SEMINAR NASIONAL
ARSITEKTUR TIONGHOA DI JAWA
8 JUNI 2012
UNIVERSITAS TARUMANAGARA – JAKARTA
BONG 墓, KENG 間 DAN BIO 廟
ARSITEKTUR TIONGHOA DI JAWA
Dalam beberapa tahun terakhir ini, perhatian kepada budaya dan arsitektur Tionghoa semakin marak, semakin banyak pula yang membahasnya dari berbagai segi. Namun di bidang arsitektur nampaknya belum cukup mendapatkan perhatian dan perlakuan dari kaum akademisi, sehingga wacananya belum terbentuk dengan kokoh. Arsitektur Tionghoa menarik karena pada dasarnya adalah arsitektur hibrid atau campuran, yaitu hasil percampuran antara kebiasaan dan adat, bahan dan teknologi, serta cara/ gaya hidup dari tempat asalnya dengan yang setempat. Percampuran ini semakin menarik karena seringkali masih bisa dilacak asal-usulnya, berbeda dengan arsitektur kesukuan lain yang masa awalnya kebanyakan tertelan kabut waktu. Pertemuan ini ingin menjadi langkah awal bagi terbangunnya suatu bidang kajian baru, yaitu Arsitektur Tionghoa sebagai bagian khazanah Arsitektur Indonesia.
Orang-orang Cina datang dalam jumlah besar ke Jawa sejak awal abad 17 dan memegang peran penting dalam pembangunan kota-kota pesisir Utara. Oleh karena itu kehadiran Arsitektur Tionghoa paling terasa di kawasan tersebut. Sebagian dari para pendatang ini kembali ke tempat asalnya setelah berhasil mengumpulkan bekal; tetapi keturunan mereka -dengan wanita Jawa- lah yang menjadi masyarakat Tionghoa, terutama akibat kebijakan politik penjajahan Belanda yang segregatif. Arus kedatangan ini melonjak pada perempat terakhir abad ke 19 sampai pertengahan abad 20, bersamaan dengan bangkitnya nasionalisme di Asia, menajamkan identitas budaya di tengah keruwetan sosial-politik di setengah abad berikutnya.
Daerah asal mereka, kebanyakan terbatas pada propinsi Fujian dan Guangzhou, sehingga adat dan kebudayaan penduduk di kawasan inilah yang paling besar pengaruhnya. Kebanyakan dari mereka berasal dari lapisan masyarakat petani dan nelayan yang buta huruf, jadi mereka lebih mewakili masyarakat pendukung kebudayaan rakyat, bukan kebudayaan bangsawan, yang sering menjadi stereotype.
Arsitektur Tionghoa sebagian terbesar dibentuk oleh tiga unsur yang paling erat berhubungan dengan kehidupan masyarakatnya, yaitu bong (墓 kuburan), keng (間 rumah petak), dan bio (廟 kelenteng). Rumah petak menjadi pusat kehidupan keluarga dan terutama awal usaha mereka. Benar bahwa kebanyakan pendatang pada awalnya tinggal di rumah seadanya dan sebagian kecil yang berhasil berdiam di rumah mewah, tetapi bagian terbesar masyarakat, juga unsur pembentuk kawasan, adalah rumah petak. Kelenteng adalah pusat kehidupan sosial, budaya dan keagamaan; identitas sekaligus jangkar kehidupan mereka melekat pada bangunan ini. Kuburan penting sekali karena orang Tionghoa percaya bahwa kematian adalah sekedar lanjutan kehidupan sekarang, sehingga saling mempengaruhi. Bahkan jika dalam dunia ini orang dapat berpindah kediaman, maka dalam kematian kuburan adalah kediaman abadi. http://www.facebook.com/groups/budaya.tionghoa/permalink/10150934072712436/
http://ars50.tarumanagara.ac.id/index.php/seminar-nasional.html