Budaya-Tionghoa.Net| Tergugah oleh tulisan yang sangat bagus sekali oleh rekan Hoedjin Tjamboek Berdoeri . Dahulu jarang sekali ada orang Tionghoa yang terlantar. Karena bila ada orang Tionghoa yang terlantar, baru datang dari kota lain, ataupun anak menjadi yatim piatu karena ditinggal mati orng tuanya, orang Tionghoa lain selalu datang menolong.
|
Pertama melihat snenya (she atau seh) atau marganya. Kalau dia sne Tan, biasanya dibawa dan diserahkan kepada orang sne Tan lagi. Kalau ia adalah sne yang jarang, misalnya sne Ting, dan di daerah itu tak ada sne Ting, maka akan ditanya kampung leluhurnya. Kalau dia datang dari Kabupaten Nam’wna (Nam’oa), ia akan dibawa kepada orang sekampungnya dan akan diterima dengan baik, apalagi kalau ada orang sama kampungnya, langsung dianggap keluarga.
Kalau sekabupatenpun tak ada maka yang dilihat adalah dialeknya, orang Hokkian akan dibawa ke Hokkian Huekuan (persatuan orang Hokkian) , orang Hakka akan dibawa ke perkumpulan orang Hakka dsb. Mereka biasanya ditanggung ramai-ramai oleh teman sedialek, biaya ditanggung bersama, ada yang memberi pekerjaan, ada yang memberi tempat tinggal dsb.
Karena itulah, pada masa saja muda, kita cuma kenal kalau orang Konghu pasti tukang kayu, kalau orang Hakka atau Kheq toko potret, orang Hokchnia adalah pengusaha pabrik tenun. Ini disebabkan mereka dididik di sana. Misalnya yang tadinya petani murni, dikerjakan di perusahaan kayu, lalu menjadi ahli, setelah itu ia dibantu untuk bisa berdikari jadi tukang kayu lagi.
Persatuan yang demikian kuat telah menyebabkan orang Tionghoa tidak ada yang terlantar. Kalau waktu itu kita lihat ada orang terlantar, pasti orang yang tidak jujur. Ia menipu atau mencuri. Sekali curang, orang tak mau mengakuinya lagi, dan ia akan terkucil dari masyarakat Tionghoa.
Oleh karena itu, timbul istilah “guanxi (baca kuansi) dan xinyong £¨baca sin-yung)”, yang artinya hubungan pribadi dan kepercayaan. Antara orang Tionghoa sering menyerahkan uang puluhan juta tanpa minta tanda bukti, ini xinyong, sebab yang menerimapun tak akan mungkir.
Seorang pengusaha sering membayar gaji karyawannya tanpa tanda tangan. Saling percaya. Lupa bisa terjadi, kadang si boss bertanya, “eh, gajimu sudah saya bayar belum bulan ini.” Si karyawan pun akan menjawab sudah kalau benar sudah dan menjawab belum kalau memang belum.
Etika bisnis ini telah menyebabkan transaksi semakin cepat. Saya sendiri tak sadar, bahwa kebiasaan ini tidak lazim untuk bangsa lain. Ketika sudah bekerja di sebuah perusahaan asing, seorang manager bilang: ” Orang Tionghoa Glodok itu aneh, di antara mereka dengan telpon saja minta dikirim barang, langsung dikirim, tanpa order tertulis, tapi tak pernah kedengaran ada yang mungkir.”
Karena budaya Tionghoa sudah luntur sekarang, budaya guanxi dan xinyong juga memudar. Meskipun demikian di antara kelompok tertentu masih ada dan masih hidup.
Seorang periset US menemukan seorang bisnisman Tionghoa Filipina menyerahkan cek senilai 1 juta dollar US tanpa tanda terima! Ia kaget, nama orang tersebut tidak disebut. Kemudian dari berbagai literatur dan lain-lain saya mengambil kesimpulan ia adalah Lucio Tan, salah seorang pemilik saham Fiilpine Airline.
Saya pernah mendengar sendiri percakapan pedagang di emper toko di tikungan jalan ABC Bandung, ia bilang : Orang Cina aneh, duitnya banyak benar, kemarin ini tokonya habis dirusak (tahun 1963), sekarang sudah buka lagi dan barangnya banyak seperti dulu!”
Mereka tidak tahu, toko yang barangnya dijarah habis, supplier segera mengirim stok baru, sebelum stok lama dilunasi, agar toko itu hidup kembali. Kalau toko tidak disupply lagi, toko itu akan bangkrut, utang tak terbayar, maka supplierpun rugi. Dengan diberi supply baru, toko mampu membayar utang baru , lalu utang lama di cicil sedikit demi sedikit, toko hidup terus, supplier hidup terus. Risiko? Anda menaruh barang tanpa ada jaminan! Jawabnya risiko menjadi kecil dengan adanya budaya xinyong.
Pernah saya membuat tulisan yang cukup banyak membahas mengapa orang Tionghoa hidup terus dalam situasi yang sangat sulit, situasi yang kacau, bahkan jadi sasaran serangan dan penjarahan?
Saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi, mulia dari “Semangat Kakek Dungu Memindahkan Gunung,” [link cerita 1 , 2] , Guanxi dan Xinyong, Budaya hubungan antar teman dan famili (para ahli dalam filsafat Khong Hu Cu sebetulnya akan lebih kompeten daripada saya), sampai tambak udang yang kena banjir di Ciohsai (kota Shishi) di Tiongkok, yang sekarang merupakan kabupaten termaju di seluruh propinsi Fujian disusul oleh kota Fuqing, tanah leluhur orang Hokchnia Indonesia.
Maksud saya agar budaya ini menjadi terbuka dan dipelajari oleh semua bangsa Indonesia bukan orang Tionghoa saja, dengan demikian iklim bisnis di Indonesia akan maju pesat dalam perdagangan dalam maupun luar negeri. Tapi tulisan saya tidak dimuat habis, karena (dianggap) terlalu menonjokan keunggulan Tionghoa………!
Maaf, sejak itu sayapun tak menulis lagi kecuali menulis “Kakek Dungu Memindahkan Gunung” dan ” Gan Ou anak berbakti. Asal usul sebuah kampung miskin yang sekarang menjadi pusat retail nomor satu di Tiongkok, kota Yiwu” di milis ini.
Itupun dengan nada yang sangat hati-hati. Mudah-mudahan dengan berubahnya zaman, tulisan saya ini tidak akan menjadi bulan-bulanan serangan rekan lain. Saya tak akan membalas dan tak bersedia berdebat tentang ini, silahkan anda telaah sendiri.
Salam
Liang U , 25782
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa | Mailing-List Budaya Tionghua