Budaya-Tionghoa.Net | Dr. Geoffrey Wade sebenarnya adalah sebuah nama misterius yang belum dikenal (nobody) dan baru muncul diantara para peneliti dan penulis sejarah Asia Tenggara lainnya seperti, M.C. Ricklefs, Anthony Reid, Charles Coppel , D.G. Hall ,Wang Gung Wu dll. Geoffrey Wade mengaku sebagai seorang ahli sejarah Asia Tenggara dan berasal dari Australia. Dia membuat kejutan, karena pandangannya mengenai armada Cheng Ho yang kontroversial dan negatif dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies) di Singapura pada tahun 2004, yaitu dalam rangka seminar memperingati 600 tahun perjalanan Cheng Ho ke Asia yang jatuh pada tahun 2005.
|
Pada kesempatan itu dia secara langsung menuduh bahwa armada Ming dan Cheng Ho itu bertujuan untuk mendirikan koloni di Asia Tenggara dan merupakan bentuk dari “proto-colonialism, sudah tentu banyak peserta dan ahli sejarah lainnya bertolak belakang dengan pandangannya yang tidak historis ini. Pandangan Geoffrey Wade ini bertentangan dengan kenyataan sejarah karena tak ada negara yang dijajah atau menjadi koloni Cheng Ho ketika itu.
Yang menjadi perhatian orang-orang adalah bahwa argumen yang dibawakan oleh Geoffrey Wade ini bersifat prejudis, tendensius, tidak ilmiah dan a-historis. Sifat Geoffrey Wade sendiri sangat agresif, ketika menyerang secara vulgar buku Gavin Menzies (1421, The Year China Discovered the World) dan buku Paul Chiasson (The Island of Seven Cities: Where Chinese Settled When They Discovered North America?).
Dia menyerang kedua penulis tersebut dengan sengit dan vulgar. Kritik terhadap kedua buku tersebut lebih mirip dengan argumen seorang politikus daripada seorang ilmuwan yang lazimnya berlaku, termasuk serangan terhadap penerbitnya sendiri. Dia mengaku sebagai seorang ilmuwan sejarah tetapi argumen-argumennya bertendensi sarat dengan muatan politik. Intinya adalah bahwa Geoffrey Wade ingin mengatakan bahwa negara Asia Tenggara harus hati-hati dan waspada dengan Tiongkok sekarang, karena Tiongkok sejak jaman dahulu dalam sejarahnya adalah sebuah kekuatan yang agresif yang ingin menjajah
atau mengkoloni negara Asia Tenggara.
Terkesan bahwa Geoffrey Wade ini secara implisit membawa misi atau tujuan politik terselubung untuk kepentingan Amerika dan sekutunya Australia yang khawatir akan perkembangan Tiongkok sekarang, karena dengan cerdik dia memanfaatkan momentum dan kesempatan pada forum pertemuan internasional ISEAS yang bergengsi di Singapura ini. Seolah- olah pandangan atau persepsi yang mewakili golongan intelektual di Asia Tenggara , karena selain ISEAS yang dianggap sebagai Think Tank studi masalah Asia Tenggara, juga dihadiri oleh para peserta seminar dan intelektual dari mancanegara lainnya dan Asia Tenggara khususnya.
Sudah tentu pandangan Geoffrey Wade ini bergema, dicetak dan disiarkan dengan cepat dalam beberapa media Barat , seperti International Herald Tribune, dll. Seolah-olah pandangan Geoffrey Wade ini membenarkan pandangan Barat, CIA dan Pentagon yang menganggap bahwa kebangkitan Tiongkok sekarang adalah sebuah ancaman bagi negara-negara lainnya dan Asia Tenggara khususnya, karena sejarahnya memang sudah imperialistik katanya.
Pandangan politik dari Geoffrey Wade ini juga terkesan munafik, karena negaranya sendiri yaitu Australia adalah sebuah negara yang dahulunya adalah sebuah benua (bukan benua kosong) dengan penduduk asli Australia (Aborigin) yang dikoloni oleh orang-orang kriminal Inggris (nenek moyangnya Geoffrey Wade). Kedudukan politik, sosial dan ekonomi orang-orang Aborigin sampai sekarang sangat tertinggal dan terbelakang dibandingkan dengan penduduk kulit putih Australia lainnya, dan dalam sejarahnya penduduk Aborigin Australia ini mengalami genocide, tanahnya dirampas, diskriminasi sosial dan budaya, sehingga populasinya menurun dari sejak kedatangan orang kulit putih kesana.
Australia juga diketahui sebagai centeng atau sheriff-nya Amerika di kawasan Asia dan dalam setiap peperangan agresi yang dilancarkan oleh Amerika Serikat, tentara Australia sebagai junior partnernya Amerika selalu mendampinginya dengan setia untuk mendukungnya seperti dalam perang Korea, Vietnam, Afghanistan dan Iraq. Di Timor Leste juga bukan karena simpati kepada penderitaan rakyatnya, melainkan demi kepentingannya sendiri yaitu kekayaan alamnya seperti minyak bumi bawah laut di Timor Gap.
BAGIAN II