Budaya-Tionghoa.Net | Dahulu tidak pernah terbayangkan apa maksud pepatah ini, bahkan beranggapan pepatah ini adalah pepatah yang tidak memiliki makna yang luas. Menyia-yiakan harapan orangtua dan tidak menghargai orangtua adalah fenomena yang sering kita lihat. Kadang kita bisa menyalahkan orangutanya yang tidak mampu mendidik anak atau lingkungan yang menjadi kambing hitam.
|
Setelah memiliki anak baru terpikir lagi arti peribahasa ini. Seringkali saya bermain kuda-kudaan dengan anak saya, tentunya berharap agar si anak bisa merasa senang dan gembira. Suatu kebahagiaan terasa di hati orangtua saat melihat anaknya bahagia, walau menemani anak bermain adalah hal yang melelahkan dan kadang membuat emosi memuncak melihat kenakalan anak. Tapi seringkali saat bercengkrama dengan istri, kita sebagai orangtua sudah membayangkan pendidikan apa yang harus ditempuh, sekolah seperti apa yang harus diambil. Dan tentunya apa yang dipilih adalah yang terbaik bagi anak itu sendiri. Kadang biaya sekolah mengejutkan jantung tapi demi anak, biaya menjadi suatu tantanngan bagaimana caranya menutupi biaya itu agar anak bisa menjadi orang sukses dan berhasil, dan tentunya harapan dari orangtua adalah agar si anak bisa melebihi apa yang telah dicapai oleh orangtuanya itu sendiri.
Pepatah ini mengandung semangat budaya Tionghoa yang telah menjadi suatu pandangan banyak orang Tionghoa dalam menanamkan suatu pengharapan agar anak itu bisa menjadi penerus keluarga dan mengharumkan nama keluarga. Menjadi yang lebih baik lagi dari orangtua adalah suatu harapan dari orangtua. Betapapun susahnya orangtua membanting tulang dan terkadang demi mencari pendapatan yang layak, anak tidak mendapatkan kasih saying secara penuh, tapi itu juga dilakukan oleh orangtua demi masa depan anak itu sendiri.
Sayangnya, terkadang anak yang sudah sukses dan berpendidikan tinggi bisa memandang rendah orangtuanya yang berpendidikan rendah dan hidup dengan pola hidup sederhana. Gap antar orangtua dan anak bisa terbentuk karena masalah pendidikan dan gaya hidup. Anak terkadang merasa bangga saat mendapatkan pendidikan yang lebih baik serta penghidupan yang lebih layak daripada orangtuanya. Ia lupa bahwa ia telah menjadikan orangtua itu bagaikan kuda tunggangan, tidak menghargai orangtua, lupa bahwa orangtuanya sendiri tidak mengeluh saat dijadikan kuda, hanya semata berharap agar anaknya menjadi seekor naga.
Jadi bagi saya, pepatah itu mengandung makna yang perlu direnungkan dan syukur bisa diterapkan dalam kehidupan. Juga sebagai anak, ingatlah betapa besarnya pengorbanan orangtua kita. Sehingga selayaknya memberikan penghormatan dan juga penghargaan terhadap orangtua, karena itu merupakan salah satu pilar budaya Tionghoa. Hal yang perlu diingat adalah budaya Tionghoa tentunya memiliki cara yang juga dengan cara Tionghoa, misalnya dengan menggunakan dupa, membuat meja abu dan sebagainya. Jangan lantas dianggap itu adalah cara yang berbau tahayul atau tidak berguna. Karena cara itu adalah bahasa simbolis yang tentunya jangan disandingkan dengan logika semata.
Ardian Cangianto , 10151117246042436
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa