan seorang kader pimpinan Tiongkok setempat, tingkat provinsi. Aku kemukakan kepada pejabat provinsi itu, tentang komentar mengenai pelanggaran HAM di Tiongkok. Sahabatku kader provinsi itu, mendengarkan dengan sabar tentang kritik luar terhadap Tiongkok bersangkutan dengan pelanggaran HAM.
Dengan serius dan nada geram, yang tidak disembunyikan, ia berkata: Orang yang mengeritik kami tentang pelanggaran HAM di Tiongkok, mereka itu tidak benar. Kritrik-kritik mereka itu tidak adil! Puluhan tahun lamanya kami bekerja keras untuk memperbaiki dan memajukan peri kehidupan rakyat Tiongkok. Kami mencapai hasil-hasil yang nyata dalam pembangunan negeri dan kehidupan rakyat yang lebih baik. Ini adalah tugas utama kami, ini adalah tugas menyangkut hak-hak azasi manusia Tiongkok yang harus kami penuhi. Sesungguhnya di Barat dan sementara negeri lainnya, pelanggaran HAM lebih besar dan lebih serius terjadi. Lihat di negeri mereka sendiri. Apakah di negeri mereka itu tidak ada pelanggaran HAM. Jelas ada, bahkan amat besar. Mengapa mereka menjadikan Tiongkok sebagai sasaran utama mereka?
Aku bisa mengerti reaksi sahabat Tiongkok ku itu. Sebelumnya aku juga pernah mengajukan pendapatku kepada Tiongkok mengenai masalah ‘oposisi’ di Tiongkok. Tapi mengenai itu nanti akan dibicarakan belakangan.
* * *
Menyela sedikit.
Sudah beberapa kali aku menulis tentang Tiongkok. Masih saja kurasa ada perlunya menulis lagi, dan menulis lagi tentang Tiongkok. Karena Tiongkok perkembangannya begitu cepat dan banyak yang mengatakan: MENAKJUBKAN. Sahabatku Sugeng Slameto (sayang ia baru-baru ini meninggal dalam ‘usia muda’), belum lama menulis sampai 9 artikel tentang Tiongkok, sesudah dalam musim panas y.l bersama satu rombongan terdiri dari 19 orang Indonesia yang berkunjung ke Tiongkok. Sugeng punya kesan yang baik dan bersahabat tentang Tiongkok. Aku sengaja menekankan sikap bersahabat Sugeng Slameto terhadap Tiongkok. Karena kuanggap sikap itu baik dan tepat.
Memang benarlah apa yang ditulis oleh sejarawan Inggris E.H. Carr (1961), bahwa, sekarang ini orang ingin mengerti, dan mengambil posisi terhadapnya, tidak saja tentang keadaan sekitarnya, tetapi juga terhadap dirinya; dan hal ini telah menambahkan dimensi baru terhadap akal, suatu dimensi baru terhadap sejarah. Abad ini adalah abad yang paling history-minded terbanding abad-abad lalu. Manusia modern sampai derajat yang tak pernah tercapai sebelumnya, sadar akan dirinya dan oleh karena itu sadar-sejarah. Demikian sejarawan E.H. Carr.
* * *
Ada juga yang bilang, Tiongkok sekarang m e n a k u t k a n. Lalu berkampanye tentang bahaya Tiongkok sebagai ‘superpower baru’. Tentang ‘Bahaya Kuning’ ,dsb. Kuingat ketika berkunjung ke Indonesia dalam tahun 2001 dan sempat ngomong-ngomong dengan tokoh nasionalis Ruslan Abdulgani. Beliau menandaskan tentang ‘bahaya mendatang’ yang dihadapi Asia. Bukan Amerika atau Jepang, kata Ruslan. Tetapi Tiongkok. Nah, jangan kaget terhadap pendapat Ruslan.
Jurnalis dan penulis terkenal Amerika Edgar Snow (1905-1972), dalam bukunya RED STAR OVER CHINA (edisi pertama 1936, edisi yang diperbaharui 1972), menandaskan bahwa Tiongkok adalah suatu negeri yang sedang berrevolusi. Suatu ‘REVOLUTION IN THE MAKING’. Revolusi yang mengubah Tiongkok itu, kata Snow, adalah suatu transformasi yang paling hebat di sepanjang 3000 tahun sejarah Tiongkok. Mungkin ada benarnya yang pernah dikatakan mengenai Tiongkok oleh salah seorang negarawan Perancis, Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis dan seorang diktator (1804-1815). Kata Napoleon, di Timur sana ada Singa yamg sedang tidur. Jangan usik! Karena, begitu bangun sang Singa akan menggemparkan seluruh dunia.
Sebab lainnya, yang mendorong aku sekarang ini menulis lagi tentang Tiongkok, ialah dialogku belakangan ini dengan penulis dan penyair, sahabatku, Asahan Aidit. Kami bertukar fikiran mengenai Mao dan buku bestseller penulis Jung Chang dan suaminya Halliday, ‘MAO, THE UNKNOWN STORY. Terima kasih sahabatku Asahan, tanggapan-tanggapan Anda menggugahku untuk menulis lagi tentang Tiongkok.
* * *
Sedikit penjelasan. Mengapa penyiar radio VARA khusus minta aku bicara dengan mereka? ‘Via-via’, akhirnya mereka tahu bahwa aku adalah seorang Indonesia yang pernah duapuluh tahun lebih bekerja dan berdomisili di Beijing (1966-1986).
Sebelumnya, yaitu dalam musim panas tahun 1963 aku bersama keluarga pernah diundang ke Tiongkok. Kami saksikan Tiongkok yang baru saja pulih dari ‘musibah’ yang membawa tidak sedikit korban di kalangan rakyat, dan kerugian ekonomi besar, akibat dilaksanakannya politik ekonomi Partai Komunis Tiongkok yang ternyata salah besar, di bawah Mao Tjetung (Mao Zedong) . Yaitu kebijaksanaan pembangunan ‘Komune Rakyat’ dan ‘Maju melompat besar’ (Great Leap Forward) Tujuannya ialah, untuk dalam waktu singkat dan secepat mungkin membangun Sosialisme di Tiongkok serta melampaui Barat dalam bidang-bidang ekonomi yang penting. Ketika menyimpulkan pengalaman negatif ini, pimpinan Tiongkok sesudah meninggalnya Mao Tjetung, menyatakan bahwa politik ekonomi yang salah itu sumbernya adalah Mao Tjetung, meskipun pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan pemerintah Tiongkok juga menyatakan bahwa mereka tidak bisa ‘cuci tangan’, dan sebagai penguasa lari dari tanggung-jawabnya.
* * *
VARA tahu juga bahwa sejak kami meninggalkan Tiongkok lebih sekali aku berkunjung lagi ke Tiongkok. Dan mungkin tahu juga bahwa aku tetap memelihara hubungan baik dengan teman-orang Tiongkok yang sebidang pekerjaan. Yaitu yang aktif di Komite Tiongkok Untuk Setiakawan dengan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika dan dari Komite Tiongkok untuk Persahabatan dengan Luarnegeri (Youxie) di Beijing.. Bisa saja VARA tahu, juga via-via, bahwa aku kenal dengan sementara tokoh atau pejabat Tiongkok. Aku tidak sembunyikan itu. Itu bukan rahasia. Meskipun, bisa saja macam-macam analisis orang Belanda mengenai kami sekeluarga. Maklum, meskipun Perang Dingin sudah jadi sejarah, tetapi pengaruh dan dampaknya pada fikiran sementara orang, termasuk penguasa di Belanda, masih kuat.
Namun, sebagai warganegara Belanda, aku tidak khawatir akan ‘diapa-apakan’ karena diketahui bersahabat dengan Tiongkok, karena, nyatanya, sekarang ini pemerintah Belanda juga punya hubungan baik dengan Republik Rakyat Tiongkok. Bahkan ingin mengembangkannya.
Aku tidak sembunyikan bahwa aku bersikap bersahabat dengan Tiongkok. Bahwa duapuluh tahun lamanya kami sekeluarga tinggal di Tiongkok Bahwa empat orang putri kami, semuanya bersekolah di Tiongkok. Tiga orang putri kami menamatkan pendidikan di tingkat universitas/akademi, dan yang bungsu baru memasuki tahun pertama akademi ekonomi. Kemudian meneruskan studinya di Belanda.
Meskipun suasana di Belanda, ketika kami baru tiba, masih dalam cengkeraman kultur ‘Perang Dingin’, bukan main curiga pada Tiongiok dan segala sesuatu yang Kiri, ditakuti dan mungkin saja diawasi, tokh tak kusembunyikan sikapku tentang Tiongkok . Seperti biasa ada sementara yang sejak semula mengambil posisi yang ‘hostile’, anti, benci bahkan bermusuhan terhadap Tiongkok. Sebabnya macam-macam. Tidak urgen untuk dimasuki masalah tsb kali ini. Selain yang ‘netral’, ada pula yang mengambil sikap bersahabat atau bisa dikatakan ‘pro-Tiongkok’. Pada periode Perang Dingin, bila diketahui bersikap simpati atau bersahabat dengan Tiongkok, kontan akan dicap ‘Komunis’, atau, kalau itu orang Indonesia akan dituduh anggota PKI.
Sekarang, pada masa pasca ‘Perang Dingin’, sesudah Tiongkok menempuh haluan politik baru, dengan diberikannya kesempatan luas bagi modal asing menanam modal dan berusaha di Tiongkok, memberlakukan ekonomi pasar, dsb., sikap bersahabat dengan Tiongkok umumnya tidak akan dicap sebagai ‘Komunis’ atau PKI. <Mengenai cap ‘PKI’ ini memang tidak relevan, umumnya masyarakat sudah bosan bahkan muak mendengarnya, karena PKI sudah tidak ada lagi. Sementara orang kini menggapnya sebagai hantu, yang sekali tempo bisa menggerayangi rumah mereka dan membahayakannya. Maka dari waktu ke waktu mereka angkat suara: ‘Awas bahaya komunis!’>
* * *
Tak terelakkan ada pertanyaan, mengapa aku, keluargaku yang pernah duapuluh tahun tinggal dan bekerja di Tiongkok, mengambil sikap BERSAHABAT dengan TIONGKOK. Dan pertanyaan ini baik dijawab sebisa-bisanjya. Sejujur-jujurnya. Hubungan persahabatku dengan Tiongkok Baru, dengan aktivis-aktivis Tiongkok Baru, telah dimulai jauh sebelum aku dan keluarga berkunjung ke Tiongkok.
Suatu ketika dalam tahun 1952, bersama seorang kawan lagi, aku diutus ke Kopenhagen, Denmark, untuk mewakili Pemuda Indonesia dalam suatu Konferensi Persiapan untuk Kongres Pemuda Sedunia yang akan berlangsung di Wina, Austria. Di dalam konferensi itulah aku mula berhubungan dan kenal dengan utusan pemuda Republik Rakyat Tiongkok yang hadir dalam konferensi persiapan itu. Kali berikutnya ketika sebagai utusan Komite Perdamaian Indonesia, menghadiri Sidang Biro Perdamaian Dunia (1956) di Wina, hubungan dan kerjasama kami dengan utusan Tiongkok semakin erat. Wajar sekali, bahwa perkembangan hubungan dan kerjasama itu semakin baik. Hal itu adalah pengaruh dari Konferensi Asia – Afrika Bandung (1955) yang historis itu. Dalam Konferensi Bandung, Indonesia dan Tiongkok, telah bekerjasama dengan baik sekali, bersama dengan utusan-utusan dari India, Birma, Mesir dan banyak negeri AA lainnya, sehingga menciptakan syarat yang baik sekali untuk suksesnya Konferensi Bandung yang melahirkan yang dikenal kemudian dengan ‘SEPULUH PRINSIP BANDUNG’. Lahirnya kekuatan ketiga di arena internasional, yang mendorong maju gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Dan yang lebih penting lagi ialah, bahwa kekuatan ini tidak tunduk pada fihak-fihak yang bertarung dalam Perang Dingin ketika itu.
Hubungan kerjasama dan saling bantu dengan utusan Tiongkok paling lama dan intensif ialah ketika aku ditugaskan mewakili Indonesia dalam Sekretariat Tetap Organisasi Setiakawan Rakyat-Rakyat Afrika, yang bermarkas di Cairo, Mesir. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, tahun ke tahun lamanya, utusan Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok bekerjasama, bahu membahu dalam pekerjaan dan kegiatan kami memberikan dorongan dan sumbangan organisasi kami terhadap perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme, untuk kemerdekaan nasional dan pengkonsolidasiannya.
Perubahan drastis di Indonesia, dengan digulingkannya Presiden Sukarno dan berdirinya rezim Orba, menyebabkan kami sekaluarga <atas tawaran Tiongkok> pindah dan bekerja di Beijing.
Kami sekeluarga di Tiongkok bukan sebagai ‘pengungsi politik’ dan juga bukan ‘peminta suaka’ yang kemudian dapat asil di Tiongkok. Aku diundang untuk ambil bagian dalam perkerjaan studi dan riset tentang negeri-negeri Asia dan Afrika di lembaga Tiongkok. Maka kami juga dapat perlakuan sebagai ‘akhli asing’, sebagai ‘eksper asing’ yang banyak bekerja di pelbagai instansi dan lembaga Tiongkok. Aku juga dapat izin untuk menerbitkan buletin penerbitan mengenai Indonesia yang diterbitkan oleh OISRAA, Organisasi Indonesia Untuk Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia, yang kebetulan aku adalah salah satu anggota pengurusnya.
Maka perlakuan baik sekali dan amat bersahabat dari fihak Tiongkok, merupakan penyebab penting, sikapku yang bersahabat dengan Tiongkok. Selain menurut pendapatku, menggalang hubungan baik dan bersahabat dengan Tiongkok adalah menguntungkan dua belah fihak, menguntungkan Indonesia dan juga menguntungkan Tiongkok.
Betapapun kami sekeluarga tidak bisa dan tidak akan melupakan sikap dan perlakuan baik budi serta setiakawan Tiongkok terhadap kami di Tiongkok. Sikap ini dari hati nurani sejujur-jujurnya!
(Bersambung)
Kolom IBRAHIM ISA . 02.28.90.23.01.07
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua