sumber foto ilustrasi : cgtn
Budaya-Tionghoa.Net | Bukti sebenarnya sudah cukup banyak yang mengungkapkan tentang kejahatan perang Jepang itu, tetapi pemerintah Jepang sampai kini tetap menyangkal perbuatannya atau sudah tidak bersikap “Bushido” lagi untuk mengakui dosanya.. Di tahun 2007 , PM Jepang Shinzo Abe juga menyangkal tentang adanya perbudakan sex yang dikatakan pada bulan Maret tahun tersebut. Para ahli sejarah memperkirakan sekitar 200.000 wanita dijadikan budak sex oleh tentara Jepang pada perang dunia ke II, mereka para korban berasal dari berbagai bangsa seperti Tiongkok, Korea, Indonesia dan Filipina dll.
Read more: Nasib Wanita Dibawah Pendudukan Jepang Di Masa Perang Dunia IIKantor berita Jepang Kyodo (2007) sendiri melaporkan adanya sebuah dokumen yang mengungkapkan tentang adanya kamp-kamp penampungan di Indonesia yang digunakan sebagai tempat untuk mengerjakan dan memaksa wanita Indonesia dan Belanda melayani nafsu sex tentara Jepang pada perang dunia ke II.
Dokumen ini berasal dari arsip pemerintahan Belanda yang dibuat berdasarkan sebuah testimoni dari seorang wanita Belanda di tahun 1946 . Wanita yang berumur 27 tahun ini menceritakan tentang kamp wanita pekerja sex paksa di Magelang, Jawa Tengah ketika itu. Wanita- wanita di kamp itu dinamakan dengan sinis oleh Jepang dengan sebutan euphemisme “Jugun Ianfu” atau “comfort woman”.
Dokumen ini disebutkan juga pernah diajukan sebagai bukti dalam sidang pengadilan penjahat perang Jepang di Tokyo atau disebut “Tokyo War Crimes Tribune” (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6646297.stm).
Tetapi seperti halnya dengan pengadilan tribunal Nuremberg yang mengadili penjahat perang Nazi pada perang dunia ke II, tidak semua penjahat perang tersebut dikenakan hukuman yang setimpal atas kejahatannya. Beberapa diantara yang bertanggung jawab diketahui belakangan hari dibebaskan secara diam-diam untuk dimanfaatkan demi kepentingan sekutu atau Amerika dalam menghadapi perang dingin yang mendatang.
Kaisar Hirohito sendiri sebagai pimpinan tertinggi Jepang dan yang bertanggung jawab atas kejahatan perang itu dibebaskan dari tuduhan dan malah dirangkul oleh Jenderal Mac Arthur.
Jepang sekarang tidak hanya dihujati kritikan oeh negara-negara Asia yang menjadi korban kejahatannya saja, tetapi juga harus menghadapi kritikan dari Kongres Amerika sendiri. Disponsori oleh beberapa anggautanya, Kongres Amerika mengeluarkan sebuah resolusi yang menuntut permintaan maaf dari pemerintah Jepang kepada negara-negara dimana kaum wanitanya menjadi korban kejahatan sex tentara Jepang yang dilakukannya di perang dunia ke-II.
Tetapi seperti biasanya Jepang tidak menggubris resolusi tersebut dan Menlu Jepang Taro Aso menyangkalnya dengan mengatakan bahwa perbudakan sex itu tidak ada buktinya. Sama seperti halnya dengan penyangkalannya terhadap kejahatan perang yang dilakukannya pada pemerkosaan Nanking (The Rape of Naking) di tahun 1937, dimana didalam buku sejarahnya hanya tertulis sebagai insiden Nanking saja.
Berbeda dengan bangsa Jerman yang berani mengakui tanggung jawabnya atas kekejaman yang dilakukan oleh rezim Nazi di perang dunia yang lalu, dan mengambil jarak dengannya.
Kini Jerman dapat berintegrasi dengan baik dalam Uni Eropah tanpa masalah, sebaliknya Jepang hingga kini belum mau secara resmi mengakui kekejaman yang dilakukan oleh tentaranya dan lembaran- lembaran hitam sejarah masa lalunya ini dihapus dalam buku pelajaran sejarahnya.
Disamping itu Jepang juga menolak atas tuntutan ganti rugi kepada wanita-wanita yang menjadi korbannya. Hal inilah salah satunya yang menyebabkan beberapa negara Asia yang menjadi korban kekejamannya menolak keinginan Jepang untuk duduk dalam Dewan Keamanan PBB, karena Jepang tidak mau mengakui tanggung jawabnya sebagai warga dunia yang beradab atas tindakan kebrutalan masa lalunya.
Jadi walaupun Jepang telah kalah dalam perang dunia ke dua, tetapi spirit militerismenya masih terpelihara, seperti kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh beberapa pejabat negaranya ke kuil Yasukuni, tempat pemujaan arwah penjahat perang kelas A.
Selama penjajahan Jepang di Indonesia yang mengaku sebagai saudara tua, banyak wanita Indonesia menjadi korban kejahatannya dan dijadikan budak sex oleh tentaranya.
Nasib penderiataan bangsa Indonesia dan wanitanya ini pernah diangkat beberapa kali kedalam layar putih oleh beberapa sineas Indonesia, tetapi pementasan film ini tidaklah semuanya dapat berjalan mulus tanpa halangan, terutama ketika masih jaman Orba.
Pernah pada tahun 1972 akan diputar sebuah film Indonesia tentang Romusha , tetapi karena atas tekanan (ancaman) pemerintah Jepang ketika itu, maka Film tersebut dilarang beredar (sensor) oleh oleh Deppen. Indonesia terpaksa tunduk dan menuruti kemauan Jepang, karena ketergantungan atas bantuan ekonominya dari Jepang yang dianggap dapat mengganggu hubungan antara kedua negara. (maksudnya akan dihentikan bantuannya).
Intimidasi-intimidasi dari Jepang atau Wako (Wokou) ini yang hendak menutup-tutupi kejahatan perangnya, tidak dapat menghentikan keinginan para sineas Indonesia untuk memproduksi sebuah film yang mengisahkan penderitaan bangsa Indonesia pada jaman penjajahan Jepang, selain itu Indonesia juga sudah tidak dapat diintimidasi oleh Jepang lagi.
Pada tahun 1983 dirillis sebuah film “Budak Nafsu” yang disutradarai oleh Sjuman Djaya dan dibintangi oleh El Manik dan Jenny Rachman. Film ini menceritakan tentang penderitaan seorang wanita Indonesia yang dipaksa menjadi budak nafsu tentara Jepang.
Kemudian pada tahun 2002 dirillis Film “Ca Bau Kan”, yang diangkat dari novel Remy Sylado, dan disutradarai oleh Nia Dinata serta dibintangi oleh Ferry Salim, Alex Komang, Lola Amaria dll.
Dalam salah satu episode film “Ca Bau Kan” ini ditayangkan penganiyaan seorang wanita Indonesia yang bernama Tinung yang diperkosa dalam ruang gelap beralas jerami oleh tentara Jepang. Penderitaan Tinung dalam film ini mampu menguak ingatan bangsa Indonesia terhadap prilaku tentara Jepang di tanah air 62 tahun yang silam.
Golden Horde , 26141
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa