Budaya-Tionghoa.Net | Pada hari ini saya berkesempatan mengikuti acara bedah buku karya Iwan Santosa yang diselenggarakan di perpustakaan UK Petra Surabaya. Sebagai narasumber hadir adalah Bapak Iwan Santosa selaku penulis dan juga wartawan kompas , Bapak Dr. Harto Juwono (sejarawan dan dosen di Universitas Indonesia) , Ibu Sally Azaria (peneliti dan dosen UK Petra)
|
Pada kesempatan tersebut, Bapak Iwan Santosa mengemukakan mengenai harmoni dan proses akulturasi yang telah berlangsung antara etnis Tionghua dan penduduk setempat. Sebagai contoh di Bali terdapat barong pria berkulit gelap dan barong wanita berkulit putih yang menyerupai seorang beretnis Tionghua. Ternyata pasangan barong ini menggambarkan Raja Jayapangus dan isterinya asal Tiongkok bernama Kang Tjin We. Hal ini dbahas dalam buku yang dibedah ini halaman 11-15. Selain itu masih terdapat lagi Wayang Titi atau wayang kulit China-Jawa. Kendati demikian, segenap produk budaya akulturasi ini lenyap semasa Orde Baru yang memang bersikap anti Tionghua.
Pengaruh Tionghua lainnya nampak pula pada arsitektur mesjid di berbagai penjuru Kepulauan Nusantara, contohnya di Tiku, Sumatera Barat. Sultan Ternate yang sempat dijumpai Iwan Santosa juga mengatakan bahwa salah satu penyiar Islam di Maluku adalah orang Tionghua. Berbagai tokoh-tokoh lokal juga dipuja dalam kelenteng-kelenteng.
Hubungan harmonis antara Tionghua dan Melayu nampak di Bangka Belitung, dimana etnis Tionghua dan Melayu saling mengadopsi anak. Di Serui bahkan dikenal istilah “Perancis” yakni “Peranakan China Serui.” Selain itu masih ada peranakan Tionghua Rote. Tolak bala Gunung Kelud dilangsungkan dengan pagelaran wayang kulit di kelenteng Blitar.
Segregasi rasial lebih kuat di Malaysia, di mana tidak sebagai contoh tidak ada tokoh-tokoh keramat setempat di kelenteng-kelenteng Tionghua. Masalah Paraku/ PGRS sendiri belum terselesaikan. PGRS sebenarnya beranggotakan pemuda-pemuda Tionghua Sabah-Serawak, Jawa, dan Melayu. Mereka dilatih oleh militer Indonesia dan salah satu pusat pelatihannya adalah di Surabaya. Pembentukannya adalah dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Kendati demikian, pada perkembangan selanjutnya PGRS ini diidentikan dengan China-komunis, padahal anggotanya juga ada orang Melayu.
Setelah pemerintah Orde Lama tumbang, maka pemerintah Orde Baru lantas membenturkan antara masyarakat Dayak dengan PGRS, yang merembet pada orang-orang Tionghua. Upaya mengadu domba antara Dayak dengan Tionghua gagal dan lantas pemerintah mengambill strategi dengan memalsukan suara Oevang Uray yang menyerukan pembantaian orang-orang Tionghua. Akibatnya terjadi serangan dan pembantaian terhadap orang-orang Tionghua yang dikenal sebagai peristiwa Mangkuk Merah. Banyak orang-orang Tionghua yang melarikan diri.
Di Malinau ada orang Tionghua ada orang Dayak yang tinggal di keluarga Tionghua semenjak kecil. Dengan demikian terjadi pertukaran value atau nilai. Hubungan China Benteng-Betawi juga harmonis dan jika ada perusuh, maka itu adalah orang-orang yang berasal dari luar.
Dalam operasi militer semasa perang kemerdekaan dahulu, di antara 200 orang terdapat satu orang Tionghua. Penghubung dengan para pejuang di Bali juga adalah orang-orang Tionghua, karena mereka tidak dicurigai oleh Belanda.
Sebagai penutup uraian Bapak Iwan Santosa saya akan menuturkan ulang riwayat yang menyentuh hati dari buku Beliau, yakni sebagaimana yang terdapat pada halaman 129-130. Diriwayatkan mengenai Encim Lau Ie Yong (69), yang merupakan warga Gang Taniwan, RT 10 RW 05. Encim Lau Ie Yong hidup dalam kemiskinan. Meskipun menderita sakit persendian, ia tetap menjadi buruh cuci, setrika, dan mengepel, dengan upah Rp. 150.000 per bulan. Demi mendapatkan penghasilan tambahan, ia menerima pekerjaan membungkus cotton bud dengan upah satu lusin isi 100 batang hanya Rp. 200. Meskipun didera kemiskinan, Encim Lau Ie Yong masih sempat menyisihkan penghasilannya yang serba sedikit itu guna beramal di sebuah vihara. Sungguh teladan yang menyentuh hati. Ini semua menepis streotip bahwa orang Tionghua pasti kaya.
Pembicara selanjutnya adalah Bapak Harto Juwono. Beliau mengungkapkan mengenai sejarah visiuner. yakni sejarah dengan kaitan antara masa lalu dan masa kini. Tidak benar bahwa sejarah dapat memprediksikan masa depan. Yang lebih tepat adalah sejarah dapat memberikan visi bagi masa depan.
Bapak Harto Juwono pada bulan Oktober 2011 pernah diundang ke Putra Jaya, Malaysia, dan diundang makan dengan perdana menteri Malaysia, wakil perdana menteri Malaysia, menteri pertahananan, kepala dinas intelijen dan lain sebagainya. Sebelumnya anggota rombongan dari Indonesia telah menyepakati pertanyaan-pertanyaan yang hendak diajukan pada pihak Malaysia, antara lain masalah perbatasan, TKW, dan lain sebagainya. Pada intinya pertanyaan tersebut berisikan protes terhadap kebijakan negeri jiran tersebut. Saat jamuan makan, perdana menteri Malaysia menyatakan bahwa dirinya merupakan keturunan Indonesia. Wakil atau timbalan perdana menteri juga menyatakan bahwa dirinya adalah keturunan Banjar. Sementara itu, ada pejabat lainnya yang menyatakan bahwa ia adalah keturunan Banyumas, Jawa Tengah. Di sini, para pejabat Malaysia dengan berani menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Indonesia. Sebaliknya, di Indonesia belum banyak pejabat yang berani mengaku bahwa mereka adalah keturunan etnis tertentu. Hanya Gus Dur yang berani mengakui bahwa dirinya adalah keturunan Tionghua.
Dewasa ini ada upaya penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia baru yang akan menjadi sumber kurikulum pengajaran sejarah di sekolah-sekolah. Di dalamnya akan memasukkan perjuangan etnis Tionghua. Sementara itu, yang kerap dibahas terkait sejarah etnis Tionghua di Indonesia adalah pembantaian etnis Tionghua pada tahun 1740 di Batavia. Timbul pertanyaan, apakah tidak ada peristiwa pembantaian lain terhadap etnis Tionghua yang serupa dengan itu. Sejarah pembantaian di Tangerang dan Bagansiapi-api belum banyak diungkap. Justru penulis Belanda yang mengungkapkannya dan dituangkan dalam buku berjudul “The Other Side of Indonesian Revolution.” Buku tersebut menuturkan pembantaian terhadap etnis Tionghua 1946-1950. Mulanya buku tersebut diberi judul yang agak provokatif, tetapi kemudian judulnya diubah. Ditulisnya sejarah oleh orang luar ini dikarenakan topik semacam ini masih dianggap tabu. Penulisan sejarah oleh orang luar terhadap hal-hal yang dianggap tabu bisa menimbulkan citra negatif terhadap negara kita. Perlu ada sejarawan nasional yang mengkajinya. Meskipun data sama, namun interpretasi bisa beda.
Permasalahan selama ini adalah etnis Tionghua tidak pernah disandingkan dengan etnis Batak, Jawa, Padang, dan lain-lain. etnis Tionghua dianggap sebagai satu kelompok utuh yang disebut non-pribumi dan disandingkan dengan pribumi. Akibatnya terbentuk dikotomi antara keduanya. Ini merupakan warisan dari zaman kolonial yang menggolongkan etnis Tionghua sebagai kelompok Timur Asing. Pengalaman Bapak Harto Juwono di kawasan tempat kediamannya di Depok, jika ada yang mencari rumah Beliau, maka orang akan menanyakan, “Pak Harto Juwono yang China ya?” Meskipun demikian, karena isteri Pak Harto Juwono adalah orang Batak, maka ia lantas menggunakan nama marga Panggabean, sehingga di rumahnya ditulis nama Harto Juwono (H.J. Panggabean). Tetapi tidak ada yang menanyakan, “Pak Harto Juwono yang Batak ya?”
Bapak Harto Juwono menuturkan pula bahwa di Tapanuli Utara, justru banyak orang Tionghua yang lebih Batak ketimbang orang Batak sendiri. Sebagai contoh ada orang Tionghua yang berdagang kerbau untuk upacara adat. Waktu ada orang Batak yang hendak membelinya dan ditanya, “Kerbaunya hendak dipotong dengan bentuk potongan seperti apa? Apakah tradisi Simanjuntak, Balige, atau Gurgur? Orang yang hendak membeli kerbau itu tidak dapat menjawabnya.
Pembicara selanjutnya adalah Ibu Sally Azaria. Beliau memaparkan mengenai kondisi etnis Tionghua sebelum dan sesudah reformasi. Menurut Beliau, di masa reformasi ini sudah banyak perubahan tetapi masih tertatih-tatih. Beliau memuji bahwa buku karya Bapak Iwan Santosa ini merupakan suatu gebrakan.
Beberapa peraturan tertulis telah dikeluarkan seperti:
1.Instruksi Presiden no 26/ 1998 tentang penghapusan stigma pribumi dan non pribumi.
2.Instruksi Presiden no 4/ 1999 tentang penghapusan SBKRI.
3.Instruksi Presiden no 14/ 1967 yang diperbaharui menjadi Kepres no.6/ 2000, mengenai diperbolehkannya pembangunan kembali tiga pilar kebudayaan.
4.UU Kewarnegaraan no. 12 yang baru, mengenai perubahan pembuatan akta lahir dan KTP.
Kendati demikian, di lapangan masih terdapat kendala sebagai berikut:
1.Warga Tionghua miskin sulit membuat KTP (29 Januari 2008).
a.Jakarta Barat, Kecamatan Kalideres, Kelurahan Tegal Alur.
b.Akta Nikah, KTP, Akta Lahir.
c.Warga mengakui ada perbaikan perlakuan.
2.Birokrat yang berlaku diskiriminatif akan diancam pidana (8 Oktober 2007).
MEDIA SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI
1.Pada masa sebelum reformasi
a.Komunikasi dengan bahasa Mandarin: siaran radio (RRI), koran, majalah, dilarang semenjak 1967.
b.Penggunaan bahasa Mandarin nyaris tak terlihat. Satu-satunya koran berbahasa Mandarin terbitan Jakarta hanyalah Harian Indonesia.
2.Sesudah reformasi menjadi banyak jumlahnya, seperti Guo Ji Ri Bao, Radio Suzana (Ni Hao Ma), dan Global Mandarin.
PENDIDIKAN SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI
1.Pada masa sebelum reformasi: Tidak boleh ada sekolah formal yang bernuansa Tionghua.
2.Sesudah reformasi:
a.Bahasa Mandarin semakin eksis.
b.Sekolah umum ==> Ada pelajaran bahasa Mandarin.
c.Sekolah-sekolah dengan native speaker Mandarin, contoh: Surabaya Taipei Internasional School, Merlion International School, dan Surabaya International School.
AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI
Pada tahun 1965: pemerintah mengakui 6 agama. Tanggal 27 Januari 1979: Sidang kabinet memutuskan Kong Hu Cu bukan agama tetapi kepercayaan.
Kini tetap eksis, namun tidak mengalami peningkatan jumlah signifikan:
a.Kelenteng Hok An Kiong (Jl. Slompretan dan Jl. Coklat) ==> 1830
b.Kelenteng Pak Kok Bio (Jl. Jagalan) ==> 1951.
c.Kelenteng Sanggar Agung (Kompleks Pantai Ria Kenjeran) ==> 1999 (Tridharma).
Kelenteng Tanjung Kait (Qing Shui Zhu Shi)
a.Kelenteng Tjoe Soe Kong (dalam bahasa Hokkian).
b.Ada sosok dewa dewi lokal, yakni Dewi Neng.
c.Kelenteng Tridharma.
Ratu Atut (Gubernur Banten) menyatakan bahwa Kelenteng Tjoe Soe Kong hendaknya dilestarikan sebagai cagar budaya.
Masa Orba masa paling kelam dalam sejarah perjalanan etnis Tionghua di Indonesia, tetapi kini:
a.Kesenian Tionghua bebas ditampilkan.
b.Buku berbahasa Mandarin bebas diperjual-belikan.
c.Perayaan berbau Tionghua: Ceng Beng, Imlek, Cap Gomeh, termasuk pernikahan bebas dilakukan.
Pernikahan ==> budaya Tionghua (April 2007):
a.Menggunakan busana pengantin tradisional Tionghua.
b.Melakukan ritual yang berakulturasi antara Tionghua dan Betawi.
Lenong==>Gambang seni Betawi sering tampil bersama barongsai dan wayang China.
c.Sembahyangan ==> Ceng Beng (5 April 2007), dirayakan selama sepekan di banyak pemakaman Tionghua di Jabodetabek.
Foto bersama Bapak Iwan Santosa.
Ivan Taniputera , 10 Agustus 2012 , 10151089106852436
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa