Budaya-Tionghoa.Net | Mungkin saya berusaha memberikan sedikit jawaban yang dipetik dari beberapa sumber yang membahas tentang pemberontakkan Diponegoro terhadap Belanda pada tahun 1825-1830 itu.
|
Benar bahwa perang Diponegoro bukanlah sebuah bentuk perang kemerdekaan nasional.Pemberontakannya terhadap Belanda berlandaskan juga konsep perang Sabil yang diinspirasikan oleh kepercayaan agamanya yang memerangi kaum kafir, jadi faktor agama disini ikut berperan dalam karakter pemberontakannya,
Tetapi keyakinan Islam Diponegoro bukanlah yang ortodoks, karena keyakinan agama Diponegoro bercampur dengan tradisi atau dunia mistik orang Jawa, seperti kepercayaan akan munculnya “Ratu Adil” yang diyakini akan menyelamatkan jiwa rakyat kebanyakkan dari ketidak adilan dan penderitaan yang dialaminya.
Maka itu Diponegoro memakai gelar “Herucokro” (Sultan Ngabdulhamid Herucokro Kabiril Mukmin Sayidina Panata Agama Kalifatullah Jawa). Ia dianggap sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin agama atau
disebut juga Pandita-Ratu. Dan ia mendapat dukungan komunitas agama seperti dari Kyai Maja sebagai pemimpin spiritual pemberontakkan tersebut. Tetapi akhirnya Kyai Maja bersama pemimpin Islam lainnya
meyerahkan diri ke pihak Belanda dan meninggalkan Diponegoro di tahun 1828.
Kemudian penduduk Tionghoa yang menjadi sasarannya di seluruh Jawa Tengah dan sepanjang sungai Sala bukan saja karena dianggap sebagai orang Kafir, tetapi lebih utama dikarenakan peranannya sebagai penarik dan pengumpul pajak (bandar) di gerbang tol ini yang memberatkan hidup rakyat pedesaan di Jawa. Sejak jaman Daendels dan Raffles-pun rakyat sudah dimulai dibebani dengan pajak.
Orang-orang Tionghoa dibutuhkan di keraton sebagai orang yang dapat memberikan pinjaman uang dan ahli perdagangan. Mereka dapat menyediakan tenaga-tenaga yang trampil di dalam bidang keuangan, yang hampir sama sekali tidak tersedia di dalam kalangan masyarakat Jawa. Jadi ada kepentingan bersama antara orang Tionghoa dan pihak keraton dalam soal ini.
Maka itu bandar atau pintu tol ini disewakan kepada orang Tionghoa oleh bangsawan keraton sebagai salah satu sumber penghasilannya dan kemudian hal yang sama dilakukan didaerah yang dikuasai oleh Belanda.
Untuk mendapatkan hak menyewa gerbang tol itu, pedagang Tionghoa tersebut harus mengatasi tawaran dari saingannya di keraton, dengan akibat kadang-kadang harus membayar dua atau tiga kali lebih mahal dari harga sewa yang sesungguhnya (seperti di lelang), hanya sekadar untuk mengungguli saingannya.
Dan gerbang tol ini kadang-kadang disewakan kembali berulang-ulang, dan setiap kali menyewakan gerbang tol ini, sudah tentu mengambil keuntungan pula untuk dirinya. Maka kejadian ini pada gilirannya mengakibatkan terjadi pengeksploitasian kembali yang membebankan hidup rakyat lebih lanjut sebagai mata rantai yang terakhir.
Mungkin dapat ditambahkan disini sebagai salah satu faktor penting lagi yang berperan menyebabkan dimulainya perang Jawa tersebut. Gubernur Belanda van der Capellen jaman itu telah menerbitkan sebuah peraturan yang memutuskan bahwa mulai tahun 1823 menyatakan bahwa semua tanah yang disewa baik oleh orang Eropa maupun orang Tionghoa (digunakan sebagai perkebunan) dari keraton Surakarta dan Yogyakarta harus dikembalikan kepada pemiliknya (keraton) selambatnya hingga tahun 1824.
Awalnya keputusan ini disambut baik, tetapi sebenarnya berakibat buruk bagi kaum bangsawan keraton sendiri, karena mereka harus mengembalikan uang ganti rugi sewa setara dengan jumlah yang dihasilkan perkebunan tersebut dalam setahun.
Sudah tentu hal ini memberatkan keuangan keraton yang akan kehilangan sumber pendapatan dari hasil sewa tersebut. Tindakan ini mengakibatkan kemiskinan di dalam keuangan keraton dan telah ikut mematangkan terjadinya suatu pemberontakkan terhadap Belanda. Jadi ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perang Jawa tersebut (1825-1830).
Kebencian Diponegoro bukan saja terhadap orang orang kafir saja seperti orang Eropa dan Tionghoa melainkan juga kepada lingkungan bangsawan keraton juga, yang dianggap banyaknya persekongkolan, kemerosotan akhlak, pelanggaran susila dan pengaruh Barat yang bersifat merusak.
Maka ia tidak mau muncul ke keraton yang tidak disukainya, dan ia lebih memilih bersemedi dan memasuki lingkungan pesantren yang sudah dikenalnya sejak masih remaja di Tegalreja (rumah neneknya Ratu Ageng).
Yang menumpas dan mengalahkan pemberontakkan Diponegoro juga sebagian besar berasal dari pasukan keraton juga (karena Belanda ketika itu masih kekurangan tentara), seperti pasukan dari keraton Kartasura, Yogyakarta dan terutama pasukan dari Legiun Mangkunegara.
Salam
Golden Horde , 26332