Budaya-Tionghoa.Net | Pada tanggal 30 Juni 2007, pas sepuluh tahun setelah terjadi suatu peristiwa yang unik dan historis. Di Hongkong peristiwa ini diperingati secara besar-besaran. Sepuluh tahun sejak Hongkong kembali ke pangkuan ibu pertiwi Tiongkok. Presiden Tiongkok Hu Jintao pada waktu itusendiri berkunjung ke Hongkong untuk ambil bagian dalam kegiatan peringatan tersebut. Memperingati 10 tahun Hongkong kembali ke pangkuan tanah air Tiongkok, bebas dari kolonialisme Inggris.
|
Memang ada alasan kuat, bukan saja untuk memperingati, tetapi juga, —- merayakannya. Karena selama 10 tahun belakangan ini, pertumbuhan ekonomi Hongkong berkembang terus dan sistim politik Hongkong tidak mengalami
‘kemunduran’ seperti diramalkan sementara fihak..
Tidak sedikit ramalan-ramalan negatif dari jurusan Barat, terutama dari fihak Inggris dan juga kalangan-kalangan di Hongkong dan di Asia. Pandangan dan s ikap anti-Tiongkok mereka-mereka itu sudah begitu mendarah daging, sampai memprediksi bahwa dengan kembalinya Hongkong ke Tiongkok, akan terjadi perubahan besar bagi status dan peri kehidupan rakyat Hongkong. Kembalinya Hongkong ke Tiongkok, kata mereka, akan merupakan kemunduran bagi rakyat Hongkong, baik di bidang politik maupun ekonomi. Diramalkan oleh ‘ill-wishers’ tsb, bahwa di bidang ekonomi banyak modal di Hongkong akan lari pindah ke Taiwan atau Singapore. Dengan nada menakut-nakuti diramalkan pula bahwa sistim pemerintahan komunis yang ‘otoriter’ di Tiongkok daratan akan ditransfer ke Hongkong. Bahwa Hongkong dan rakyatnya akan mengalami kemunduran dalam masalah demokrasi dan HAM , . . … dsb dsb, . . . bla, bla, bla.
Tetapi semua ramalan negatif itu samasekali tidak terjadi. Hongkong tetap stabil dan ekonominya berkembang. Modal dari luar banyak yang masuk Di fihak lain Hongkong sendiri memperbesar penanaman modalnya di Tiongkok daratan dan ditempat-tempat lain, halmana menunjukkan adanya saling percaya. Teristimewa saling percaya antara dua sistim, sisitim
sosialis di daratan dan sistim kapitalis di Hongkong. Bahwa ramalan Barat itu ternyata meleset, hal itu diakui sendiri oleh
mantan PM Thatcher dari UK, yang diwawancarai oleh BBC berkenaan dengan ulangtahun ke-10 Hongkong kembali ke Tiongkok.
* * *
Aku anggap kasus kembalinya Hongkong ke Tiongkok, memang unik dan historis, karena cara yang ditempuh untuk solusi masalah Hongkong, adalah unik. Dipandang dari jurusan Tiongkok, memanifestasikan kebijakan dan kercerdikan pemimpin-pemimpin Tiongkok. Kreatif dan rasional. Daud Jusuf, mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan rezim Orba, yang bukan pencinta Tiongkok, pada waktu itui dalam sebuah artikelnya di ‘Suara Pembaruan Daily’, 29 Juni 2007, menulis antara lain sebagai berikut:
‘Segala sesuatu yang berkaitan dengan China memang pantas dikagumi. Sampai Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan umatnya, dalam menuntut ilmu kalau perlu pergi ke China‘.
Menarik untuk mencatat bahwa Daud Jusuf (yang menurut berita sedang menyusun buku sejarah) masih menggunakan penyebutan ‘China’ (seperti orang Inggris) , dan bukan menggunakan kata ‘Tiongkok’. Meskipun sejak Presiden Megawati sudah ada kesefahaman antara pemerintah Indonesia dan Tiongkok, untuk selanjutnya menggunakan kata ‘Tiongkok’ untuk nama negeri dan bangsa, dan ‘Tionghoa’, untuk penyebutan bahasa dan bangsa.
Sedikit catatan lagi tentang Daud Jusuf yang konservatif ini: Tahun 1978 menjelang sidang MPR, ketika rezim Orba masih jaya-jayanya, Menteri P&K Daud Jusuf didemo oleh ratusan mahasiswa-mahasiswa UI, boneka yang menggambarkan Daud Jusuf dibakar oleh mahasiswa-mahasiswa yang demo itu. Pasalnya ialah, Daud Jusuf adalah menteri P&K Orba, yang melaksanakan serentetan dekrit yang terkenal anti-demokratis. Diberlakukan atas nama ‘Normalisasi Kehidupan Kampus’ (NKK). Namanya sih ‘menormalkan kehidupan kampus’, tapi intinya adalah untuk membungkam dan mengekang kegiatan mahasiswa Indonesia agar manut saja pada penguasa. Suatu cara fasis untuk memaksa mahasiswa berfikir menurut kehendak penguasa. Suatu usaha pembodohan masyarakat atas nama ‘masa mengambang’ yang tipikal memanifestasikan watak otoriter rezim Orba sejak berdirinya.
* * *
Dikatakan unik, karena saat itu Tiongkok memanfaatkan kesempatan baik untuk mengintroduksikan serta memperluas pelaksanaan suatu sistim kenegaraan yang baru samasekali baru dalam sejarah kenegaraan modern. Yaitu dilaksanakannya oleh Tiongkok secara formal dan resmi sistim ‘SATU NEGERI DUA SISTIM’.
* * *
Dikatakan unik dan historis! Bukan saja bagi Republik Rakyat Tiongkok, Hongkong dan bagi Inggris, negara imperialis-kolonialis terbesar abad ke 20, — Tetapi juga unik dan historis bagi seluruh dunia. Dikatakan unik, karena ‘kembalinya’ Hongkong ke pangkuan ibunda tanah air Tiongkok, terjadi dalam syarat-sayrat sejarah yang unik Bayangkan suatu kekuasaan kolonial yang arogan seperti Inggris, yang 150 tahun menguasai Hongkong, dengan damai dan aman meninggalkan koloninya. Tentu hal itu
terjadi dengan ‘hati yang berat’ bagi Inggris, terutama bagi gubernur Hongkong Sir Chris Patten, dan keluarganya. Lebih berat lagi bagi Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Ingris dari Partai Tory (Konservatif).
Dalam proses perundingan RRT — Uinted Kingdom (UK) yang berlangsung cukup lama, pernah, menurut ‘off the record information’ yang kebetulan kedengaran di telingaku, PM Deng Xiaoping menyampaikan kepada PM Thatcher, bahwa, ‘ kalau mau, tidaklah sulit bagi Tiongkok untuk memperoleh kembali Hongkong. ‘Kami buka saja perbatasan RRT – koloni Hongkong. Dalam sehari saja, jutaan orang Tiongkok (daratan) akan membanjiri Hongkong, dan Hongkong pasti tunduk’. Sesungguhnya ‘senjata’ yang lebih ampuh yang ada pada RRT (bukan kekuatan militernya, tetapi) adalah ketergantungan Hongkong pada Tiongkok (daratan) terutama dalam hal air, khususnya air minum. Setiap hari, sejak Tiongkok Baru berdiri, kapal-kapal Inggris/Hongkong ketika itu, berlayar masuk ke Sungai Mutiara (Guangzhou) untuk menyedot air (tawar) sungai untuk dibawa ke Hongkong. Hongkong akan lumpuh dan ‘kehausan’, tak berdaya apa-apa terhadap RRT bila supply air itu ‘ditutup’ oleh RRT.
* * *
Mungkin pembaca ada interes untuk membaca apa yang kutulis mengenai kembalinya Hongkong ke Republik Rakyat Tiongkok sepuluh tahun yang lalu (1997). Ketika itu sedang berlangsung pengembalian Hongkong ke RRT. Tulisan tsb yang kubuat sepuluh tahun yang lalu (semula untuk catatan sendiri) baru pertama kali ini disiarkan, sbb:
SAAT BERAKHIRNYA HUMILIASI NASIONAL TIONGKOK.
INGGRIS TETAP TIDAK RELA , 30 Juni 1997
*HONGKONG – 1*
‘Malam redup dan hujan turun dengan derasnya. Sama redupnya wajah pangeran Charles, yang khusus datang mewakili Ratu Elisabeth pada upacara penyerahan kembali Hongkong kepada Tiongkok. Idem-dito wajah air muka Chris Pattern, gubernur Inggris untuk Hongkong, — yang sebentar lagi akan menjadi mantan. Begitu juga tamu-tamu orang Inggris, termasuk mantan PM Thatcher dan sementara orang Hongkong. Begitulah suasana perpisahan Inggris dengan Hongkong. Lebih dari 150 tahun Hongkong berada di bawah kekuasaan kolonialisme Inggris. Sesuatu yang terpaksa diterima oleh bangsa Tionghoa. Suatu humiliasi nasional.
Berdiri di atas panggung yang istimewa dibangun untuk upacara, para hadirin menyaksikan barisan demi barisan musik, pasukan demi pasukan kehormatan yang berpakaian seragam aneka warna masing-masing khas menurut identitasnya. Tak ketinggalan pasukan kehormatan ‘Scot’ yang mengenakan rok. Juga tampak pasukan Gurkha, yang kita orang Indonesia
juga pernah mengenalnya ketika Inggris atan nama Sekutu mendaratkan pasukannya di Jakarta dan Surabaya. Barisan musik tentara Inggris di Hongkong menggemakan melodi-melodi merdu dan melankolik, kadang-kadang riang. Tetapi itu semua tidak meghilangkan suasana sedih dan tertekan di fihak Inggris. Ini adalah saat-saat berakhirnya imperium Inggris di Asia dan di wilayah Tiongkok. Sengaja atau tidak sudah agak lama orang melupakan bahwa Hongkong dan kemudian Kowloon, dikenal sebagai “The New Territories’ telah menjadi jajahan Inggris.
Dalam pidatonya, pangeran Charles dan Chris Patten menyanjung setinggi langit peranan positif Inggris yang, kata mereka, telah menjadikan Hongkong salah satu pusat perdagangan dan finans terpenting di Asia dan dunia, kaya dan modern. Kestabilan Hongkong juga adalah berkat administrasi Inggris, begitu mereka sesumbar. Belakangan telah dimulai pula proses pendemokrasian Hongkong, kata Patten. Ini tidak boleh berhenti, kata mereka. ‘Kami akan tetap mengikuti perkembangan di
Hongkong dan selanjutnya, janji Charles dan Patten setengah mengancam Tiongkok. Aku tidak bisa menemukan kata-kata lain untuk melukiskan sikap kedua pembesar-pembesar Inggris itu. Selain arogan dan munafik. Itulah mereka. Kalau mau ditambah lagi: Sungguh tidak tahu diri. Apalagi sikap mantan PM Inggris Margareth Thacher. Ketika diwawancarai oleh wartawan CNN, Bernard Shaw, tanpa mengedipkan mata Thatcher kalem saja mengatakan bahwa Hongkong, ‘diperoleh’ Inggris dari Tiongkok untuk digunakan sebagai pangkalan dagang dengan Tiongkok dan negeri-negeri Asia lainnya. Karena Hongkong menjadi sempit, kata Thatcher, maka ‘dapat tambahan wilayah’ dari Tiongkok. Mereka, Tiongkok, telah menyerahkannya. Rupanya karena tidak tahan lagi mendengar bualan Thatcher, maka Bernard Shaw dari CNN nyeletuk: Bukankah kalian memperolehnya lewat beberapa kali perah, yes”.
* * *
Begitu redup dan sedihnya di kalangan orang-orang Inggris, begitu riang dan gembiranya orang-orang Tiongkok. Di ibukota Tiongkok, Beijing, di lapangan Tien An Men, dalam suasana pesta telah berkumpul ribuan para undangan untuk menyambut kembalinya Hongkong ke pangkuan tanah air mereka. Untuk menyambut hari bersejarah itu sudah beberapa waktu di
lapangan Tien An Men didirikan jam raksasa yang menghitung waktu sampai ke angka nol, saat berkahirnya status koloni dari Hongkong. Ratusan barisan tari dan nyanyi membuat suasana tambah semarak. Tepat pada saat bendera Inggris diturunkan di Hongkong dan bendera Republik Rakyat Tiongkok dikibarkan dengan megahnya, ratuas mercon dan kembang api
berdentum dan membelah angkasa. Mengubah suasana menjadi pesta kegirangan, pesta kebahagiaan, pesta kebanggaan. Suatu pesta menyambut berahirnya masa humiliasi nasional.
Justru semangat, emoni dan perasaan dari rakyat Tiongkok dan semua yang cinta kemerdekaan, yang tidak dimengerti oleh pejabat-pejabat kolonial itu.
* * *
HONGKONG – 2
Sudah lama aku mengikuti perkembangan Tiongkok dengan penuh perhatian. Aku harus terus terang mengatakan bahwa aku tidak mengadakan studi khusus mengenai Tiongkok. Terlalu berat. Seorang temanku, T.M. Siregar, bekas pegawai tinggi Kementerian Koperasinya Menteri Tobing, zaman pemerintahan Presiden Sukarno, beberapa tahun yang lalu telah menulis
tentang perkembangan ekonomi Tiongkok. Siregar adalah ketua Stichting Azië Studies, Onderzoek en Informatie, suatu lembaga yang aku ikut mendirikannya. Sementara teman lainnya berkesan bahwa tulisan Siregar itu lebih memberikan pandangan fihak Beijing daripada suatu studi yang independen. Siregar menguraikan tentang ‘socialist market economy’ yang
sedang dipraktekkan di Tiongkok dewasa ini. Sementara komentar lainnya, dari partai-partai yang menganggap dirinya paling Marxis, mencap Tiongkok telah merestorasi kapitalisme. Tiongkok sudah bukan lagi negeri sosialis dan partai Komunis Tiongkok telah menjadi partai burjuasi. Diktatur proletar sudah menjelma menuadi diktatur borjuasi. Demikian partai-partai Marxis tsb.
* * *
Dengan kembalinya Hongkong kepada Tiongkok, menjadi ramai diskusi dalam media cetak dan elektronik tentang konsep ‘satu negeri dua sistim’. Konsep ini diajukan oleh Deng Xiaoping dalam perundingan dengan Thatcher pada tahun 1984. Ketika itu Deng tanpa tedeng aling-aling menegaskan bahwa jika Inggris tidak mengembalikan Hongkong pada tahun 1997 (sesuai persetujuan antara Tiongkok dengan Inggris hampir seratus tahun yang lalu) maka RRT akan membebaskannya. Pandangan Deng mengenai konsep ‘satu negeri dua sistim’ bertolak dari asumsi bahwa Tiongkok adalah negeri Sosialis. Konsep ini juga diajukan sebagai jalan keluar dari konfllik antara RRT dengan Inggris mengenai Hongkong. Konsep ini telah menenteramkan sebagian besar rakyat Hongkong dan para investor serta pengusaha dalam dan luar Hongkong. Ia merupakan contoh dan perspektif penyelesaian masalah Tiongkok-Taiwan. Kini Hongkong sudah menjadi bagian dari wilayah Tiongkok, konsep ‘satu negeri dua sistim’ sudah menjadi realita.
Dalam protokol pengembalian Hongkong oleh Inggris kepada Tiongkok, ditetapkan bahwa selama limapuluh tahun yang akan datang Hongkong mempertahankan sistim ekonominya yang kapitalis dan status dan keadaannya seperti sekarang ini di dalam dan di luarnegeri. Apakah konsep ‘satu negeri dua sistim’ bisa berjalan? Sebenarnya dalam pratek konsep ini sudah berjalan cukup lama. Hal itu bisa dilihat dari reformasi yang dilaksanakan Tiongok sejak akhir tahun tujuhpuluhan di bidang pengurusan ekonomi. Di Tiongkok sosialis telah dipraktekkan unsur-unsur ekonomi kapitalis, baik di bidang pertanian, industri maupun
perdangangan, khususnya yang menyangkut manajmen. Mereka katakan ini adalah penerapan dari prinsip memperhatikan peranan (positif) dari pasar. Bukan saja di dalam ekonomi Tiongkok yang sosialis diterapkan unsur-unsur dan beleid dari kapitalisme, tetapi juga (pada permulaan tahun delapanpuluh) diciptakan zone-zone ekonomi khusus yang bebas ( ‘special free economis zones’) di Shenzhen yang berbatasan dengan Hongkong dan Zhuhai yang dekat dengan Macao yang masih koloni Portugis. Kemudian sementara wilayah lainnya, yaitu Fujian/Xiamen dan Pulau Hainan. Ketika itu ada yang nyeletuk dari fihak Barat: Apakah nantinya akan terjadi ‘Tiongkokisasi dari Hongkong dan Macao’, atau sebaliknya, yaitu, ‘Hongkongisasi dari Tiongkok’ .
Ternyata di Tiongkok juga ada yang berfikir seperti itu.
<Bersambung>
Ibrahim Isa , 26164
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua|Facebook Group Budaya Tionghoa