Budaya-Tionghoa.Net | Berkaitan dengan opini saudara Harry Alim tentang daerah Solo dan “sumbu pendek” , mungkin ada yang tertarik ingin mengetahui beberapa nama bupati dari keturunan Tionghoa yang dapat diidentifikasi sampai kini di pesisir Jawa pada abad itu .
|
Bupati-bupati di pesisir ini yang dikenal dalam sejarah Jawa mulai awal abad ke 18 ini umumnya terutama dari keluarga Jayadinigrat dan Puspanagara. Mereka adalah keluarga Tionghoa peranakan yang telah memeluk Islam.
Adipati Jayadinigrat I, diangkat oleh Amangkurat III pada tahun 1703 menjadi bupati di Pekalongan dengan gelar Tumenggung. Anaknya meneruskan kiprah ayahnya dengan menjadi Adipati Jayadinigrat II , Pekalongan.
Tumenggung Puspanagara I , daerah Batang, adik dari Jayaningrat I (Pekalongan), kemudian digantikan oleh anaknya, Tirtanagara dari Lembahrawa atau Tumenggung Puspanagara II , daerah Batang.
Demang Tirtanata di derah Tegal, anak dari Jayaningrat I (Pekalongan), menjabat sebagai Bupati Tegal pada tahun 1725-1726. Tumenggung Suradiningrat adalah nama lain dari Demang Tirtanata yang diberi gelar Tumenggung ketika kemudian diangkat menjadi bupati ditempat lain di Lembahrawa (menggantikan Jayanagara) dan Tuban.
Jayanegara : Menggantikan Tumenggung Suradiningrat sebagai bupati di Lembahrawa, anak dari Jayaningrat I dan saudara dari Tirtanata (Tegal)
Ngabehi Tirtanagara , daerah Lembahrawa, anak dari Puspanagara (Batang), kemudian menjadi bupati di Batang menggantikan Ayahnya di Batang.
Jayakusuma , daerah Lembahrawa dan merupakan kakak dari Tirtanagara yang menggantikan adiknya.
Tumenggung Tirtawijaya , daerah Sidayu dan merupakan saudara sepupu dari Jayaningrat II (Pekalongan) . Saudara iparnya , Ngabehi Jayajengrana menjadi bupati di Pasuruan.
Selain itu ada seorang bupati Semarang dari seorang peranakan Tionghoa yang bergelar Mas Tumenggung Astrawijaya berjuang bersama dengan pihak pemberontak Tionghoa ketika Belanda di Semarang dikepung oleh pihak pemberontak tersebut pada perang pemberontakkan Tionghoa 1740-1743.
Selain itu Sultan Agung di abad ke-17 juga mengangkat seorang pedagang Tionghoa dari Lasem, Cik Go Ing menjadi bupati disana sebagai penghargaan atas jasanya memberikan bantuan kepada Mataram ketika melawan Surabaya (1620-1625), kepadanya diberikan gelar Tumenggung Mertaguna.
Salah satu nama yang lebih dikenal oleh masyarakat mungkin Tan Jing Sing dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat yang menjadi bupati di Jogyakarta pada tahun 1812-1814, sebelumnya pernah menjadi Kapitan Tionghoa di Kedu dan Jogya. Tan Jin Sing merupakan orang Hokkian dan merupakan teman sekaligus penerjemah serta diangkat Bupati oleh Sultan Hamengkubuwana III (Ayah dari Diponegoro).
Bupati-bupati berikutnya serta daerah-daerah Utara seperti Tuban, Kudus, Blora dan Bojonagara dipilih dari keturunannya. Selain jabatan bupati, orang Tionghoa juga berperan dalam memberikan sumbangan dalam bidang ketrampilan dan teknologi kemiliteran seperti saat penaklukkan Raja-Pendeta Giri (Sunan Giri) oleh Pangeran Pekik dari Surabaya pada tahun 1636 di Gresik.
Giri ketika itu mendapatkan bantuan sekitar 250 orang Tionghoa penembak senapan yang dipimpin oleh anak angkat laki-lakinya seorang Tionghoa Muslim yang bernama Endrasena (seorang pedagang Tionghoa yang masuk Islam) dan salah satu komandan pasukan Trunajaya yang ikut mendukungnya ketika Kediri dikepung oleh Belanda adalah orang Tionghoa berikut pasukannya pada tahun 1678.
Selain itu pada tahun 1810, Raden Rangga Prawiradirja, , bupati wedana propinsi-propinsi bagian Timur dan ayah dari Sentot Ali Basa Prawiradirja (Panglima pasukan Diponegoro) mendapat dukungan dan keikutsertaan orang Tionghoa hingga saat terakhir ketika mengadakan pemberontakkan terhadap Daendels.
Dan menurut Tan Jin Sing (Bupati Jogyakarta) para pengawal pribadi Diponegoro sebelum meletusnya perang Jawa itu juga orang Tionghoa.
Istri atau selir (garwo ampeyan) kesayangan Sultan Jogyakarta yang kedua (Hamengkubuwana II) adalah seorang dari keturunan peranakan Tionghoa yang bernama Mas Ayu Sumarsonawati, anak laki-lakinya bernama Pangeran Jayakusuma (1787-1829) dikemudian harinya menjadi salah satu seorang komandan utama pasukan Diponegoro yang terkenal dengan nama Pangeran Ngabehi. Dilukiskan dalam sejarah Madura-Jawa sebagai seorang bangsawan bertubuh bagus, cerdas serta penuh kewaspadaan, yang mewarisi warna kulit ibunya yang kuning pucat.
Mengapa Tionghoa Menjadi Sasaran ?
Kalau demikian mengapa dalam perang Diponegoro itu, seperti pembantaian di Ngawi yang dilakukan dibawah komandan pasukan berkuda Raden Ayu Yudakusuma (puteri Sultan pertama Yogyakarta) terhadap orang Tionghoa dan banyak orang Tionghoa lainnya yang menjadi sasarannya dapat terjadi ?
R.A. Yudakusuma menikah dengan bupati Wirasari, daerah Yogyakarta yang sakit-sakitan, yang sebelumnya telah pernah meminjam uang kepada pedagang Tionghoa dari Jawa Timur. (Peter Carey : Orang Jawa dan Masyarakat Cina, hal 84).
Sejarawan Prof. Denys Lombard mengatakan bahwa hal ini merupakan satu di antara pembantaian pertama yang dilakukan orang Jawa terhadap orang Tionghoa sebagai ideologi berbahaya yang mulai disebarluaskan oleh Diponegoro dan pengikutnya (Nusa Jawa : Silang Budaya 2, hal 359).
Mungkin penjelasannya yang panjang dapat dibaca di buku-buku tulisan seorang peneliti Dr. Peter Carey yang menyelidiki dan membahasnya pada periode itu dalam bukunya, “Asal Usul Perang Jawa” atau The Origin of Java War, 1825-1830, dan “Orang Jawa & Masyarakat Cina 1755-1825” atau Changing Javanese perception of the Chinese communities in Central Java, 1755-1825 , serta dari bukunya Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 2.
Bupati Rembang pada awal abad ke 20, atau suami dari tokoh nasional emansipasi wanita R.A. Kartini itu juga mempunyai nama Jayadiningrat yang bergelar Raden Adipati. Tidak diketahui apakah nama bupati Rembang Raden Adipati Jayadiningrat ini ada kaitannya atau keturunan dari bupati Pekalongan Jayadiningrat di abad ke 18 itu.
Tetapi istrinya, R.A. Kartini , ini ditulis oleh sejarawan Denys Lombard sebagai seorang wanita yang bersimpati terhadap orang dan budaya Tionghoa. Pada tahun 1902 ia bersemangat mendengar adanya berita bahwa pemuda pemudi Tionghoa banyak yang datang untuk mengikuti ujian menjadi guru, ia berkata ;” Hidup kemajuan, (Hoera ! voor den vooruitgang !) dan jika orang Tionghoa yang demikian tradisional dapat menerima hal itu, kita boleh berharap banyak”.
R.A. Kartini juga menyesal karena tidak mempunyai banyak teman perempuan Tionghoa (Ik heb steeds vaerlangd naar een Chineesch vriendinnetje). Ia juga menceritakan kunjungannya ke sebuah taman milik seorang Tionghoa kaya di Semarang, yang dipenuhi dengan seni dan syair, namun sayangnya kehadiran dua buah patung Eropa disana dinilai merusak keselarasannya.
Pada bulan oktober 1902, ia mengakui bahwa hidupnya pernah diselamatkan oleh seorang dukun Tionghoa, yang pada saat ia sakit parah dan dianggap tidak tertolong lagi, telah meminumkan abu keramat yang berasal dari kelenteng Welahan. Ia juga mengatakan bahwa ia menganggap dirinya “anak Buddha” (Ik ben een Boeddha-kindje) dan sejak itu sering berziarah ke Kelenteng (hal 361, Nusa Jawa: Silang
Budaya 2, Denys Lombard).
Denys Lombard menyayangkan bahwa surat-surat R.A. Kartini yang membahas hubungannya dengan orang Tionghoa tidak diterjemahkan dalam terbitan yang berisi kumpulan surat-suratnya. Disini Denys menggunakan edisi terbitan aslinya dalam bahasa Belanda :”Doo Duisternis tot Licht“, 1912 (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Salam
G.H.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa
REFERENSI
1. Carey, Peter., ” Orang Jawa & Masyarakat Cina (1755-1825)“
2. Lombard, Denys ,” Nusa Jawa: Silang Budaya 2“
3. Nagtegaaal, Luc., “Riding The Dutch Tiger, The Dutch Indies Company and the northeast coast of Java, 1680-1743“
4. Remmelink, Willem.,“The Chinese War and the Collapse of the Javanese State, 1725-1743″