Budaya-Tionghoa.Net | Jajaran pegunungan Zhongnan di dataran Tiongkok Tengah selama kurang lebih 3000 tahun, merupakan tempat kediaman para pertapa, orang suci, dan shaman. Diantara hutan-hutan, air terjun, dan lembah-lembahnya, mereka tinggal dalam Gua-Gua alam, ada juga yang membangun pertapaan mereka dari batu atau kayu. Di tempat inilah, jauh dari hiruk-pikuknya dunia fana, Taoisme memiliki akarnya. Daerah ini juga merupakan daerah dimana Laozi memutuskan untuk menurunkan ajaran Daodejing pada Yinxi, yang sangat jelas memaparkan jalan dari Tao.
|
Wang Xuanpu & Zhongli Quan (王玄甫 & 鍾離權)
Pada masa Dinasti Han (206 SM – 220M) Wang Xuanpu, seorang pembina Tao dan seorang pembina Pil Emas Abadi (Jindan 金丹), tinggal di gunung Zhongnan di Gua Ningyang (終南山凝陽洞). Silsilah beliau berasal menurut tradisi, diturunkan dari Laozi (老子) kepada Jinmu (金母), yang kemudian menurunkannya pada guru beliau, Master Baiyun Shangzhen(白雲上眞). Ajaran dari mulut ke mulut ini kemudian ditulis oleh salah satu murid beliau, Ge Xuan (葛玄), sebagai Kitab Qingjing Jing (清靜經), salah satu naskah penting dalam pembinaan Tao.
Di Gua Ningyang ini pulalah, takdir menuntun Jenderal Zhongli Quan, yang tersesat di gunung ini setelah dia kalah dalam suatu peperangan. Menyadari akan nasib beruntungnya dapat bertemu sang pertapa, Zhongli memohon agar dapat menjadi muridnya. Wang Xuanpu pun setuju, dan setelah beberapa tahun dibimbing dalam pelatihan internal, Zhongli menyempurnakan Pil Emas Abadi (Jindan 金丹), mengikat rambutnya menjadi dua, dan menamakan dirinya “Pengelana Paling Bebas di Bawah Langit”, memulai pengembaraannya. Para Abadi seperti Zhongli Quan membuang badan kasar mereka seperti pakaian usang ketika wafat, dan membebaskan Roh mereka memasuki alam Dewa. Dan pada saat-saat tertentu Para Abadi dapat muncul dengan tubuh kasar dan kembali ke dunia guna menurunkan ajaran kepada para pencari Tao yang bersungguh-sungguh. Wang Xuanpu dan Zhongli Quan dianggap sebagai dua Guru Sesepuh pertama dari aliran Quanzhen.
Guru Sesepuh ketiga – Lü Dongbin (三祖呂洞賓)
Pada suatu hari, beberapa ratus tahun kemudian pada zaman Dinasti Tang (618 – 907 M), Zhongli pada waktu itu sedang berada di sebuah kedai minum di Chang’an, menulis sajak di dinding dan menyanyi untuk semua orang yang mendengarkan. Duduk di salah satu meja, seorang bernama Lü Dongbin, mendengarkan sang Taois dengan penuh perhatian. Ia melakukan perjalanan dari kampung halamannya guna mengikuti ujian negara, dan ketika itu ia singgah sejenak di kedai tersebut untuk sekedar menghilangkan rasa hausnya. Melihat bahwa ia mempunyai semangat untuk mengikuti Tao dan bisa jadi ia adalah murid yang dicarinya selama ini, Zhongli kemudian terlibat dalam perbincangan dengannya.
Ketika sedang berbincang-bincang, Lü Dongbin tiba-tiba merasa amat lelah dan merasa mengantuk, ia pun kemudian jatuh tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi bahwa ia mengikuti ujian kerajaan dan lulus dengan peringkat terbaik. Karirnya dalam istana menanjak sangat cepat, sampai akhirnya ia menjadi penasihat yang sangat dipercaya oleh sang Kaisar. Ia menikah, mempunyai keluarga yang tinggal dalam rumah yang sangat mewah, ia memiliki segala sesuatunya yang setiap orang idam-idamkan. Akan tetapi, pejabat kekaisaran lain merasa iri, dan bersekongkol dibelakang menyebarkan kabar palsu, untuk menjatuhkannya. Kaisar pun terpengaruh dan mempercayai berita tersebut, akan tetapi dikarenakan tidak ada bukti yang kuat, sang Kaisar menitahkan agar Lü Dongbin dihukum buang ke daerah perbatasan, suatu nasib yang sangat buruk. Tiba-tiba ia terbangun dari mimpinya, Lü kemudian menyadari bahwa ia tidak menginginkan kehidupan yang seperti demikian, dan bahwa merupakan takdirnya untuk mengikuti Tao. Zhongli pun menerimanya menjadi murid, kemudian mereka berdua pergi menuju pegunungan untuk mencapai pelatihan internal.
Lü Dongbin kemudian mencapai pencapaian yang sangat tinggi dalam pembinaan Tao, disamping ia juga mempunyai karakter yang banyak dikagumi oleh banyak orang, seorang sarjana Ru 儒, penyair, dan seorang pendekar. Seorang pengelana yang bebas, ia dikenal dan dicintai diseluruh Tiongkok, terutama di daerah utara. Sebagai guru Sesepuh ke-3 dari aliran Quanzhen, ia dihormati sebagai Guru Sesepuh Lü (呂祖仙). Ia memakai tali pinggang merah, dan maka ketika seseorang ditahbiskan sebagai Biarawan dalam tradisi Quanzhen, ia juga akan diberi tali pinggang merah sebagai simbol.
Melalui ajaran Pil Emas Abadi (Jindan 金丹) dari Zhongli Quan dan Lü Dongbin-lah, Taoisme kemudian bergerak maju meninggalkan pengertian lama tentang keabadian yang menekankan Pil/obat-obatan luar dan keabadian fisik. Mereka menekankan pembinaan dalam dan keabadian spiritual, dan mereka mengajarkan pula bahwa jalan untuk mendapatkan Pil Emas Abadi (Jindan 金丹) adalah dengan membina sukma melalui ketenangan dan kesunyataan.
Guru Sesepuh keempat – Liu Haichan (四祖劉海蟾)
Liu Haichan, yang namanya berarti katak laut, hidup pada masa pemerintahan dinasti Liao (916 – 1125 M), menjabat sebagai Perdana Menteri dari Raja Yan. Suatu hari, Zhongli Quan mengunjungi kediamannya, dan memperkenalkan dirinya dengan nama Zhengyangzi. Ia kemudian terlibat pembicaraan dengan Liu tentang Tao, dan meminta dibawakan sepuluh buah telur dan sepuluh keping koin emas. Liu menyediakan semuanya, dan kemudian Zhongli Quan menumpuk telur-telur tersebut dengan koin emas masing-masing diantaranya, seperti pagoda. “Ini gila! Apa maksud dari semua tindakan sembrono ini?!” Liu berkata. “Ini tidaklah sesembrono dirimu, hidup dalam mengejar nama dan kekayaan.”, Zhongli menjawab sambil kemudian ia mengambil sebuah koin tadi, mematahkannya menjadi dua, kemudian membuangnya. Liu mennyadari kesalahannya, dan ia pun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, agar ia dapat berkelana ke gunung-gunung untuk membina Tao. Dikemudian hari ia bertemu dengan Lü Dongbin yang kemudian mengajarkan padanya tentang Ketenangan, Non-intervensi, dan cara membina sukma. Setelah itu ia pergi menyepi di Gunung Phoenix guna melakukan pembinaan lebih lanjut.
Guru Sesepuh kelima – Wang Chongyang (五祖王重陽)
[Foto Ilustrasi (admin) : Vmenkov ,
“Sebuah lukisan di kuil Changchun , Wuhan yang menggambarkan Wang Chongyang bersama tujuh muridnya”,
Public Domain , Wikimedia ]
Wang Chongyang dilahirkan dalam keluarga kaya disebuah desa di propinsi Shanxi pada masa akhir Dinasti Song (960 – 1127 M). Sama seperti Lü Dongbin, ia juga merupakan sarjana Ru 儒, dan ia pun mendalami Buddhisme Chan/Zen. Ia bekerja sebagai seorang pegawai militer dan sangat dihormati oleh masyarakat, akan tetapi walaupun demikian ia merasa amat tidak puas dengan hidupnya. Akhirnya ia memutuskan meninggalkan semua, meninggalkan keluarga dan karirnya, dan menjalani hidup sebagai seorang pemabuk. Pada suatu hari, ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya sambil membawa sekendi arak, ditengah perjalanan ia bertemu seorang Taois yang aneh, yang meminta minum padanya. Wang dengan senang hati membagi araknya, akan tetapi alangkah terkejutnya ia ketika sang Taois terus meminum araknya sampai tetes terakhir. Berkata pada Wang agar ia tidak usah khawatir, Taois tersebut menuju sungai dan mengisi kendi araknya dengan air, kemudian menyerahkannya pada Wang, yang kemudian mencoba mencicipinya seteguk. Ia belum pernah merasakan minuman yang sedemikan, ia sangat yakin itu adalah arak para Dewa! Wang kemudian bertanya pada sang Taois, siapakah gerangan dia sebenarnya, dan sang Taois aneh itu tertawa dan menjawab “Aku adalah Liu Haichan!” Sejak saat itu dan seterusnya, Wang tidak pernah lagi meminum arak barang setetes.
Kemudian hari, ketika ia sedang berjalan di daerah sepanjang Sungai Gan (Ganhe 甘河) di pengunungan Zhongnan, ia bertemu dua orang pengelana di sebuah jembatan. Ia tertarik pada penampilan dan sikap mereka, dan tak lama kemudian terlibat perbincangan dengan mereka. Ia kemudian bertanya kemana tujuan mereka dan apa yang mereka kerjakan, yang kemudian mereka menjawab, bahwa mereka “Menyebarkan Angin Misteri (Pizhuan Xuanfeng; 丕傳玄風).” Wang menyadari bahwa ini merupakan istilah ajaran Tao, dan menjadi sangat tertarik, ia kemudian sangat antusias ketika mereka mengajaknya untuk menemani mereka. Ia perlahan-lahan menyadari bahwa ini bukanlah pertemuan yang tidak disengaja, dan dua pengelana ini sesungguhnya adalah Zhongli Quan dan Lü Dongbin, yang mengambil saat tersebut untuk mengenalkan Tao padanya.
Meninggalkan kehidupan lamanya, ia memulai masa pembinaan diri yang intensif, berkelana dan tinggal dalam gunung-gunung. Selama tiga tahun ia mengubur dirinya sendiri sedalam sepuluh kaki didalam makam yang ia namakan “Kuburan Mayat Hidup (Huosiren Mu; 活死人墓)”. Ia juga menghabiskan beberapa waktu membina diri di Gua Ningyang (終南山凝陽洞), gua tempat tinggal Sesepuh Wang Xuanpu, ia kemudian membangun sebuah pondok tempat ia melanjutkan pembinaan dirinya. Setelah berdiam dalam pondok tersebut selama empat tahun, ia kemudian menyulutnya dengan api dan membakarnya, dan ia terlihat menari dan tertawa senang diatas puing sisa abunya, oleh karena itu ia dijuluki sebagai “Wang Si Gila”. “Siapa yang dapat mencapai keabadian tanpa sedikit sentuhan kegilaan!” ia berkata. Wang Chongyang lalu kemudian pergi menuju provinsi Shandong, dimana ia menemukan dua orang murid pertamanya, Ma Danyang dan istrinya Sun Bu’er, yang kemudian mendirikan untuknya tempat penyunyian di halaman kebun mereka. Tempat penyunyian tersebut dikenal dengan nama “Quanzhen”, yang berarti “Realisasi Sempurna”. Ini kemudian menjadi nama dari aliran yang beliau dirikan, dan di saat yang sama juga merupakan masa dimana beliau mulai menyebarluaskan ajarannya.
Pengajaran dari Wang Chongyang (王重陽之教誨)
Wang merangkul semua apa yang ia sebut sebagai aspek positif dari tiga ajaran yang mendominasi Tiongkok pada masa itu – Taoisme, Buddhisme, dan Ruisme – dan kemudian mengadopsinya kedalam aliran Quanzhen. Ia meninggalkan ritual yang mewah, penulisan kertas jimat/talisman, dan visualisasi yang rumit yang menjadi pokok penekanan tradisi lama Taoisme, dan lebih menekankan pada pembinaan diri melalui praktek duduk hening bermeditasi. Ia sangat dekat menggambarkan kesederhanaan dan kealamiahan seperti yang diajarkan Laozi dalam Daodejing, demikian juga dengan konsep ajaran Zhuangzi tentang spontanitas (Ziran; 自然) dan non-intervensi (Wuwei; 無爲). Ada beberapa naskah lain yang dianggap penting dalam aliran Quanzhen antara lain seperti Qingjing Jing (清靜經), Yinfu Jing (陰符經), dan Yuhuang Xinyin Miaojing (玉皇心印妙經).
Beberapa hal yang ia ambil dari Buddhisme antara lain adalah, tentang konsep karma dan kelahiran kembali/tumimbal lahir, dan khususnya ajaran Chan/Zen mengenai Sutra Hati dan Sutra Intan. Beliau juga sangat menghargai ajaran Kongzi, dan menganjurkan murid-muridnya untuk mempelajari Kitab Bakti, guna menolong sesama, dan melakukan perbuatan baik kapanpun dan dimanapun. Wang beranggapan bahwa Pil Emas/Golden Elixir merupakan Watak Sejati kita. Ia berkata bahwa menolong sesama dan selalu bersikap tenang dan murni (Qingjing; 清靜) turut membantu terbentuknya Elixir tersebut. Beliau menganjurkan, barang siapa ingin membina Watak Sejati mereka, selayaknya tidak mengejar nama, kekayaan, dan keuntungan, selayaknya mengentaskan amarah dan kekhawatiran, dan berpantang sex, minuman yang memabukkan, dan sayuran yang berbau tajam (bawang-bawangan). Beliau mewariskan lima belas prinsip dasar untuk membina Tao, yang menjadi dasar dari ajaran aliran Quanzhen.
Wang dan murid-muridnya menjalankan gaya hidup pertapaan yang sangat sederhana, bertahan hidup hanya dengan kebutuhan pokok semata. Mereka berlatih meditasi secara intensif, dan menjalankan gaya hidup pertapaan semisal tidak berbaring untuk tidur. Kadang-kadang mereka terlihat berkelana bersama-sama dari satu tempat ke tempat lain, di waktu lain mereka akan tinggal secara terpisah sebagai pertapa. Walaupun tradisi Quanzhen mengadopsi gaya hidup membiara seperti yang kemudian berkembang setelah wafatnya Wang Chongyang, prinsip kesederhanaan yang beliau ajarkan masih sangat kuat menjadi bagian dari tradisi aliran ini. Sampai hari ini adalah umum bagi seorang Biarawan untuk menghabiskan masa selama dua atau tiga tahun “berkelana bagai awan” (Chanfang Yunyou; 參訪雲遊), dimana mereka berkelana ke berbagai pelosok daerah, mengunjungi kuil-kuil, dan belajar dibawah bimbingan guru-guru yang berbeda. Mereka yang telah berhasil dalam pembinaannya, ada juga yang memilih untuk hidup sebagai pertapa di kuil-kuil kecil atau di gua-gua yang banyak terdapat di pegunungan.
Secara tradisional, seorang Biarawan memiliki tujuh benda pusaka: “Benda pertama adalah bantal meditasi/Putuan untuk menundukkan Iblis Batin. Yang kedua adalah jubah untuk mengalahkan angin kejahatan. Yang ketiga adalah mangkuk/bokor untuk menampung makanan yang murni (sayuranis; vegetarian). Yang keempat adalah topi jerami untuk perlindungan dari angin, hujan, dingin, dan salju. Yang kelima adalah kebutan/Bangsut untuk menyapu seluruh debu keduniawian. Yang keenam adalah tas untuk membawa naskah suci. Ketujuh adalah tongkat untuk membersihkan halangan yang menghalangi angin dan bulan (Tao yang Agung).”
Para Biarawan juga mempraktekkan hal sebagai berikut dalam kesehariannya: “Berjalan bagaikan Bangau melangkah, badan bagaikan Para Abadi melayang seiring angin. Ketika duduk, badan tegak diam bagaikan karang. Ketika tidur, badan bagaikan busur panah. Ketika berdiri, bagaikan pohon pinus. Tubuh harus seluwes mungkin, bagaikan pohon yangliu dihembus angin, dan tenang bagaikan kelopak lotus.”
Tujuh Manusia Sejati Aliran Utara (北派七眞)
Wang Chongyang meninggalkan tujuh orang murid yang berhasil, enam pria dan satu wanita. Mereka meneruskan menyebarkan ajaran dari aliran Quanzhen dan mereka disebut sebagai “Tujuh Manusia Sejati Aliran Utara (Beipai Qizhen;北派七眞)”. Mereka menginterpretasi dan mengajarkan falsafah Quanzhen dengan caranya masing-masing, menciptakan mazhab/silsilah yang berbeda:
Silsilah dari Qiu Chuji (邱處幾) dinamakan Longmen Pai (龍門派)
Silsilah dari Liu Chuxuan (劉處玄) dinamakan SuishanShuishan Pai (隨山派)
Silsilah dari Tan Chuduan (譚處端) dinamakan Nanwu Pai (南無派)
Silsilah dari Ma Danyang (馬丹陽) dinamakan Yuxian Pai (遇仙派)
Silsilah dari Hao Datong (郝大通) dinamakan Huashan Pai (華山派)
Silsilah dari Wang Yuyang (王玉陽) dinamakan Yushan Pai (玉山派)
Silsilah dari Sun Bu’er (孫不二) dinamakan Qingjing Pai (清靜派)
Qiu Chuji dan Sekte Longmen (邱處幾與龍門派)
Yang terbesar diantara semuanya adalah sekte Longmen yang didirikan Qiu Chuji. Setelah wafatnya Wang Chongyang, ketujuh muridnya pun berpencar. Qiuchuji melanjutkan mengikuti gaya hidup sebagai pertapa, berlindung dalam gua-gua dan mengemis makanan. Ia tinggal selama beberapa tahun di Gua Gerbang Naga (Longmen Dong; 龍門洞) yang dikemudian hari nama inilah yang menjadi nama dari sekte yang didirikannya. Di tempat inilah Qiu Chuji mulai mengembangkan ajarannya, berdasarkan pandangan dari Wang Chongyang bahwa tiga ajaran yaitu Buddhisme, Ruisme, dan Taoisme adalah saling melengkapi satu sama lain dan mempunyai dasar yang sama. Dikemudian hari ia mendapat sokongan dan penghargaan dari kaisar dinasti Jin, Shizong. Juga oleh penguasa Mongol, Jenghis Khan, yang kemudian memberinya gelar Manusia Abadi. Dengan adanya pengakuan dan dukungan tersebut, aliran Quanzhen tumbuh dan berkembang sangat cepat dan Qiu Chuji pun banyak memprakarsai pembangunan banyak kuil dan biara, guna mengembangkan struktur dari jalan hidup membiara. Beliau mengumpulkan banyak pengikut, termasuk juga banyak yang berasal dari kelas pekerja, dan dalam beberapa tahun sekte Longmen menyebar ke banyak daerah pelosok di Tiongkok menjadikannya wakil yang utama dari aliran Quanzhen. Oleh karenanya ada perkataan bahwa “Gerbang Naga (Longmen) meliputi separuh negeri.” Qiu Chuji menghabiskan sisa hidupnya di Beijing tinggal di sebuah biara yang sekarang dikenal sebagai Biara Awan Putih (Baiyun Guan; 白雲觀), dan dimakamkan pula di tempat tersebut ketika ia wafat. Sejak masa beliau, Baiyun Guan telah menjadi pusat aliran Quanzhen dan juga sekte Longmen, dan tetap berlanjut sampai saat ini.
Oleh Shi Jing & Shi Dao(Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Xuanyuan)
天運戊子二零零八年七月初三日
鄭玄原重譯
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Angkatan Muda Tridharma Jawa Tengah