Budaya-Tionghoa.Net | Salut kepada rekan Mang Ucup telah mengangkat sebuah isu sensitif tetapi penting untuk didiskusikan dalam tulisan “Bangsa Takhyul” .Saya ikut menimbrung diskusi ini tidak ditujukankepada agama tertentu, mengharap orang-orang beragama tidak perlu emosi dan tersinggung lalu marah. Kalau saya menyebut umat beragama, maka agama itu bisa Khonghucu, Tao, Islam, Hindu, Budha, Kristen atau Katholik.
|
Apakah tahayul itu ? Belum mengertipun orang sudah menganggap itu sesuatu yang negatif. Sikap apriori seperti ini sebenarnya sudah termasuk tahayul !
Dalam kehidupan sehari-hari, orang mempercayai sesuatu pasti ada alasannya. Misalnya, saya naik pesawat udara. Saya percaya pesawat itu tidak akan jatuh, jaminan reputasi perusahaan sebagi saya adalah alasan. Saya makan diwarung, saya percaya tidak akan keracunan, dasar alasannya adalah inferensi (kalau satu tahun tidak ada yang keracunan, hari inipun tidak akan keracunan, ini namanya mengambil keputusan berdasar inferensi) dan seterusnya.
Ada semacam kepercayaan didasari dengan alasan “orang lainpun pada omong demikian”. Tidak semua alasan benar, tidak semua alasan kuat. Betapapun lemah kadar alasannya, itu tetap pakai nalar, hanya penalarannya lemah. Penalaranpun bisa salah. Keakuratan dan kepresisian penalaran seseorang akan meningkat, bila orang itu konsisten belajar dan melakukan investigasi terus menerus.
Tetapi, bila sesorang omongan maupun tidakannya semua tanpa nalar, aneh dan sulit diprediksi, tidak bisa diketahui apa maunya, orang itu disebut irrasional = gila !
Manusia hendak memahami sesuatu bisa pakai nalar juga bisa pakai perasaan. Menalar pasti memanfaatkan memori pengalaman, dibanding, dicocokkan lalu mengambil kesimpulan; proses ini namanya analisis. Tetapi, manusia juga bisa hanya melalui panca-indra memahami sesuatu. Lukisan yang indah, wajah yang cantik musik yang merdu dan parfum yang harum semua bisa disipulkan hanya dengan perasaan tanpa banyak pusing-pusing menalar !
Menghadapi semua fenomena kehidupan, manusia merespons dengan nalar dan perasaan (rasional dan perseptual) sekaligus, maka manusia tidak bisa ingkar dari kehidupan rohani. Manusia terdorong untuk mendapat pemahaman yang benar, tidak selalu terkecoh oleh ketidak telitian dan ketidak handalan informasi panca indera. Manusia lalu mengembangkan “Ilmu agar berpikir benar” bernama Logika dengan tujuan memahami lingkungan lebih tuntas.
Tetapi, dibanding memahami lingkungan, memahami manusia lebih sulit, sebab manusia punya perasaan, punya keinginan, punya naluri, hati-nurani dan roh. Hal-hal yang non materi ini menjadi perhatian tersendiri, pemahamannya terkumpul didalam bahasan yang bernama Metafisika.
Metafisika membahas hal-hal yang sifatnya bukan-pengalaman umum, tetapi hal-hal yang hanya bisa dihayati secara pribadi. Misalnya, Tao itu apa, sifat Ketuhanan itu bagaimana, mengapa ada orang memiliki intuisi yang kuat seolah memiliki indera keenam ? Qi itu apa ?
Mengapa ada orang bisa memiliki kemampuan supranatural ? Kenapa ada orang sangat cerdas walau pendidikannya rendah bahkan tidak pernah sekolah ? Kenapa didesa-desa terpencil bisa hidup manusia-manusia yang sangat panjang usianya ?
Setiap agama hampir semua membahas hal hal yang sifatnya transenden (yang melampaui batas pengalaman) itu. Karena sifatnya yang mistis penuh kerahasiaan itu, batas antara agama dan tahayul kadang-kadang terpaut tipis. Dalam agama Ru, kitab Zhong-yong dan Yi-jing bersifat metafisis.
Bisakah ajaran Komunis menjadi agama ? Jelas tidak bisa, sebab ajarannya sangat analitis, tidak mengandung hal-hal kerohanian yang metafisis. Ajaran Komunis tidak memenuhi syarat untuk menjadi ajaran agama. Tetapi, dalam kurun sejarah tertentu, orang komunis sangat militan dan rela berkorban demi cita-citanya itu tidak aneh, sebab semboyan yang mereka angkat sangat cocok dengan kebutuhan rohani maupun fisik sekelompok orang pada saat itu. Bagi orang yang ditindas habis-habisan oleh kaum kapitalis primitif, siapa tidak akan tertarik mendengar semboyan “ Bangkitlah ! Hai ! Kaum yang tidak mau jadi budak !”
Dalam buku kecil tulisan Dr. Franz Dähler berjudul “Masalah Agama-agama” terbitan Kanisius menulis tentang Fanatisme, Tahayul dan Fatalisme dalam agama. Beliau memberi difinisi tentang tahayul demikian (hal.8, b) :
Tahayul adalah kepercayaan melalui benda (jimat) dan ritual tertentu untuk mendapatkan bantuan dari Tuhan (Kekuatan mistik yang diyakini kuat). (dalam kurung tambahan penulis). Tahayul dapat berkembang menuju “black magic” (hal.9)
Misalnya jika seorang Katholik membawa medali atau membakar surat di Sendangsono dengan anggapan kuat bahwa hanya dengan demikian ia selamat dan permohonannya akan terkabul. (hal.9). Dari uraian diatas, jelas tidak ada agama tahayul, yang ada adalah umat beragama yang tahayul.
Bangsa Maya di Amerika Latin tatkala tanah mereka sudah tidak mampu mendukung makanan bagi kehidupan penduduknya, konon mereka melakukan upacara ritual dengan mengambil jantung seorang anak perempuan untuk dipersembahkan kepada sang Dewa. Akhirnya budaya bangsa itu punah !
Kalau ada rekan millist yang tertarik, silahkan mengangkat tema, pendangkalan pemahaman agama menyebabkan munculnya Fanatisme dan Fatalisme dalam umat beragama.
WS Indarto Tan , 26287