Australia juga mengintervensi negara-negara kepulauan di Pacific Selatan seperti di PNG dan Pulau Solomon. Baru-baru ini Australia dan negara-negara Barat lainnya juga mengancam negara Fiji untuk memboikotnya kalau tidak tunduk dengan keinginan politik dan kepentingan Australia serta Barat, sedangkan kudeta di Thailand, Australia dan Barat reaksinya berbeda, dan kebetulan Thaksin hubungannya terlalu dekat dengan Tiongkok (Asia Times, US, China square off, By Shawn W Crispin). Kalau AS menganggap negara-negara Amerika Selatan sebagai halaman belakangnya, maka Australia menganggap negara-negara kepulauan Pacifik Selatan juga sebagai halamannya sendiri (sphere of influence) yang setiap saat dapat diintervensi, kalau sekiranya akan merugikan kepentingannya atau AS.
Pendapat Geoffrey Wade yang mengatakan bahwa armada Cheng Ho dan Ming adalah sebagai salah satu bentuk “proto colonialism” dalam seminar itu dibantah oleh beberapa peserta seminar lainnya, seperti Dr. Leo Suryadinata, penulis beberapa buku tentang Tionghoa di Indonesia, yang juga menjabat sebagai peneliti senior di ISEAS. Dikatakan oleh Dr. Leo, bahwa hubungan Tiongkok dengan beberapa kerajaan di Asia Tenggara adalah sebagai bentuk hubungan “tributary- trade system”, kerajaan-kerajaan ini memberi upeti ke Tiongkok (Ming) sebagai imbalan atas perlindungan militer dan keuntungan perdagangan. Bukan hubungan kolonialisme seperti yang dipraktikkan oleh negara Barat, seperti ketika Portugis datang dan menaklukkan Malaka pada tahun 1511, demikian juga dengan negara-negara Barat lainnya (Belanda, Inggris, Spanyol, Perancis) di Asia.
Apakah Geoffrey Wade ini sebenarnya menguasai sejarah Asia Tenggara atau memang sengaja ingin memutarbalikkan fakta sejarah demi suatu tujuan politik tertentu atau seorang politikus Barat yang menyamar atau berkedok sebagai seorang ilmuwan (pseudo scientist), menjadi tanda tanya tersendiri, karena seperti halnya dengan Malaka dan Palembang. Geoffrey Wade mengatakan bahwa armada Cheng Ho telah mengintervensi militer ke Palembang, Malaka, Jawa dan Ayutthaya di Thailand untuk mendirikan basis militer, perdagangan (hanya ini yang benar) serta pemerintahan despotis (guanchang) disana !!
Yang ditulis dalam buku-buku sejarah yang berbobot seperti “A History of South-East Asia” (D.G.E.Hall), “The Cambridge History of Southeast Asia” ( 4 volume, edited by Nicholas Tarling) dan “A History of Malaysia” (Barbara Watson Andaya and Leonard Y.Andaya) bertolak belakang dengan pandangannya. Disebutkan dalam buku-buku tersebut bahwa Malaka yang raja pertamanya bernama Parameswara ketika itu (namanya diganti menjadi Megat Iskandar Shah, ketika memeluk Islam dikemudian harinya) meminta perlindungan dari Ming karena adanya ancaman dari Ayutthaya (Thailand sekarang).
Pada tahun 1404, utusan atau duta pertama dari Malaka bersama dengan utusan dari Samudra Pasai dan Calicut datang berkunjung ke kaisar Yongle di Tiongkok dan ketiganya mendapatkan pengakuan dari Dinasti Ming sebagai penguasa atau kepala negara yang diakui sah oleh Ming. Sejak itu Malaka mendapatkan perlindungan dari Ming. Kaisar Yongle juga menghadiahkan sebuah prasati yang bertuliskan tentang moral dan filsafat politik dari Dinasti Ming yang kemudian diletakkan diatas sebuah bukit di Malaka (bukit negara). Malaka sendiri telah dikunjungi beberapa kali oleh Cheng Ho dalam perjalanannya sampai tahun 1434.
Setelah itu, Malaka berulang kali mengirim duta-dutanya ke Tiongkok (termasuk Parameswara sendiri) dan Cheng Ho diketahui tidak pernah menginvasi dan mendirikan basis militer atau mendirikan pemerintahan boneka yang despotis di Malaka, malahan Cheng Ho memberikan kepada raja Malaka dengan hadiah cap/stempel perak, topi, pakaian kebesaran dll. Bertolak belakang dengan Cheng Ho, Alfonso de Albuquerque (Gubernur Jenderal Portugis di Goa, India) yang merebut Malaka pada tahun 1511 merampok semua kekayaan Kesultanan Malaka (emas, batu berharga, keramik dll, seberat 60 ton), menghancurkan istananya , lalu memuatinya kedalam kapal “Flor de la Mar” , tetapi karena terlalu berat muatannya dan dihantam ombak besar, maka kapal ini berikut harta jarahannya tenggelam di perairan dekat Aceh ketika dalam pelayaran kembali ke Goa, sedangkan de Alburquerque sendiri dapat menyelamatkan diri.
Di Palembang, Cheng Ho datang untuk menangkap dan membasmi bajak laut terkenal yang ditakuti di perairan Selat Malaka dan Selat Karimun yaitu Chen Zhu Yi yang berasal dari Propinsi Guangdong lalu dibawa ke Tiongkok dan dihukum mati disana. Disini Cheng Ho berjasa memulihkan kembali keamanan jalur pelayaran dan perdagangan internasional di Selat Malaka. Salah satu jasa yang terbesar dari armada Cheng Ho ini adalah menumpas bajak laut di berbagai perairan internasional, seperti di Laut Tiongkok Selatan, Selat Malaka sampai ke Teluk Oman dan Selat Hormuz, seperti yang pernah diberitakan dalam catatan sejarah Persia abad ke 15.
Menarik untuk diperhatikan juga, bahwa tradisi bajak laut di Selat Malaka yang berbasis di Palembang ini sampai kini masih kadang- kadang terjadi di Selat Malaka.Pembajakan kapal-kapal dagang ini sering dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari daerah sekitar Palembang ! suatu tradisi yang hampir berumur 600 tahun yang dimulai oleh Chen Zhu Yi (pernah ditulis peranan orang sekitar Palembang yang menjadi bajak laut dalam majalah Time)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua