Budaya-Tionghoa.Net | Menarik untuk membahas pendapat bahwa untuk habitatnya , Solo cukup menarik sebagai pemilihan lokasi untuk studi sosial antropologi dengan mengambil kasus Tionghoa di Solo dengan spesialisasi anthropology of development. Untuk habitatnya Solo cukup menarik sebagai pemilihan lokasi sebab termasuk kota yang punya riwayat panjang dalam peristiwa rasialis.Sejak jaman Mataram. Solo termasuk daerah dengan “sumbu pendek” . Demikian pendapat salah satu rekan forum Budaya Tionghoa.
|
Saya pribadi tidak sependapat dengan pendapat diatas ,dan agaknya tidak tepat jika
dikatakan sejak jaman Mataram, kota Solo termasuk daerah dengan sumbu pendek.
Untuk prolog , kecuali studi yang dilakukan oleh MC Ricklefs dan ditulis dibukunya Seen and Unseen World adalah salah dan tidak tepat, yang terjadi justru sebaliknya. Pada jaman Mataram sekitar tahun 1740’an tidak aneh menemukan seorang Tionghoa menjadi bupati dan menjadi Jawa dan kemudian menggunakan gelar semacam Tondonegoro dansebagainya.
Di buku itu disebutkan bahkan bupati pesisir seperti di Tegal, Pemalang dan Pekalongan adalah orang Tionghoa yang menjadi Jawa dan merubah nama sesuai dengan gelaran yang berlaku di pusat Mataram. Dan banyak penduduk petani ketiga kabupaten ini dari golongan keturunan Tionghoa.
Kemudian pecah pembantaian orang Tionghoa di Jakarta di tahun 1740, dan
banyak orang Tionghoa mengungsi ke Jawa tengah, dan mereka berkumpul di
welahan dan kemudian merebut kota semarang. Sukses merebut semarang, tentaraTionghoa ini disambut oleh sunan Pakubuwono di Kartasura dan pecah Perang Jawahingga baru benar benar selesai di tahun 1750’an. Perang yang cukup lama dan cukup menguras pundi-pundi VOC.
Keadaan Mataram berubah, dengan munculnya pusat kekuasaan di Surakarta, dan Yogyakarta. Bahkan baik di Solo maupun Yogya pun ada tambahan pusat kekuasaan seperti Mangkunegaran dan Pakualaman. Administrasi beberapa kabupaten pesisir Jawa diserahkan ke VOC untuk membayar biaya perang. Belajar dari pengalaman Perang Jawa ini, VOC menerapkan peraturan baru bahwa orang Tionghoa harus tinggal di daerah Pecinan dan harus meminta surat jalan jika meninggalkan daerah Pecinan.
Kisah lainnya dari perjalanan seorang Inggris. Seorang opsir Inggris sekitar tahun 1810’an melakukan perjalanan dari Singaraja, Bali menuju ke surabaya, selama beberapa minggu dan menuliskan memoir-nya. Jika yang ditulisnya benar, banyak ditemuinya beberapa pemimpin agama di daerah Situbondo, Asem Reges, Probolinggo, Pasuruan dan seterusnya , yang adalah orang Tionghoa
Setelah lima puluh tahun , jika sumber yang dikutip oleh Benny G Setiono dalam bukunya Tionghoa Dalam Pusaran Politik adalah benar, maka sekitar tahun 1826 terjadi pembantaian orang orang Tionghoa di kota Ngawi (jawa timur sekarang) oleh pasukan yang memihak Pangeran Diponegoro. Ini terjadi dalam kemelut Perang Diponegoro . Dikatakan mulai timbul sentimen kepada orang Tionghoa karena ada orang orang Tionghoa yang mendapat pekerjaan dari pemerintah kolonial Belanda atau VOC sebelumnya seperti memungut cukai, pajak dan sebagainya
Mengenai kebangkitan kesadaran orang Tionghoa. Jika yang ditulis Leo Suryadinata benar, maka sekitar tahun 1860’an seorang Tionghoa dari Sukabumi yang mendapat pendidikan Barat (dari zending atau misi) timbul kesadarannya, dan selanjutnya kemudian lahirlah Tiong Hoa Hwe Koan dengan segala macam tujuannya..
Digambarkan bahwa waktu itu di pulau Jawa , tepatnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah , banyak orang Tionghoa yang sedemikian rupa berasimilasi dengan penduduk setempat, sehingga menggunakan cara panggilan dalam keluarga yang sebagian dari bahasa Melayu-Tionghoa.
Bahkan tidak aneh banyak keluarga kalangan tionghoa yang menamakan anak perempuannya dengan nama Melayu-Tionghoa, seperti ‘terima’, ‘kasih’, ‘sudah’, ‘rendah’, ‘garpu’ etc.
Untuk membuktikan ini bisa dilakukan studi dengan membaca ‘batu muka’ kubur orang Tionghoa yang lahir di sekitar tahun 1800’an. Sampai dengan tahun 1950’an. Pada masa itu banyak keluarga Tionghoa di Jawa tengah dan Jawa Timur yang berorientasi ke Solo atau Yogyakarta. Dan dengan demikian menyukai gamelan. Bahkan menggunakan gamelan dan wayang untuk pengisi hiburan pada acara
pengantin.
Mengenai periode “Rumah Kaca , jika yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer (Pram) di bukunya ‘Rumah Kaca’ adalah berdasar studi yang benar dan fakta yang benar, pada awal tahun 1900’an terjadi kerusuhan rasial pertama yang pecah di Cicurug, Cibadak Sukabumi dan kemudian di Kudus.
Melalui bukunya ‘Rumah Kaca’, Pram mengatakan bahwa situasi itu adalah setting yang dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah Belanda, dengan menimbulkan konflik horizontal.
Akhirnya semua ini adalah sejarah. Memang perlu untuk merekonstruksi kembali
sejarah dan meletakkannya kembali dengan benar, dan agaknya tidak tepat jika
dikatakan sejak jaman Mataram, daerah Solo termasuk daerah dengan sumbu pendek.
Harry Alim, 26240