Budaya-Tionghoa.Net | Tuturan santai ini, adalah kelanjutan dari serentetan tulisanku berjudul ‘TIONGKOK YANG KUKENAL‘. Ia dimaksukan sebagai suatu pembeberan dan refleksi kesan-kesan mengenai Tiongkok. Begitu banyak komentar dan tulisan; begitu beragam buku, film dan hasil karya seni, mengenai satu negeri itu: — Tiongkok. Kalau kita baca bahan-bahan yang banyak ditulis orang tentang Tiongkok dan bangsa Tionghoa yang berdiam di Republik Rakyat Tiongkok daratan (mainland) , — sungguh menakjubkan. Karena, begitu beraneka ragam dan bervariasi posisi dan titik tolak serta pendapat orang mengenai negeri dan bangsa berkebudayaan kuno itu. Begitu memancing orang untuk berargumentasi.
|
Sebagai contoh: Tentang nama saja, apakah negeri itu tepatnya disebut Tiongkok atau Cina, — atau lebih baik dinamakan China (mengikuti orang Inggris), mengenai itu saja sudah ada perbedaan pendapat. Begitu juga mengenai nama apa yang semestinya digunakan untuk menyebut bangsa itu, apakah bangsa Tionghoa, bangsa Chinese atau bangsa Cina?
Penyebutan nama menjadi ramai dibicarakan lagi, terutama sesudah jatuhnya Presiden Suharto. Asal-muasal timbulnya soal, dimulai pada mula kekuatan militer di bawah Jendral Suharto menggeser Presiden Sukarno, mengambil oper kekuasaan atas Republik Indonesia, dan mendirikan Orde Baru. Orang tidak akan melupakan suasana tegang dan mengenaskan, menyinggung rasa harga diri dan perasaan, ketika pemerintah Orba melarang penggunaan bahasa Tionghoa, tidak membolehkan nama-nama Tionghoa digunakan untuk toko-toko, jalan-jalan dan apa saja. Suratkabar dan penerbitan lainnya dalam bahasa Tionghoa ditutup. Juga sekolah-sekolah Tionghoa dihentikan. Bahkan nama orangpun dengan satu atau lain cara diusahakan oleh penguasa supaya diubah, dari nama Tionghoa, menjadi nama ‘a s l i’ Indonesia.
Apapun alasan atau dalih yang dikemukakan untuk membenarkan politik Orba demikian itu, inti sari kebijaksanaan Orba itu adalah DISKRIMINASI dan RASISME yang ditujukan terhadap warganegara Indonesia turunan etnis Tionghoa. Dengan sendirinya muncul pula dampak negatifnya terhadap hubungan kenegaraan kedua negeri
* * *
Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang diajukan mengenai Tiongkok dan bangsa Tionghoa (khususnya) yang di daratan, —– bertolak dari suatu sikap yang merasa ‘takut’ terhadap Tiongkok. Sebab, fihak-fihak yang dulu menguasai, mendominasi dan mengeksploitasi Tiongkok, menyaksikan bagaimana Tiongkok yang sekarang ini, bukan lagi ‘the sick man of Asia‘. Bukan lagi Tiongkok ‘tempo doeloe’, tetapi Tiongkok Baru yang lain samasekali. Tiongkok yang sekarang ini, sejak 1 Oktober 1949, sudah menjadi suatu kekuatan politik, ekonomi dan militer di Asia yang selalu harus diperhitungkan. Terutama oleh Amerika, Jepang dan Eropa, yang begitu lama mendominasi Asia sebelum Perang Dunia II.
Mencerminkan kekhawatiran yang begitu mendalam, sehingga ada yang menamakan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai ‘the new superpower’, ‘negara adikuasa yang baru’. Makanya, kata mereka, Tiongkok harus ‘diwaspadai’. Kekhawatiran dan ketakutan tersebut terutama disebabkan oleh berdirinya suatu Tiongkok yang kuat yang berani melawan setiap usaha untuk mendominasinya. Bertambah besar kekhawatiran itu, dalam tahun-tahun belakangn ini disebabkan oleh cepat lajunya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, yang luar biasa sejak Deng Xiaobing memegang tampuk pimpinan pemerintah dan negara. Dengan bertambah kuatnya ekonomi Tiongkok, juga kekuatan militernya ditakuti. Ketakutan dan kekhawatiran itu, bila ditelurusuri ke belakang, hal itu tak lepas dari konsep dan strategi ‘politik perang dingin’. Dikatakan juga kekhawatiran itu disebabkan oleh semangat ‘politik perang dingin’ dalam kondisi dan situasi baru.
Politik ‘perang dingin’ di Asia, sejak semula, terutama ditujukan terhadap Republik Rakyat Tiongkok. Mengapa RRT dijadikan sasaran utama strategi ‘perang dingin’ fihak Barat, di Asia, — sebab utamanya ialah, karena Tiongkok ada dibawah kekuasaan Partai Komunis. Sebagai negeri yang dipimpin oleh Partai Komunis, diperhitungkan pasti ada dalam satu blok dengan Uni Sovyet (sebelum Sino-Soviet Split) . Menurut Barat Blok Sovyet dalam persaingannya dengan blok Barat punya ambisi untuk menghancurkan Barat dengan sistim ekonomi kapitalisnya, kemudian menguasai dan mengkomuniskan seluruh dunia.
Perkembangan kemudian ternyata menunjukkan bahwa, perhitungan Barat itu meleset samasekali. Ternyata RRT adalah suatu negara, suatu kekuatan di Asia yang tidak tunduk pada siapapun. Tidak (lagi) tunduk pada Barat atau pada Jepang seperti pada periode sebelum Perang Dunia II. Dikatakan bahwa di dalam blok Sovyet dimana RRT tergabung, pemimpinnya adalah Uni Sovyet. Nyatanya RRT tidak tunduk pada Uni Sovyet. Tiongkok bukan saja bertolak-belakang dengan Uni Sovyet, tapi, bahkan sampai terlibat dalam konflik bersenjata dengan Uni Sovyet. Yang dikenal sebagai perang perbatasan antara RRT dan Uni Sovyet(1969).
Ditelaah secara seksama, konflik-konflk militer, yang terjadi antara RRT dengan tetangga-tetangganya, seperti dengan India (1962), kemudian dengan Sovyet(1969) lalu dengan Vietnam Utara (1979), — semua itu adalah konflik-konflik militer atau perang yang menyangkut masalah perbatasan. Semua itu adalah perang perbatasan. Daerah atau wilayah tertentu yang dikuasai oleh Tentara RRT ketika perang perbatasan dengan India, dengan Sovyet maupun dengan Vietam Utara, — itu semua menyangkut masalah perbatasan. Perang dimana terlibat RRT itu semua bukan perang agresi untuk menguasai negeri lain. Makanya, melalui perundingan damai, bisa dicapai penyelesaian, meskipun belum sepenuhnya tuntas.
Bisalah disimpulkan bahwa konflik-konflik militer itu, semua menyangkut masalah yang merupakan problem sisa-sisa zaman ketika imperialisme menguasai Tiongkok dan Asia. Ketika wilayah Tiongkok dikacau dan dibagi-bagi, perbatasan serta daerah pengaruh ditentukn seenaknya oleh imperialisme. Sedangkan bagian-bagian tertentu dari wilayah Tiongkok menjadi daerah konsesi negeri asing tsb, atau bahkan menjadi koloni seperti Manchuria (dikuasai Jepang), Hongkong (jadi koloni Inggris) dan Macau (jadi koloni Portugis).
Bahkan ‘Perang Korea’ (1950-1953), yang mulanya terjadi antara Korea Selatan versus Korea Utara, kemudian berkembang menjadi suatu peperangan terutama antara Tiongkok-Korea Utara dengan bantuan Sovyet, melawan AS-Korea Selatan dan sekutu-sekutu Barat. Dalam Perang Korea, RRT menurunkan ‘Tentara Sukarelawan’-nya, sesungguhnya adalah untuk MENJAMIN KEAMANAN PERBATASAN di sepanjang Sino-Korean. Bisa diasumsikan bahwa bagi Tiongkok, Perang Korea samasekali tidak ada sangkut pautnya dengan usaha untuk mencaplok wilayah negeri lain, apalagi sebagai usaha untuk ‘menyebarkan faham Komunisme’.
* * *
Politik Barat terhadap Tiongkok itu dikenal populer sebagai ‘China containment policy’, ‘politik mengekang Tiongkok’. Dari perumusan itu, orang didorong untuk menyimpulkan bahwa Tiongkok itu adalah suatu kekuatan yang agresif. Padahal sejak seratus tahun ke belakang, Tiongkok selalu didominasi dan dieksploitasi oleh imperialisme Barat dan Jepang. Pernah pula Tiongkok di intervensi oleh belasan tentara intervensionis asing, dengan tujuan untuk membagi-bagi serta mendominasi dan mengeksploitasi Tiongkok. Tokh gampang-gampangan saja sementara fihak menuduh Tiongkok itu sejak dulu agresif dan berambisi untuk menguasai
negeri lain.
* * *
Ketika dilangsungkan Konferensi Asia-Afrika yang bersejarah di Bandung (1955), Perdana Menteri Zhou En-lai, dengan jelas sekali mengutarakan politik luarnegeri Tiongkok. Politik luarnegeri Tiongkok, bertolak dari prinsip-prinsip yang kemudian dirumuskan oleh Presiden Sukarno (Indonesia), PM Nehru (India), PM U Nu (Birma), John Kotelawala (Ceylon) dan PM Ali Khan (Pakistan), bersama dengan 24 negeri-negeri Asia dan Afrika lainnya, dalam PRINSIP-PRINSIP BANDUNG, 10 Prinsip Hidup Berdampingan antara negeri-negeri yang merdeka dan berdaulat.
Dokumen bersejarah Konferensi Asia-Afrika Bandung mencatat, kata-kata PM Zhou Enlai dalam Konferensi, a.l., sbb: Delegasi Tiongkok datang ke Konferensi Bandung dengan kehendak kuat untuk perdamaian dan persahabatan. Disebabkan oleh serangan-serangan yang dilontarkan oleh sementara delegasi, dimana hadir Delegasi Tiongkok, yang ditujukan terhadap komunisme sebagai ‘diktatorial’dan ‘neo-kolonialisme’, bahkan mencurigai Tiongkok melakukan kegiatan subversi terhadap negeri-negeri tetangganya, PM Zhou Enlai menyatakan dengan tegas, bahwa:
Delegasi Tiongkok datang kemari (Bandung) untuk mencari persatuan dan bukan untuk bersengketa, untuk mencari landasan bersama dan bukan untuk menciptakan perbedaan-perbedaan. Di antara negeri-negeri Asia dan Afrika dan rakyat-rakyatnya terdapat landasan bersama yang didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar negeri-negeri dan rakyat-rakyat Asia dan Afrika, menderita dan masih menderita dari bencana kolonialisme. Tak peduli apakah dipimpin oleh kaum komunis ataupun nasionalis negeri-negeri ini mencapai kemerdekaannya dari kolonialisme.
PM Zhou: — Kita harus mencari dan mencapai saling pengertian dan saling menghormati satu sama lain, bersimpati dengan dan mendukung satu sama lainnya dan bahwa Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai dapat sepenuhnya menjadi dasar bagi kita semua untuk mencapai hubungan persahabatan, kerjaasma dan bertangga-baik.
Politik luar negeri RRT terhadap negeri-negeri tetangga Asia-Afrika yang mengutamakan persamaan besar dan menyisihkan perbedaan, sesuai dengan politik luarnegeri RI ketika itu, maka bersama telah menyelamatkan Konferensi Bandung dari terseret pada kontroversi mengenai komunisme dan diktatur serta tuduhan-tuduhan subversi.
* *
Telah ditelusuri politik luarnegeri Tiongkok terhadap negeri-negeri lain, khsususnya terhadap negeri-negeri Asia-Afrika. Telah kita kenal politik luarnegeri Republik Indonesia sejak proklamasi kemerderkaan Indonesia. Telah kita saksikan pula kerjasama yang baik antara Delegasi Indonesia dan Delegasi RRT dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955).
Dari situ bisa dikonstatasi bahwa politik luarnegeri Republik Indonesia di bawah Presiden Sukarno terhadp RRT, adalah politik luarnegeri yang prinsip dan konsisten, didasarkan atas prinsip-prinsip bebas mandiri dan bertetangga baik, atas dasar soliaritas A-A dalam perjuangan melawan kolonailisme dan mempertahankan kemerdekaan dan perdamaian dunia. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dirumuskan bersama oleh semua peserta Konferensi Asia-Arika (1955), dalam Prinsip-Prinsip Bandung.
Dengan demikian, perkembangan hubungan RI-RRT tahun-tahun belakangan ini, terutama pada periode pasca Suharto, perlu diasmbut baik. Karena hal itu memperbesar dan memperluas bidang-bidang kerjasama antara kedua negeri. Suatu perkembangan yang mempererat tali perasahabatan, memajukan hubungan ekonomi dan kebudayaan. Suatu politik yang punya latar belakang sejarah yang cukup lama, yaitu sejak berdirinya RI dan RRT. Suatu politik yang tidak terprovokasi oleh kecohan-kecohan sementara fihak yang ditujukan untuk merusak hubungan baik dan bersahabat antara Indonesia dan Tiongkok. * * *
Ibrahim Isa , 26149
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua